Northrop YF-23 Black Widow II |
Sosoknya anggun, dengan lekuk-lekuk tubuh yang sensual menawan, mampu memikat siapapun yang melihatnya. Cantik di luar dan pintar di dalam, tak ada yang ragu pada sosoknya. Namun ketika berhadapan dengan sang pangeran, harus ada keputusan yang dijatuhkan. Dan dalam kompetisi, hanya ada satu yang berhak menyandang mahkota juara.
Tidak, saya tidak sedang berbicara mengenai kisah putri dan pangeran atau kontes ratu-ratuan. Si janda hitam yang saya maksud adalah Northrop YF-23 Black Widow II (janda hitam), purwarupa pesawat tempur yang kalah dari F-22 Raptor dalam kompetisi ATF (Advanced Tactical Fighter) yang diselenggarakan sang pangeran, Angkatan Udara Amerika Serikat.
Proyek ATF diawali dari proposal AU AS pada Mei 1983 yang mencari pesawat tempur superioritas udara generasi kelima yang mampu mengungguli teknologi Blok Timur dan persenjataan yang mereka kembangkan. AU AS menginginkan seluruh teknologi baru yang ada saat itu untuk dimasukkan ke dalam ATF.
Artinya, ATF harus memiliki kemampuan kasat radar atau stealth, dilengkapi sensor canggih, tak membutuhkan alat rumit untuk merawatnya, keandalan tinggi, memiliki nosel gas buang yang bisa dibelokkan agar pesawat memiliki manuverabilitas super, dan mesin yang mampu melesatkan pesawat sampai di atas kecepatan suara tanpa menggunakan afterburner.
Northrop awalnya berhasil menyelesaikan purwarupanya lebih dulu. YF-23A menggelinding keluar dari hangar Northrop pada 22 Juni 1990 dan terbang pada 27 Agustus 1990. Tidak ada yang menyangkal, sosok YF-23 terlihat progresif tetapi juga anggun.
Northrop menggunakan desain fuselage yang terlihat sangat pipih, sehingga pilot seperti duduk dalam pod yang menjorok keluar dari badan pesawat. Sayapnya berbentuk seperti permata YF-23 tidak menggunakan sirip ekor horisontal, digantikan dua sirip vertikal yang terpasang diagonal membentuk V sehingga mengemban fungsi sirip vertikal maupun horisontal.
Desain nosel gas buangnya juga unik, dengan bagian nosel atas lebih pendek dari bawahnya sehingga dari arah permukaan tanah lebih sulit mengunci YF-23 dengan rudal pencari panas, karena gas buang sudah didinginkan dengan difuser. Lubang masuk udaranya panjang, agar panas dari mesin tidak terpancar keluar dan memantulkan sinyal radar maupun panas.
Sistem pengendalian pesawat untuk seluruh area kontrol permukaan dilakukan oleh VMS (Vehicle Management System). Artinya pilot tidak perlu melakukan pengaturan untuk sudut flap, rudder, dan trailing edge flap dengan terpisah, semua dilakukan melalui VMS tersebut.
YF-23 memiliki kecepatan puncak yang sangat baik. Dengan mesin Pratt & Whitney F119 dan GE F120, YF-23 bisa melesat sampai kecepatan di atas 2 kali kecepatan suara. Northrop sampai harus membatasi kecepatan YF-23 agar tak melewati batas kecepatan Mach 2, karena cat khusus untuk menjaga pesawat agar tidak kasat radar bisa mengelupas akibat friksi dan suhu.
Saat diadu dengan YF-22, YF-23 unggul dalam kecepatan supercruise dan unsur kasat radar. Namun desainnya yang unik kalah dalam hal manuverabilitas dari YF-22 dengan desainnya yang konvensional. YF-22 dianggap punya kemampuan manuver lebih baik, walaupun sebenarnya dalam skenario BVR (Beyond Visual Range) hal ini cukup dipertanyakan. Bukankah YF-23 yang lebih stealthy akan lebih berguna untuk tugas ini? Namun AU AS memutuskan YF-22 lah yang diproduksi sebagai F-22 Raptor.
Setelah kekalahannya, dua purwarupa YF-23 yang sudah jadi dicampakkan begitu saja di Hangar di National Museum of the USAF di Dayton, Ohio, sebelum kemudian dipamerkan di area display. NASA sempat meminjamnya untuk eksperimen, tapi tak berlangsung lama. Dan begitulah, sejarah memang hanya mengenal sang pemenang. YF-23, sang janda hitam itu, menjadi bagian dari teknologi pesawat tempur yang hilang ditelan jaman. (Aryo Nugroho)