![]() |
Sukhoi TNI AU |
Indonesia memiliki kondisi geografis berupa negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau, dengan luas wilayah daratan mencapai 1.919.440 km2, yang menempatkannya Indonesia sebagai negara ke-15 terluas di dunia. Jika memasukkan batas wilayah laut, maka Indonesia tercatat memiliki luas 5.193.250km2, atau negara ke-7 terluas di dunia.
Indonesia yang merdeka pada tahun 1945 telah membangun kekuatan angkatan bersenjatanya secara kontinyu dari tahun ke tahun, dengan menganggarkan sejumlah dana melalui APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), dan telah berusaha membangun kekuatan pertahananannya secara mandiri.
Upaya perwujudan kemandirian tersebut dilakukan dengan membangun kemampuan untuk memproduksi alat utama sistem senjata (alutsista) di dalam negeri. Alutsista sendiri mengacu kepada seluruh sistem persenjataan, mulai dari pistol, senapan, peluncur roket, sampai dengan kapal, tank, dan pesawat terbang.
Akan tetapi, karena masih banyak sektor lain yang membutuhkan prioritas pembangunan, maka anggaran pertahanan yang dialokasikan di dalam APBN memiliki sifat yang terbatas jumlahnya. Pada saat krisis ekonomi 1998, terjadi krisis multi dimensi yang tidak hanya menyebabkan minimnya anggaran yang tersedia untuk modernisasi alutsista, tetapi juga embargo yang menyebabkan banyaknya alutsista yang mangkrak dan tidak bisa digunakan akibat suku cadangnya tidak disuplai lagi oleh pembuatnya di luar negeri.
Baru pada tahun 2007, melalui UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 bab III tentang pertahanan menyebutkan “Pembangunan kekuatan pertahanan melampaui kekuatan essential minimum”.
Pada tahun 2008 pemerintah kembali menegaskan komitmennya untuk membangun kekuatan pertahanan Negara dengan memasukan istilah kekuatan pokok minimum (MEF - Minimum Essential Forces) dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No.7/2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara.
Pertumbuhan anggaran pertahanan Indonesia
Dilihat dari tren pertumbuhannya, anggaran Kementerian Pertahanan telah tumbuh sebanyak 154,8% dari tahun 2010-2017, menunjukkan komitmen dan perhatian pemerintah Indonesia terhadap sektor pertahanan dan keamanan. Dalam APBN 2017, anggaran pertahanan di APBN ditetapkan sebesar Rp 106,9 Triliun, dengan kenaikan rata-rata kurang lebih sekitar 16,6%.
Dilihat dari tren pertumbuhannya, anggaran Kementerian Pertahanan telah tumbuh sebanyak 154,8% dari tahun 2010-2017, menunjukkan komitmen dan perhatian pemerintah Indonesia terhadap sektor pertahanan dan keamanan. Dalam APBN 2017, anggaran pertahanan di APBN ditetapkan sebesar Rp 106,9 Triliun, dengan kenaikan rata-rata kurang lebih sekitar 16,6%.
Jika dilihat alokasi anggaran per sektor, Kementerian Pertahanan memperoleh alokasi terbesar dalam belanja Kementerian/ Lembaga pada APBN 2017, mengalahkan Kemeterian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Artinya, komitmen Pemerintah dari rezim ke rezim sebenarnya sangat besar pada urusan pertahanan.
Namun di balik besarnya anggaran pertahanan tersebut, sebenarnya masih ada kesenjangan antara kebutuhan pengadaan alutsista dan dana yang tersedia untuk membelinya dalam rangka pemenuhan Kekuatan Esensial Minimum TNI. Mengapa?
Karena dari total anggaran yang dialokasikan kepada Departemen Pertahanan tersebut, tidak semuanya diperuntukkan bagi pengadaan baru maupun perawatan dan perbaikan alutsista. Sebagian besar anggaran diperuntukkan bagi untuk membayar gaji dan remunerasi prajurit, dan hanya 15-20% dari total anggaran yang diperuntukkan untuk pengadaan alutsista.
Dibandingkan dengan luasnya wilayah yang harus dicakup oleh TNI seperti yang disampaikan penulis di awal tulisan ini, maka anggaran yang ada seringkali tidak memadai untuk dapat mengadakan alutsista baru sesuai dengan kebutuhan.
Sebagai ilustrasi, APBN yang tersedia untuk belanja alutsista baru untuk tahun 2015 misalnya, hanya tersedia Rp 3,7 triliun untuk TNI AU, Rp 4,02 triliun untuk TNI AL, dan Rp 4,9 triliun untuk TNI AD. Secara agregat hanya tersedia Rp 12,62 triliun atau hanya 12,4% dari total anggaran Pertahanan 2015 yang mencapai Rp 101 triliun. Rasio ini relatif tidak berubah dari tahun ke tahun.
Harus diakui, postur anggaran tersebut memang tidak salah. TNI masih butuh banyak tenaga manusia, tidak hanya untuk menjalankan misi tempur, tetapi juga melaksanakan misi teritorial pada level Kodam - Korem - Kodim - Koramil, mengingat kehadiran TNI di tengah masyarakat memang nyata masih dibutuhkan untuk menangkal ancaman dari dalam seperti terorisme, apalagi dengan revisi UU terorisme, TNI kini juga dilibatkan dalam pemberantasan teror.
Mau tidak mau, TNI saat ini harus mulai melihat visi ke depan, bagaimana membentuk kesatuan tempur yang kecil dan efisien, serta melakukan otomasi untuk mendukung pekerjaan-pekerjaan yang tadinya harus dilakukan oleh banyak orang.
Membentuk kesatuan tempur yang kecil dan efisien memang harus menyandarkan diri pada teknologi, sehingga dapat menjadi pelipatganda kekuatan. Struktur regu infantri misalnya, bisa diperkecil menjadi hanya 8 orang dalam satu regu, tetapi memiliki kemampuan untuk memanggil tembakan dukungan secara organik dari manapun mereka berada sehingga daya gempurnya tidak sebatas pada jumlah manusia dalam satu regu.
Untuk Kavaleri, kendaraan-kendaraan perangnya juga harus didukung dengan jumlah personil yang optimal, misalkan satu kendaraan tempur cukup dioperasikan oleh maksimal tiga orang sehingga kebutuhan awak kendaraan per batalyon bisa dijaga. Penggunaan teknologi seperti pesawat terbang tanpa awak juga dapat mengurangi kebutuhan adanya pengintai di garis depan, sehingga struktur tabel organisasi dan peralatan bisa dibuat sekecil mungkin, dan pasukannya bisa mobil.
Untuk menjaga perbatasan, dapat diterapkan penggunaan sensor gerak dan kamera, sehingga pengawasan dapat dilakukan secara lebih efektif. Biayanya memang mahal di awal, tetapi bisa menekan kebutuhan prajurit pengawas perbatasan yang saat ini harus ditempatkan dalam pos-pos pada jarak tertentu.
Masih banyak lagi hal yang bisa dilakukan melalui implementasi teknologi militer yang tepat guna. Syaratnya, teknologi tersebut haruslah dikembangkan oleh bangsa sendiri, misalnya bekerjasama dengan universitas-universitas untuk melakukan riset, dan kemudian seharusnya diproduksi oleh industri pertahanan dalam negeri. Selain kebutuhan prajurit TNI yang spesifik sesuai dengan medannya, pengembangan oleh bangsa sendiri akan membuat lawan kesulitan mengintai ilmu yang kita gunakan. (Aryo Nugroho)