Sejarah |
Pemerintah Belanda dikabarkan telah membiayai sebuah riset besar-besaran untuk meneliti kekerasan yang terjadi dalam perang kemerdekaan Indonesia antara 1945-1950.
Namun, upaya ini dikhawatirkan merupakan langkah Belanda yang berusaha "mencuci tangan" di saat menghadapi tuntutan hukum terkait kejahatan perang di masa yang sama.
Pada September tahun lalu, tiga institusi Belanda memulai program riset selama empat tahun bertajuk "Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia 1945-1950".
Tujuan riset ini adalah menelitik kondisi dan tingkat kekerasan dalam konflik di masa operasi militer Belanda di Indonesia.
Riset ini dilakukan Institut Studi Karibia dan Asia Tenggara (KITLV), Institut Sejarah Militer Belanda (NIMH), dan Institut Studi Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD).
Riset panjang ini dijadwalkan berlangsung hingga September 2021.
Meskipun riset ini juga melibatkan para sejarawan Indonesia tetapi tetap muncul pertanyaan terkait independensi dan latar belakang politik riset ini.
Apalagi, pemerintah Belanda mengeluarkan dana yang tak sedikit yaitu 4,1 juta euro atau tak kurang dari Rp 67 miliar untuk membiayai riset tersebut.
Alhasil, sebanyak 126 warga Belanda dan Indonesia, yang terdiri atas para aktivis dan sejarawan, menulis surat terbuka karena mereka khawatir riset ini digelar untuk kepentingan tertentu.
Surat terbuka itu, yang diawali inisiatif ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Jeffry Pondaag dan Fransisca C Pattipilohy, dikirimkan juga ke pemerintah Belanda dan Indonesia pada November tahun lalu.
Fransisca adalah seorang penerjemah asal Indonesia yang mengasingkan diri sejak 1968.
"Kami yakin dibutuhkan banyak riset untuk meneliti masa-masa itu. Namun, pertanyaan yang muncul terkait pengaruh politik dan pengambilan keputusannya," kata Jeffry kepada harian The Jakarta Post.
"Kami khawatir proyek riset ini tidak independen dan justru keluar dari isu krusialnya," tambah Jeffry.
Program riset ini terdiri atas sembilan sub-proyek yang mencoba menggali informasi di masa-masa operasi militer Belanda di Indonesia pada 1945-1950.
Dua sub-proyek itu disebut studi regional dan periode Bersiap, yang akan melibatkan tim sejarawan dari Universitas Gajah Mada (UGM) yang dipimpin Bambang Purwanto dan Abdul Wahid.
"Masa Bersiap" itu adalah periode beberapa bulan terakhir 1945 hingga awal 1946. Di masa ini, para peneliti mengklaim, kelompok-kelompok militan Indonesia banyak melakukan aksi kekerasan.
Situasi inilah yang menjadi salah satu perhatian dalam proses penelitian jangka panjang tersebut.
Namun, Jeffry menhgatakan, studi tentang masa Bersiap itu merupakan permintaan Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD) yang berhaluan konservatif.
Dan, masih kata Jeffry, para peneliti sudah menyepakati persyaratan yang dirancang pemerintah seperti tercantum dalam surat yang dikirim Direktur NIOD Frank van Vreex ke majelis rendah Parlemen Belanda pada 9 Februari 2017.
"Terdapat adanya kerja sama antara pemerintah sebagai penyandang dana dan para peneliti sebagai eksekutor," ujar Jeffry.
"Ini menimbulkan pertanyaan serius terkait independensi para peneliti yang terlibat dalam proyek tersebut," tambah dia.
Sumber : http://news.kompas.com/