Sistem Komunikasi Taktis Line-of-sight Optical (TALON) |
Salah satu lembaga peneliti terkemuka Departmen Pertahanan Amerika Serikat (AS) menguji coba jaringan komunikasi baru. Salah seorang peneliti menggambarkannya sebagai komunikasi serat optik tanpa serat.
Pada awal 2017, Departemen Pertahanan memberi Badan Penelitian Lanjutan Pertahanan (DARPA) dana sebesar Rp656 miliar untuk mengembangkan sistem sensor dan perangkat keras yang memungkinkan tentara untuk berkomunikasi bahkan jika musuh menggunakan radio jammer, sesuatu yang telah diuji oleh China dan Rusia dalam beberapa tahun terakhir.
Marinir di Camp Hansen di pulau Jepang Okinawa menguji Jaringan Komunikasi Taktis Line-of-sight Optical (TALON) pada 21 Agustus, yang mentransfer data pada laser inframerah yang sangat aman dan hampir tidak terdeteksi, terpisah dari spektrum frekuensi radio, rilis Korps Marinir AS.
"Kami keluar ke Okinawa karena itu adalah salah satu lingkungan yang paling lembab, dengan cuaca sangat bervariasi pada skala waktu yang sangat singkat," kata Dr. Linda Thomas, seorang insinyur peneliti senior dari Laboratorium Penelitian Angkatan Laut AS.
"Ini (cuaca) bisa berubah dari bagus dan cerah hingga hujan lebat. Kami melihat bagaimana sistem beroperasi dan menangani kondisi ini dan bagaimana kami dapat memenuhi kebutuhan Korps Marinir mendatang dengan lebih baik," imbuhnya seperti dikutip dari Sputnik, Sabtu (25/8/2018).
Sistem, yang menyerupai tripod surveyor besar, mengirimkan berkas cahaya terbatas dari pemancar ke penerima yang dapat "melihat" secara langsung. Menyusun dua perangkat bisa menjadi sulit, karena tidak seperti radio, TALON tidak dipancarkan ke semua arah. Namun itu adalah intinya, karena hal itu membuatnya jauh lebih sulit untuk dideteksi dan digagalkan.
Sementara versi teknologi sipil, yang telah ada sejak 1960-an, memiliki jangkauan sekitar lima mil, Departemen Pertahanan dengan cerdik memberikan rentang yang tepat untuk sistem TALON. Namun, tes di Okinawa dilaporkan mencapai rentang yang sama dengan radio tentara, yang berjarak sekitar 45 mil.
Selain gangguan, bahaya menggunakan radio dalam pertempuran adalah sinyalnya dapat diikuti hingga ke sumbernya, yang kemudian menjadi target serangan udara atau dibombardir artileri.
"Ada musuh di luar sana dengan kemampuan untuk menyangkal, merendahkan dan mengganggu kemampuan kami," kata Kapten Kyle Terza dari Komando Angkatan Darat AS dan Komando Rudal.
"Ancamannya ada di luar sana dan kami harus dilatih dan siap beroperasi tanpa (radio)," tukasnya. (Berlianto)
Sumber : https://www.sindonews.com/