Trilateral Air Patrol |
Indonesia, Malaysia, dan Filipina akhirnya menyepakati Trilateral Air Patrol di Laut Sulu.
Kesepakatan tersebut digelar di Air Force Base, Subang, Malaysia pada Kamis (12/10/2017) kemarin.
Kesepakatan ini merupakan hasil akhir dari dua tahun perundingan menteri pertahanan masing-masing negara demi mencapai kebijakan yang tepat serta win-win solution untuk merespons gangguan keamanan di Laut Sulu.
Berdasarkan siaran pers yang diterima Kompas.com pada Jumat (13/10/2017), bentuk kerja sama adalah mengintegrasikan patroli dan latihan darat sebagaimana tertuang dalam kesepakatan sebelumnya.
"Kegiatan ini akan menjadi satu model yang komprehensif guna memberikan jaminan keamanan bagi pengguna perairan di kawasan Laut Sulu, baik perdagangan, nelayan atau transportasi manusia, termasuk eksplorasi kekayaan alam," ujar Kepala Pusat Komunikasi Publik Brigjen TNI Totok Sugiharto.
Bentuk kerja sama ini sebenarnya meniru konsep kerja sama maritim tiga negara yang sudah terlebih dahulu dilaksanakan di Selat Malaka, yakni Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Konsep itu terbukti berhasil menekan ruang gerak penjahat di tengah laut. Apalagi, saat ini kerja sama itu dilengkapi dengan Eyes in the Sky.
"Selain memberikan jaminan keamanan kepada pengguna jalur pelayaran Selat Malaka, sekaligus mencegah adanya upaya internasionalisasi wilayah yang menjadi kepentingan bersama," ujar Totok.
"Bagi Indonesia, permasalahan yang terjadi di wilayah teritorial itu memang harus diatasi oleh negara-negara yang berbatasan langsung," lanjut dia.
Antisipasi Foreign Fighters "Pulang Kampung"
Trilateral Air Patrol ini, lanjut Totok, tidak hanya untuk merespons meningkatnya kejahatan di tengah laut, dalam tiga tahun terakhir.
Kesepakatan ini juga untuk merespons fenomena kembalinya pejuang asing atau foreign fighters ke negaranya masing-masing usai ISIS digempur di Suriah dan Irak.
Ancaman gangguan keamanan ikut bergeser dari wilayah Timur Tengah ke negara-negara lain, termasuk Asia Tenggara.
Konflik peperangan di Mindanao adalah bukti nyata pergeseran ancaman tersebut.
"Dengan timbulnya permasalahan di Mindanao Selatan, nampak jelas itu mengindikasikan adanya keterlibatan pejuang asing dari beberapa negara," ujar Totok.
Bagi Indonesia sendiri, pergeseran ini wajib menjadi sorotan. Kemhan tidak ingin foreign fighters masuk ke Indonesia untuk mengembangkan kelompoknya sekaligus menyebarkan paham radikalisme dan pada akhirnya menjadi bbit aksi terorisme baru di Tanah Air.
"Intinya, upaya-upaya yang dilakukan Indonesia, baik dalam subregion atau regional Asia Tenggara dapat menjadi modal bagi terciptanya rasa aman bagi rakyat dan pengguna lintas laut. Ini juga diharap menjadi contoh model kerjasama pertahanan lain," ujar Totok.
Sumber : http://www.kompas.com/