Jet Tempur KF-X |
Korea Selatan pada hari Kamis (21/01) mengumumkan peluncuran proyek untuk membuat jet tempur buatan dalam negeri di pertengahan tahun 2020-an, peluncuran program tersebut mengawali perjalanan yang sempat melahirkan banyak kontroversi menyusul penolakan AS untuk mentransfer teknologi kunci yang dibutuhkan untuk program tersebut.
Badan Administrasi Program Akuisisi Pertahanan Korea Selatan (Defense Acquisition Program Administration - DAPA) mengadakan pertemuan dimulainya program tersebut di markas kontraktor Korea Aerospace Industries di Sacheon, Provinsi Gyeongsang Selatan. Sekitar 200 pejabat pemerintah dan industri serta ilmuwan militer juga dari negara-negara mitra yaitu AS dan Indonesia mereview program tersebut dan bertekad untuk keberhasilan program tersebut.
"Kami akan melakukan upaya terbaik untuk dapat menggelar secara tepat waktu jet tempur yang unggul ini, yang dibutuhkan oleh Angkatan Udara kami dan yang bisa dibanggakan oleh masyarakat," kata kepala DAPA Chang Myoung-jin ketika menyampaikan ucapan selamatnya.
Berdasarkan program tersebut, badan pengadaan senjata Korea Selatan akan menyelesaikan desain pesawat di tahun 2019, menghasilkan enam unit pesawat tempur prototipe mulai 2021 dan melakukan uji penerbangan sampai tahun 2026. Sebanyak 120 pesawat kemudian akan dirakit pada tahun 2032. Proyek yang diberi nama KF-X, atau Boramae, pertama kali diperkenalkan pada tahun 2002.
DAPA juga menargetkan untuk meningkatkan rasio komponen lokal sampai 65 persen dalam hal biaya dengan melokalisasi produksi sekitar 90 item termasuk radar active electronically scanned array dan electro-optical targeting pod.
Kedua sistem tersebut termasuk dalam empat teknologi yang gagal didapatkan oleh Seoul dari perusahaan pertahanan AS Lockheed Martin Corp. karena veto dari Washington, sehingga sempat menyuramkan keberhasilan inisiatif ini.
DAPA menegaskan komitmennya untuk mendapatkan teknologi tersebut dan melaksanakan proyek sesuai dengan jadwal melalui kegiatan penelitian dan pengembangan di dalam negeri dan kerjasama dengan negara-negara lain, seperti Inggris, Israel atau Swedia.
"Untuk penilaian yang obyektif dan manajemen dari setiap risiko yang mungkin timbul saat melakukan program ini, kami berencana untuk berkonsultasi secara erat dengan subkomite manajemen risiko parlemen dan panel Kementerian Pertahanan dan kelompok ahli lain dan meminimalkan risiko yang timbul," kata lembaga itu dalam sebuah pernyataan.
Sumber : http://airrecognition.com/