Bung Karno |
Tanggal 19 Agustus 1945, dua hari setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia, menjadi tonggak sejarah diplomasi yang teramat penting bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebab, pada tanggal/hari itu resmi dibentuk Departemen Luar Negeri (Deplu) RI yang otoritas tertingginya berada di tangan seorang Menteri Luar Negeri (Menlu) selaku pembantu presiden.
Deplu menjadi institusi pemerintah yang berdiri di barisan terdepan sekaligus sebagai ujung tombak dalam melakukan diplomasi untuk menjalin kerja sama berbagai bidang dengan pihak luar (negara maupun organisasi regional/internasional).
Dan, tentu pembentukan Deplu melengkapi departemen-departemen lain sebagai organ-organ pemerintah yang memang wajib ada (dibentuk) demi jalannya roda pemerintahan RI yang (kala itu) usianya belum seumur jagung, untuk memperjuangkan pemenuhan kepentingan-kepentingan nasional masa itu.
Lantas, kepentingan nasional apa yang masuk dalam skala prioritas perjuangan diplomasi RI di tahun-tahun awal kemerdekaan bangsa Indonesia?
Menurut hukum internasional, syarat sahnya masyarakat (suku bangsa) memiliki sebuah negara berdaulat bilamana secara de facto masyarakat bersangkutan sudah mempunyai teritorial, rakyat, pemerintah, dan pengakuan masyarakat internasional.
Ketika Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan Kemerdekaan RI dan Deplu dibentuk 72 tahun silam, bangsa Indonesia sudah memenuhi tiga syarat pertama, tetapi belum melengkapi dengan syarat keempat. Waktu itu Indonesia belum memperoleh pengakuan dari publik dunia bahwa bangsa Indonesia sah secara de facto maupun de jure sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat. Karenanya, Presiden Soekarno menetapkan perjuangan untuk memperoleh pengakuan masyarakat internasional (bagi eksistensi NKRI) sebagai kepentingan nasional yang masuk dalam skala prioritas perjuangan diplomasi RI kala itu.
Ditengah panasnya suhu politik domestik akibat pecahnya Revolusi Kemerdekaan (1945- 1949), konsekuensi logis dari kengototan Belanda - dengan menerapkan strategi menghalalkan segala cara termasuk agresi militer I dan II serta blokade udara - untuk kembali menjajah bangsa Indonesia, jelas diplomasi RI kala itu tidak mudah dilakukan.
Namun, dengan spirit juang luar biasa membara, meski fasilitas serba terbatas, para founding fathers RI (terutama Menlu Haji Agus Salim yang mendapat predikat Grand Old-man bersama segenap jajarannya) sanggup melakukan diplomasi dengan baik. Hasilnya, pada 14 Maret 1947 NKRI mendapat pengakuan resmi dari Liga Arab. Pengakuan ini disampaikan Sekjen Liga Arab Abdul Rachman Azzam Pasha lewat utusan khususnya (Muhammad Abdul Mu'in) kepada Presiden Soekarno di Ibu Kota Negara (kala itu) Yogyakarta.
Kepulangan Abdul Mu'in dari Yogyakarta menumpang pesawat khusus DC-3 dengan membawa serta delegasi RI yang diketuai Menlu Agus Salim menuju New Delhi-India guna mengikuti Konferensi Inter-Asia. Delegasi RI sengaja disertakan dalam pesawat DC-3 bersama rombongan Abdul Mu'in lantaran kala itu sangat sulit mencari pesawat angkutan udara ke luar negeri akibat blokade yang diterapkan agresor Belanda. Jika delegasi RI tidak diikutsertakan dalam pesawat DC-3, dikhawatirkan Indonesia tidak bisa berpartisipasi dalam Konferensi Inter-Asia yang sangat strategis bagi diplomasi RI untuk berjuang memperoleh pengakuan masyarakat internasional.
Setelah pengakuan yang diberikan Liga Arab, lalu disusul pemerintah Mesir yang memberi pengakuan resmi pada 10 Juni 1947, tertuang dalam Perjanjian Persahabatan RI-Mesir. Lalu, pada 2 Juli 1947 pemerintah Suriah mengakui eksistensi NKRI. Dan, berturut-turut pemerintah Irak, Lebanon, Arab Saudi, Yaman, dan Trans-Yordan (sekarang Yordania) ikut memberi pengakuan pula.
Itu sebabnya, seorang peneliti asal Belanda di Institut Voor Nederlandse Geschiedenis (Dr FJ Drooglever) dalam bukunya bertajuk Menelusuri Jalur Linggarjati menyebutkan, upaya Belanda memblokade bangsa Indonesia agar terasing dari pergaulan internasional gagal total. Dan, Wapres Mohammad Hatta melalui statemennya yang dimuat surat kabar harian Akheer Saah di Kairo 23 Desember 1949 menyebutkan, "Kemenangan diplomasi (politik luar negeri) RI berpangkal di Kairo." Tentu, keberhasilan kemenangan diplomasi pada masa Revolusi Kemerdekaan wajib kita syukuri. Andai diplomasi itu gagal, kita tak tahu seperti apa wajah NKRI, barang kali tak seutuh wajah NKRI sekarang. Dirgahayu NKRI, Dirgahayu Departemen Luar Negeri.(Chusnan Maghribi. Alumnus Hubungan Internasional FISIP UMY)
Sumber : http://krjogja.com/web/news/read/41506/Tonggak_Sejarah_Diplomasi_RI