EE-T2 Osorio |
Pengalaman pahit ketika industri strategis dalam negeri ‘dimatikan’ oleh kekuatan negara-negara adikuasa rupanya tidak hanya dialami Indonesia. Brasil sebagai negara yang sekarang mandiri dalam hal industri senjata dan alutsista ternyata pernah pula mengalaminya.
Kemauan sebuah negara untuk mandiri melalui industri strategis boleh jadi dianggap bahaya laten oleh negara-negara maju yang memiliki industri pada tingkatan yang sudah mapan. Maklum saja, negara-negara berkembang saat ini merupakan pasar yang sangat empuk untuk produk-produk teknologi tinggi berharga mahal. Punya sumber daya yang besar tetapi minim pengetahuan, Negara-negara adikuasa tentunya ingin agar status quo tersebut bertahan.
Maklum, untuk membuat produk-produk berteknologi tinggi seperti pesawat, kapal, atau senjata, investasi dan biaya riset yang dikucurkan juga tak sedikit. Belum lagi pangsa pasarnya yang boleh dibilang sempit. Ketika ada yang coba-coba belajar dan keluar dari lingkaran setan ketidaktahuan, dengan sigap orkestra konspirasi Negara-negara Barat dengan berbagai skenarionya akan berupaya keras menggagalkannya.
Dalam kasus Brasil, negara dengan perekonomian terbesar dan terbaik di Amerika Selatan ini pernah memiliki pabrik senjata berat dan kendaraan tempur yang sangat maju bernama Engesa. Engesa atau Engenheiros Especializados S/A (Perusahaan Mesin-mesin Khusus) tadinya merupakan perusahaan traktor dan alat pertanian, kemudian beralih membuat kendaraan tempur.
Sebagai pabrikan senjata, produk-produk Engesa seperti Cascavel, Urutu, dan Sucuri memiliki ciri khasnya sendiri yang seolah keluar dari pakem desain senjata Barat maupun Timur. Singkatnya, Engesa berhasil menciptakan pakem khas Amerika Latin yang disesuaikan dengan kondisi medan maupun tipikal ancaman yang kiranya akan dihadapi oleh Brasil sebagai Negara induknya.
AD Brasil sendiri juga tergolong progresif dalam hal penerapan teknologi pada jamannya. Paska Perang Dunia II, Brasil menjadi sedikit dari negara Amerika Latin yang memelihara armada tank dalam jumlah besar, dimana AD Brasil mengoperasikan M-3 Stuart dan M-4 Sherman buatan AS. Pada 1960, AD Brasil melakukan peremajaan Korps Kavalerinya dengan beralih menggunakan tank ringan M-41 Walker Bulldog yang dibeli sebanyak 300 unit.
Penggunaan tank sebesar ini tak lepas dari restu Amerika yang berupaya mencegah Brasil jatuh dalam pengaruh komunisme yang pada tahun-tahun tersebut sedang bergelora dan merebak di Amerika Selatan. Kedekatan AS dengan AD Brasil bahkan memuncak dalam Kudeta tak berdarah atas pemerintahan Presiden Joao Gulart yang beraliran sosialis.
Arah Kemandirian
Selepas dekade 1960an yang bergejolak, pemerintah Brasil yang kini dipegang oleh rezim militer kemudian menggariskan arah kemandirian militer Brasil. Hal ini berarti bahwa Brasil harus mampu membuat beragam kendaraan yang mampu menjawab tantangan tugas yang harus diemban oleh AD Brazil. Dalam hal rancang bangun tank, Perusahaan Bernardini Industry & Commerce Co bekerjasama dengan Bellicose Material Board berupaya menghadirkan purwarupa tank MB-3 Tamoyo. Pada awalnya, MB-3 Tamoyo tak ubahnya proyek retrofit yang sekedar menambah sejumlah fitur baru, namun kemudian berubah menjadi ambisius dengan membangun tank sendiri.
Walaupun menggunakan hull yang terinspirasi dari M-41, namun mesinnya sudah menggunakan mesin Scania DSI14 dan transmisi Alisson CD-500-3, serta kubah yang didesain dan dibangun secara lokal. Tamoyo pertama ini kemudian diperbarui dengan Tamoyo II yang menggunakan transmisi GE HMPT-500, dan kemudian Tamoyo III yang memperkenalkan sistem modern seperti laser rangefinder, thermal imaging, dan sistem kendali penembakan terkomputerisasi. Sistem penembakan meriamnya sudah distabilisasi dan kemampuan mengusung kanon 105mm. Sayangnya, karena tak ada ketertarikan dari AD Brasil, maka proyek Tamoyo pun mati suri dengan sendirinya pada 1982.
Osorio, puncak sekaligus akhir
Kegagalan Bernardini tak lantas membuat pabrikan lainnya, Engesa, mundur teratur. Pada dekade 1980an, perusahaan-perusahaan senjata Brasil sedang getol-getolnya berekspansi ke Timur Tengah, mengincar pasar senjata yang mekar bak cendawan di musim hujan berkat konflik Iran-Irak. Avibras telah berhasil menjual puluhan sistem artileri roket swagerak ASTROS ke Irak, dan Engesa mendengar bahwa Arab Saudi, yang tidak nyaman karena konflik kedua tetangganya itu, juga tengah berusaha memodernisasi armada tank mereka yang terdiri dari ratusan AMX-30B2.
Arab Saudi sebenarnya mengincar Leopard 2A4, namun sambutan dingin dari Jerman yang menolak menjual senjata ke negara lain jadi batu sandungan. Di sisi lain, dari dalam negeri sendiri AD Brasil juga sudah menyatakan minat untuk mengakuisisi sejumlah tank untuk mengganti M-41 Walker Bulldog yang tentunya sudah menua. Engesa kemudian mencoba menggabungkan kedua requirement tersebut kedalam satu tank.
Nyatanya, penggabungan kedua kebutuhan menjadi satu tersebut jauh lebih mudah di atas kertas dibandingkan dalam prakteknya. Arab Saudi nyata-nyata menginginkan daya pukul, dalam artian senjata yang diusung oleh tank baru tersebut harus berada di atas kaliber meriam tank yang ada di kawasan, dalam hal ini 105mm (M60, Merkava, Centurion), 115mm (T-62), dan 125mm (T-72).
Dari AD Brasil datang tuntutan bahwa tank yang dikembangkan Engesa tersebut tidak boleh melebihi tonase 36 ton, terkait dengan infrastruktur pendukung seperti jalan raya dan jembatan, plus sebagian kontur di Brasil terdiri dari tanah berawa atau gembur karena dilintasi sungai.
Lebar tank bahkan ditentukan pula, tak boleh lebih dari 3,2 meter karena keterbatasan lebar lori dan lebar terowongan rel kereta api yang ada di Brazil. Rel kereta di Brazil memang menjangkau seluruh negeri bahkan sampai ke pedalaman, melebihi jaringan jalan raya. Maka tidak heran bahwa Brazil menempatkan jaringan rel kereta api nya sebagai alat mobilisasi utama kekuatan tanknya.
Engesa merasa bahwa kalau mereka bisa menyatukan keinginan dalam negeri dan sekaligus potensi pasar ekspor, jumlah tank yang diproduksi dapat memenuhi hitungan ekonomis dan memenangkan persaingan sekaligus keberlangsungan hidup perusahaan. Mengetahui bahwa Arab Saudi begitu mendamba produk-produk Jerman, mereka pun segera berkiblat ke negeri panser tersebut.
Berbagai pabrikan senjata Jerman didekati, namun ternyata jalan tak mulus karena banyak intervensi. Thyssen-Henschel, yang merupakan kontraktor utama dalam pembangunan TAM (Tanque Argentine Mediano), tank medium milik Argentina, diajak rembuk. Sayangnya, Thyssen-Henschel mundur. Porsche, yang desainnya turut menentukan bentuk akhir dari MBT Leopard 1, antusias pada saat didekati. Namun Pemerintah Federal Republik Jerman, yang bisa mengira ujung pembicaraan tersebut, mengintervensi dan meminta Porsche menarik diri.
Pabrikan mesin Jerman MTU yang baru buka di Brasil juga didekati, harapannya mereka bisa menggunakan mesin MTU838 yang mentenagai Leopard 2. Sayangnya, banderol harga kelewat mahal akhirnya membuat Engesa mundur teratur. Sebagai gantinya, Engesa memilih mesin MWM TBD 234 yang dilengkapi turbocharger dan berdaya 1.040hp, yang pabriknya sendiri juga ada di Brasil.
Dari segi power/ weight ratio, tank yang menggunakan mesin MWM tersebut masih mampu membukukan 28hp/ ton, terhitung lincah jika dibandingkan Challenger 2 (19,1hp/ ton), atau bahkan M1A1 Abrams (23,7hp/ton), cukup untuk menghela tank melewati berbagai jenis medan yang tersedia. Mesin tersebut dikawinkan dengan sistem transmisi andal ZF LSG3000 yang bisa memaksimalkan output mesin.
Pada saat transmisi ZF dipilih, LSG3000 merupakan produk baru yang keluar pada 1984, dan kemudian terbukti andal mentenagai MBT seperti K1A1 buatan Korea Selatan, Ariete Italia, AMX-30E Spanyol, dan AMX-40 Perancis. Transmisinya sudah mengadopsi model matik dengan empat gigi maju dan dua gigi mundur, dengan fitur lock up clutch untuk meminimalkan kasus transmisi selip. LSG3000 juga dilengkapi secondary retarder yang ditugasi untuk membantu pengereman (engine brake) sehingga rem mekanik sangat terbantu dengan fitur ini. Alasan pemilihan sistem transmisi, lagi-lagi karena pabriknya sudah berdiri di Brasil.
Ketika mesin dan transmisi telah diputuskan, bagian tersulitnya adalah mendesain hull. Hull dari tank baru tersebut harus mampu mengakomodasi segenap mesin dan transmisi, sistem suspensi, kompartemen tempur dan kubah, amunisi, serta sistem optikal lainnya. Engesa dengan berani memborong perangkat hardware dan software CAD (Computer Aided Design) yang pada 1984, di jaman komputer tidak mampu menampilkan grafik, berharga jutaan dolar.
Pionir pada jamannya, CAD membantu para insinyur Engesa untuk mengira-ngira pemosisian berbagai komponen tank agar muat dan berfungsi.Dengan cara tersebut Engesa tidak perlu membangun terlalu banyak purwarupa untuk proofing, dan proyeksi penghematannya dianggap setara. Namun dengan segera, para insinyur Engesa menemukan masalah. Batasan 36 ton dianggap tidak realistis, dan amat sukar untuk dapat memenuhi keinginan AD Brasil kecuali ada pengorbanan yang dilakukan, entah pada proteksi, atau pada mobilitas. Kembali berunding, permintaan Engesa agar treshold bobot total tank dinaikkan, dan disepakati pada kisaran 42 ton.
Dari medium jadi main battle tank
Tanpa kawan yang bisa mengajari material dan desain untuk pembuatan hull, Engesa maju terus pantang mundur. Menyadari bahwa restriksi bobot akan mempengaruhi material yang digunakan, Engesa memilih lapisan komposit untuk menyusun hullnya. Lapisan dasarnya adalah baja tentu saja, kemudian diperkuat dengan alumunium, serat karbon dan keramik yang dilaminasi ke lapisan baja dasar.
Komposisi baja dasar untuk hull didesain dan dibuat oleh Usiminas, perusahaan dari Brasil sendiri, dan perakitannya dilakukan di pabrik Engesa Sao Jose dos Campos, Sao Paulo. Sementara untuk lapisan kompositnya, Engesa menyewa dua orang enjinir eks laboratorium Chobham, yang membuat Chobham Armour yang terkenal untuk MBT Inggris Challenger. Tidak ada data yang pasti mengenai kekuatannya, tetapi Engesa mengiklankan bahwa lapisan frontal/ glacis Osorio mampu menahan impak proyektil HEAT 105mm maupun seluruh ATGM yang beredar di pasaran pada dekade 1980an.
Layout dari hullnya sendiri terhitung konvensional, dengan bagian depan dan tengah diisi oleh kompartemen tempur, sementara bagian belakangnya diisi oleh mesin dan transmisi. Yang hebat, para enjinir Engesa sudah mendesain tank baru tersebut dengan mesin diesel sekunder yang berfungsi sebagai APU (Auxillary Power Unit). APU ini berfungsi mentenagai seluruh kelistrikan dalam kompartemen tempur, plus modul optik milik komandan sehingga dapat berputar independen terhadap gerak kubah. Apa artinya? Didalam tank baru rancangan Engesa ini, peranan hunter-killer yang baru populer pada 1990an sudah diadaptasi lebih dulu. Komandan yang berperan sebagai pemburu dapat mencari sasaran dengan suara yang seminimal mungkin sehingga mengurangi kemungkinan deteksi oleh lawan.
Sistem suspensi yang dipasang pada hull pun terhitung istimewa. Alih-alih menggunakan suspensi torsion bar standar, Engesa yang piawai dengan sistem suspensi ‘boomerang’ membenamkan sistem suspensi hidropneumatik di keenam roadwheel yang ada di tiap sisi badannya. Sistem suspensi yang dipergunakan dibuat oleh Dunlop, dan serupa dengan sistem yang diaplikasikan pada MBT Challenger 1.
Seperti kita tahu, sistem suspensi hidropneumatik menawarkan kenyamanan lebih bagi awak, mengurangi kelelahan, dan memberikan opsi untuk merubah ketinggian tank dari permukaan tanah. Tak berhenti disitu, Engesa juga memilih sistem rantai (track) Diehl 570P buatan Diehl Remscheid, serupa dengan yang dipergunakan oleh Leopard 2. Dengan tapak karet yang kuat, selain nyaman, daya tahannya juga mampu mencapai 16.000km tanpa kerusakan yang berarti.
Kubah
Beralih ke soal persenjataan, Engesa menemukan partner dari Inggris. Vickers Defense, perusahaan Inggris yang pernah membantu pembuatan tank nasional India sepakat untuk membuatkan sistem kubah untuk tank buatan Engesa. Basis pengembangannya adalah kubah Universal Turret milik Vickers Mk7, tank yang tak berhasil dijual oleh Vickers. Lucunya, Vickers tak berhasil menyelesaikan kubah sesuai perjanjian, dan tank Engesa tersebut diluncurkan dengan mock up turret yang dicat seperti kubah tank asli pada September 1984! Tank modern buatan Engesa ini ditahbiskan dengan kode EE-T1 Osorio, dinamai berdasarkan nama Jenderal Manuel Luis Osorio, bapak Kavaleri AD Brasil.
Pada Mei 1985, pengiriman kubah dari Inggris sampai di Brasil. Engesa memiliki rencana ambisius terkait dengan pemanfaatan kubahnya. Untuk urusan kanon sebagai senjata utama, Engesa mendesain dua macam meriam. Satu adalah kanon berulir Royal Ordnance L7 kaliber 105mm, kanon standar NATO yang digunakan pada M60 dan M1 Abrams. Yang kedua, untuk memenuhi keinginan Arab Saudi, Engesa menggunakan kanon tanpa alur (smoothbore) GIAT CN120-26/52 kaliber 120mm. Kanon ini, yang kelak akan dipakai oleh MBT Leclerc, dianggap mumpuni untuk melibas semua tank yang digunakan oleh tetangga-tetangga Arab Saudi.
Untuk kubah pertama yang dipasangkan ke EE-T1, perlengkapannya sudah lumayan komplit. Dikendalikan oleh sistem kontrol penembakan OIP yang distabilisasi, EE-T1 sudah mampu menembak sambil bergerak, satu fitur yang terhitung ‘luar biasa’ pada dekade tersebut karena baru Brasil sebagai negara berkembang yang mengaplikasikannya.
Fitur lain yang disediakan untuk penembak dan komandan adalah IIT (Image Intensifier Tube) pasif yang memampukan penginderaan pada malam hari, walau hasilnya masih belum terlalu sempurna. Varian pertama EE-T1 yang mengaplikasikan kanon L7 ini memiliki penyimpanan peluru di bagian belakang kubah (bustle) dengan pintu baja yang berfungsi sebagai firewall agar api tak menyebar ke kompartemen tempur apabila tank terkena tembakan.
Mendapati hasilnya memuaskan, Engesa bergerak semakin agresif saat menyelesaikan purwarupa kedua, EE-T2. Varian yang diperuntukkan bagi Arab Saudi ini dibangun penuh dengan bells and whistles alias penuh aksesoris. Selain kanon GIAT CN120-26/52 yang dipasang ke kubah, sistem kendali penembakannya menggunakan FCS buatan Marconi. Sistem kendali penembakan ini menggunakan arsitektur 16 bit untuk mampu mengolah berbagai variabel yang bisa dipasok ke sistem seperti elevasi meriam, arah angin, tekanan angin, pembacaan jarak dari laser rangefinder, dan tipe munisi yang digunakan.
Distabilisasi pada dua sumbu, EE-T2 pun juga mampu menembak sambil bergerak. Yang hebat, sistem penginderaan pada EE-T2 sudah dibantu dengan thermal imager buatan SFIM yang menggunakan tabung generasi kedua yang lebih jelas dibandingkan dengan IIT. Baik komandan maupun juru tembak memiliki sistem optik dan laser rangefinder independen dan mampu beroperasi sebagai hunter-killer. Sistem filter Nubika dipasang pada EE-T2, sesuai dengan permintaan Arab Saudi. EE-T2 diawaki oleh 4 orang, pengemudi, komandan, juru tembak, dan pengisi munisi.
Sebelum menjalani kompetisi di gurun, AD Brasil dan Engesa menguji EE-T1/T2 di wilayah Marambaia yang konturnya mirip dengan Arab Saudi, dimana tank ini menempuh jarak 3.269km tanpa jeda, dan melakukan uji penembakan sebanyak 50 kali. Pengujian tidak menemui kendala, sehingga AD Brasil amat puas dengan hasilnya. Berangkat dengan optimisme, kru dari Engesa berangkat ke Arab Saudi, dimana lawan-lawan EE-T2 sudah menunggu.
Lawan-lawan Osorio terhitung sangat serius, praktis Brasil harus berhadapan dengan para jawara dunia. Inggris membawa Challenger, Amerika menggadang-gadang M1 Abrams, Perancis mengajukan AMX-40. Ketiga lawan Osorio sudah jelas tangguh, dan tentunya tidak mau melewatkan kontrak yang menggiurkan tersebut. Arab Saudi menawarkan kesempatan yang adil dalam ujian yang realistik.
Sejumlah parameter yang diujikan adalah daya tempuh (endurance), kemampuan tembak, dan lintas rintangan. Arab Saudi mensyaratkan bahwa setiap tank akan menempuh jarak sejauh 2.350km cross country, 75% diantaranya melalui gurun. Tiap tank harus mampu memenuhi batasan konsumsi 2,1km per liter bahan bakar yang ditenggak di padang pasir, dan 3,4km/ liter di jalan raya. Untuk rintangan, tiap tank harus melintasi parit selebar 3m, menanjak pada sudut 65o, melintasi kemiringan 30o, serta berhenti dan berakselerasi pada tanjakan.
Soal perawatan teknis tak luput dari perhatian, dimana penggantian track harus dapat dilakukan dalam 40 menit, mesin harus mampu dinyalakan idle selama 6 jam, dan mampu menderek tank sejenis lainnya, terutama untuk kebutuhan recovery. Untuk uji penembakan, tiap tank diwajibkan menembak 149 kali, dengan sasaran pada berbagai jarak dan yang terjauh adalah 4.000 meter. Ada sasaran statik dan ada pula sasaran bergerak, yang ini dipasang pada jarak 1.500m. Dalam kasus ideal, dimana tank diawaki oleh para kru uji yang mengenal tiap tanknya luar dalam, mungkin hal ini bisa dilakukan.
Namun Arab Saudi memberikan satu twist yang rumit: tiap tank harus diawaki oleh prajurit kavaleri AD Arab Saudi, dan kru uji tiap perusahaan hanya bertindak sebagai pendamping. Benar saja, satu demi satu tank lawan berguguran. Challenger dan AMX-40 tidak mampu memenuhi batasan konsumsi bahan bakar yang disyaratkan, sementara M1 Abrams sedikit lebih boros dari EE-T2 yang mampu mencapai efisiensi konsumsi bahan bakar.
Kemampuan recovery EE-T2 juga luar biasa, karena mampu digunakan menarik M1 Abrams yang bobotnya 10 ton diatas EE-T2. Pada saat uji tembak, EE-T2 benar-benar menunjukkan kelasnya. Osorio menjadi satu-satunya tank yang mampu menembak sasaran statik berukuran sebesar mobil pada jarak 4.000m. AMX-40 yang menggunakan meriam yang sama, tidak mampu melakukannya. Arab Saudi tentunya amat puas, dan mengumumkan EE-T2 Osorio sebagai pemenang. Banderol harga EE-T2 yang ‘hanya’ US$1,2 juta membuat Arab Saudi memesannya sebanyak 318 unit.
Hasil kemenangan di Arab Saudi ini membuat Engesa dan AD Brasil meledak dalam kegembiraan. Sudah terbayang rencana ekspansi dari Engesa, yang berniat membangun pabrik baru di Arab Saudi, mempekerjakan lebih banyak pegawai, dan memasok AD Brasil. Arab Saudi bahkan akan menjadikan EE-T2 Osorio sebagai basis pengembangan tank lokalnya, Al Fahd. Dalam kontrak yang ditandatangani tersebut, 10 tank akan diberikan ke AD Brasil secara cuma-cuma, dengan dana dari Arab Saudi. Kontrak ini tentu saja akan membawa Engesa ke jajaran top produsen tank di dunia.
Dikhianati dan ditusuk dari belakang oleh sang adidaya
Sayangnya, kemenangan yang sudah ada di pelupuk mata tersebut dalam sekejap berubah menjadi fatamorgana. AS dan Inggris tidak begitu saja tinggal diam, dan meluncurkan berbagai intervensi politik. AS memainkan paranoia stabilitas kawasan, menjadikan konflik Iran-Irak sebagai hantu yang akan menggoyahkan kekuasaan dinasti Al-Saud. Selain itu, AS menunjukkan fakta bahwa Brasil merupakan pemasok besar senjata untuk Irak seperti Avibras ASTROS.
Arab Saudi, yang secara tradisional merupakan sekutu Amerika Serikat dan menyenangi status quo di kawasan, akhirnya menurut. Mereka menggantung status kontrak dengan Engesa. Pukulan telak kedua adalah ketika Perang Teluk II meletus. Armada tank-tank Abrams dan Challenger merajai gurun Kuwait dan Irak, menghancurkan tank-tank Garda Republik tanpa tanding. Arab Saudi, yang merasa berhutang budi pada AS, akhirnya memutuskan membeli Abrams, satu langkah final yang mengakhiri prospek Osorio.
Engesa yang sudah terlanjur mengeluarkan investasi besar untuk pengembangan EE-T1/T2, akhirnya mengumumkan kebangkrutan mereka di tahun 1991 karena pertaruhan mereka pada tank yang hebat itu ternyata berujung pada kekalahan. Secara tidak langsung, intervensi politik AS dan Inggris telah mematikan industri strategis Brasil.
Yang paling ironis, walaupun Osorio merupakan platform yang telah teruji, AD Brasil tak mau membelinya karena alasan klasik, apalagi kalau bukan soal pendanaan. Sebagai gantinya, AD Brasil malah membeli Leopard 1 eks Bundeswehr, yang tentunya jauh lebih inferior dibandingkan EE-T1/T2 yang dikembangkan oleh anak negerinya sendiri, sementara sang tank karya anak bangsa hanya berakhir sebagai sebuah monumen belaka. Sungguh tragis. (Aryo Nugroho)
Sumber : https://c.uctalks.ucweb.com