Ilustrasi |
Semua pilot tempur TNI AU digembleng untuk menjadi para petarung handal di udara dan kapan saja siap menembak jatuh pesawat tempur musuh dalam peperangan.
Dengan berbekal kemampuan terbang tempur yang sudah dimiliki itu, para pilot TNI AU pun siap menghadapi segala kemungkinan dalam setiap misi baik untuk penugasan dalam peperangan maupun non perang.
Salah satu misi patroli udara (Combat Air Patrol) pesawat-pesawat tempur TNI AU yang pernah menjadi ajang ujian kemampuan terbang tempur dan nyaris menimbulkan pertikaian di udara serta potensi menciptakan dogfight bersenjata adalah yang berlangsung pada 3 Juli 2003.
Pada hari itu kawasan udara di atas Pulau Bawean yang merupakan sebuah pulau yang terletak di Laut Jawa, sekitar 120 kilometer sebelah utara Gresik, sontak memanas ketika lima pesawat asing yang kemudian diketahui sebagai pesawat F/A-18 Hornet terdeteksi radar TNI AU.
Dari pantauan radar, kelima pesawat F/A-18 Hornet terbang cukup lama, lebih dari satu jam dan dengan manuver sedang latihan tempur.
Dua pesawat tempur buru sergap F-16A/B TNI AU yang masing-masing diawaki Kapten Pnb Ian Fuadi/Kapten Fajar Adrianto dan Kapten Pnb Toni Heryanto/Kapten Pnb Satrio Utomo segera disiapkan.
Misi kedua F-16A/B itu sangat jelas yaitu melakukan identifikasi visual dan sebisa mungkin menghindari konfrontasi mengingat keselamatan penerbang merupakan yang utama.
Selain itu, para penerbang diminta agar tidak mengunci (lock on) sasaran dengan radar atau rudal sehingga misi identifikasi tidak dianggap mengancam.
Namun demikian, untuk menghadapi hal yang tidak terduga kedua F-16 masing-masing dilengkapi dua rudal perontok pesawat AIM-9 Sidewinder dan 450 butir amunisi senapan mesin kanon kaliber 20 mm yang biasa digunakan untuk bertempur di udara.
Menjelang petang, Falcon Flight F-16A/B melesat ke udara dan tak lama kemudian kehadiran mereka langsung disambut oleh dua pesawat F/A-18 Hornet AS. Radar Falcon Flight segera menangkap kehadiran dua F/A-18 Hornet yang terbang cepat dalam posisi siap tempur.
Dari sisi kemampuan teknologi tempur dan jumlah pesawat, kekuatan pesawat F-16A/B TNI AU yang hanya mengerahkan dua jet tempur jelas berada di bawah Hornet-Hornet AS.
Selain menghadapi sejumlah F/A-18 Hornet di udara, kedua F-16A/B juga terancam oleh rudal-rudal antipesawat yang dimiliki oleh kapal-kapal perang AS yang sedang berlayar di perairan seputar Bawean.
Sementara dari sisi mesin, F-16A/B menggunakan satu mesin sedangkan Hornet menggunakan dua mesin sehingga dari sisi power dan kecepatan serta jelajah terbang (combat radius), khususnya terbang rendah yang merupakan manuver dogfight untuk menghindari kejaran radar musuh, dalam hal ini, Hornet jauh lebih unggul.
Sebagai pesawat tempur multi fungsi bermesin ganda dan bisa dioperasikan dari kapal induk, F/A-18 Hornet juga merupakan pesawat tempur segala cuaca serta dilengkapi persenjataan canggih untuk keperluan dogfight seperti kanon M61 Vulcan kaliber 20 mm dan 4 rudal penghancur pesawat AIM-9 Sidewinder serta 2 rudal AIM-7 Sparrow.
Namun demikian dengan kemampuan multi fungsi dan bisa bertempur dalam segala cuaca serta dilengkapi persenjataan yang hampir sama, di tangan para pilot profesional TNI AU, pesawat-pesawat F-16A/B dengan combat radius 550 km masih merupakan pesawat yang sangat mematikan bagi lawannya.
Karena baik pesawat F-16A/B maupun F/A-18 Hornet hanya mengandalkan kemampuan elektroniknya, yang kemudian terjadi adalah dogfight secara elektronik.
Selain itu, para pilot F/A-18 Hornet juga menyadari dua F-16A/B yang datang pasti bukan musuh mengingat masih merupakan pesawat produksi AS.
Perang radar atau radar jamming antara kedua pihak pun berlangsung seru. Yang lebih menegangkan pada saat yang sama, F-16 yang berada pada posisi pertama telah dikunci, lock on, oleh radar dan rudal F/A-18 Hornet.
F-16 kedua yang terbang dalam posisi Supporting Fighter juga dikejar oleh F/A-18 Hornet lainnya. Namun posisi F-16 kedua lebih menguntungkan. Jika memang harus terjadi dogfight ia bisa melancarkan bantuan.
Untuk menghindari sergapan rudal lawan seandainya memang benar-benar diluncurkan, F-16 pertama lalu melakukan manuver menghindar, yakni hard break berbelok tajam hampir 90 derajat ke arah kanan dan kiri serta melakukan gerakan zig-zag.
Manuver tempur itu dilakukan secara bergantian baik oleh F-16 maupun F/A-18 Hornet yang terus ketat menempel.
Melihat keadaan makin memanas, F-16 kedua lalu mengambil inisiatif menggoyang sayap (rocking wing) sebagai tanda bahwa kedua pesawat F-16A/B TNI AU tidak mempunyai maksud mengancam.
Sekitar satu menit kemudian, kedua F-16 berhasil berkomunikasi dengan kedua F/-18 Hornet yang mencegat mereka.
Dari komunikasi singkat itu akhirnya diketahui bahwa mereka mengklaim sedang terbang di wilayah perairan internasional.
“We are F-18 Hornets from US Navy fleet, our position on International Water, stay away from our warship”.
Dari jawaban yang diberikan oleh pilot F/A-18 Hornet jelas telah terjadi kesalahan persepsi mengenai Hukum Laut Internasional.
F-16 pertama lalu menjelaskan bahwa mereka sedang melaksanakan patroli dan bertugas mengidentifikasi visual serta memberi tahu bahwa posisi F/A-18 berada di wilayah Indonesia.
Mereka juga diminta untuk mengontak ke ATC setempat, karena ATC terdekat, Bali Control, belum mengetahui status mereka.
Usai kontak kedua pesawat F/A-18 Hornet AL AS itu terbang menjauh sedangkan kedua F-16A/B TNI AU return to base, kembali ke pangkalannya, Lanud Iswahjudi, Madiun.
Selain berhasil bertemu dengan F/A-18 Hornet, kedua F-16A/B TNI AU juga melihat sebuah kapal perang frigat yang sedang berlayar ke arah timur.
Setelah F-16A/B mendarat selamat di pangkalan, TNI AU menerima laporan dari MMC Rai (ATC Bali) bahwa Flight F/A-18 Hornet merupakan bagian dari Armada US Navy.
Namun yang paling penting dan merupakan tolok ukur suksesnya tugas F-16, F/A-18 Hornet AL AS baru saja mengontak MCC Rai dan melaporkan kegiatannya. Keesokan harinya TNI AU terus mengadakan pemantauan terhadap konvoi armada laut AS itu dengan mengirimkan pesawat intai B 737.
Hasil pengintaian dan pemotretan menunjukkan bahwa armada laut AS yang terdiri dari kapal induk USS Carl Vinson (CVN 70), dua frigat dan satu destroyer sedang berlayar di antara Pulau Madura dan Kangean menuju Selat Lombok.
Selama operasi pengintaian itu pesawat surveillance B737 terus dibayangi dua F/A-18 Hornet AL AS.
Tugas kedua Hornet itu masih merupakan standar operasi US Navy mengingat armada kapal induk dan pengiringnya yang sedang berlayar harus dikawal di atas permukaan laut dan dari udara yang merupakan jalur perlintasan internasional.
Meskipun mendapat provokasi dari dua F/A-18 Hornet yang dilengkapi persenjataan lengkap pesawat intai TNI AU terus melakukan pemantauannya secara leluasa mengingat masih berada di ruang udara NKRI.
Bahan-bahan yang didapat dari misi pengintaian itu kemudian dipakai oleh pemerintah untuk melancarkan “keberatan” secara diplomatik terhadap pemerintah AS.
Sebagai bentuk ‘’kemenangan’’ dari keberanian pesawat-pesawat F-16 mendatangi flight Hornet, pemerintah AS melalui kedutaannya di Indonesia menyatakan minta maaf dan berjanji akan selalu memberi klarifikasi sebelum gugus tempur laut, Armada ke-7 AS di Asia Pasifik melintasi perairan serta ruang udara NKRI.
Sumber : http://www.tribunnews.com/