radarmiliter.com - Dalam video rekrutmen yang dirilis oleh Angkatan Udara Tentara Rakyat Tiongkok pada awal tahun ini, empat pesawat tempur J-20 terlihat mengangkasa melewati badai dilangit, dan bermanuver dengan cekatan diantara sambaran petir.
Ada yang terlewatkan dari video citra digital yang dramatis itu, yang merupakan detail penting yaitu, untuk pertama kalinya, jet Tiongkok akan ditenagai oleh mesin yang dibuat di dalam negeri, bukan lagi buatan Rusia.
Keputusan Beijing untuk mengganti mesin J-20, dicatat oleh media corong pemerintah Tiongkok, Global Times, hanyalah tanda terbaru bahwa Tiongkok dengan cepat menutup kesenjangan militer dengan tetangganya di utara. Selama beberapa dekade, Tiongkok sangat tergantung pada senjata Rusia untuk memodernisasi angkatan bersenjatanya. Tetapi kini hal itu telah mulai berubah, karena Tiongkok membangun industri pertahanan yang kuat dan bahkan mulai menjadi penantang Moskow di pasar senjata global.
Dengan beberapa hal, mungkin hal itu memiliki keunggulan - sebuah pergeseran yang kemungkinan akan mengubah dinamika hubungan kedua negara yang canggung tetapi semakin dekat.
Data yang diterbitkan oleh Stockholm International Peace Research Institute pada bulan Desember tahun lalu menempatkan Tiongkok diatas Rusia sebagai produsen senjata No. 2 di dunia pada periode 2015 hingga 2019. Amerika Serikat masih menjadi No. 1 dunia.
Pusat penelitian senjata terkemuka itu menemukan bahwa empat dari 25 perusahaan produsen senjata teratas pada tahun 2019 adalah dari Tiongkok. Kuartet ini, tiga di antaranya berada di 10 besar, menyumbang 16% dari keseluruhan penjualan senjata dan menghasilkan $ 56,7 miliar. Sebaliknya, hanya dua perusahaan Rusia yang masuk 25 besar, menyumbang hanya di bawah 4% dari total dan menghasilkan $ 13,9 miliar.
Beberapa pejabat industri pertahanan dan analis Rusia membantah temuan SIPRI, dengan alasan bahwa tidak mungkin untuk secara akurat menghitung volume penjualan senjata Tiongkok karena Tiongkok cenderung menyembunyikan informasi tentang kompleks industri militernya. Mereka juga memprotes keputusan SIPRI untuk mengecualikan konglomerat teknologi milik negara Rusia Rostec, salah satu eksportir senjata terbesar di negara itu, dalam peringkat 25 teratas.
Meski begitu, hanya sedikit kalangan di Moskow yang menyangkal bahwa Tiongkok berkembang semakin cepat, bukan hanya dalam hal jumlah senjata yang diproduksi tetapi juga dalam hal kualitas.
Vadim Kozyulin, Direktur Proyek Keamanan Asia di PIR Center, sebuah think tank yang berpusat di Moskow, mengatakan kepada Nikkei Asia bahwa Tiongkok telah melampaui Rusia dalam hal pengembangan wahana udara tak berawak (UAV), jenis kapal perang tertentu dan mungkin bahkan dalam bidang rudal hipersonik - suatu bidang yang menjadi kebanggaan besar Kremlin dalam beberapa tahun terakhir.
"Kami melihat bahwa Tiongkok memproduksi model senjata baru dengan sangat cepat, merilis generasi baru setiap 10 tahun seperti dahulu Uni Soviet pernah melakukannya," katanya. "Dalam keadaan ini, sulit bagi Rusia untuk bersaing karena kita memiliki anggaran yang lebih kecil dan semakin menurun."
Untuk waktu yang lama dalam periode pasca perang dingin, Rusia menjadi pemasok senjata utama Tiongkok.
Kedua negara tetangga itu mulai bekerja sama pada awal 1990-an, ketika Tiongkok baru saja meluncurkan kampanye ambisius untuk meningkatkan persenjataan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) yang sudah ketinggalan zaman. Beijing awalnya mengacu ke barat sebagai sumber potensial teknologi militer canggih, tetapi harapan-harapan itu sirna setelah AS dan Eropa memberlakukan embargo senjata terhadap Tiongkok sebagai tanggapan terhadap pembantaian di Tiananmen tahun 1989.
Tiongkok kemudian segera menemukan pengganti di Rusia. Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991 menghancurkan produsen senjata Rusia. Sumber pendapatan lama seperti belanja militer dalam negeri dan kontrak yang menguntungkan dengan negara-negara klien asing dengan cepat berkurang. Munculnya Tiongkok sebagai calon pelanggan sangat membantu industri pertahanan Rusia yang sedang sakit dan memberikan penopang ekonomi yang sangat dibutuhkan.
Dari 1992 hingga 2007, Tiongkok mengimpor 84% senjatanya dari Rusia, dimana PLA melakukan pengadaan pesawat tempur, sistem pertahanan udara, kapal destroyer dan kapal selam.
Namun kemudian Beijing juga melakukan reverse-engineering banyak senjata yang dibeli dari Rusia, hal yang tidak disukai oleh Moskow.
Beberapa senjata terbaru Tiongkok, terutama jet tempur J-11 dan rudal darat-ke-udara HQ-9, tampak hampir identik dengan varian sebelumnya yang dibeli dari Rusia. Yang terbaru, belum lama ini Tiongkok mengumumkan siap untuk mengekspor sistem rudal darat-ke-udara HQ-17 yang sangat mirip dengan sistem rudal pertahanan udara Tor buatan Rusia. Pada tahun 1996, Tiongkok memesan 14 sistem rudal Tor M-1 dari Rusia yang dikirm pada tahun 1997. Pada tahun 1999 ditandatangani kontrak pembelian tambahan 13 sistem Tor M-1, yang dikirim pada tahun 2000. Pada tahun 2000, Tiongkok mengajukan untuk memproduksi Tor M-1 secara lisensi, namun Rusia menolaknya. Pada tahun 2015 HQ-17 diperkenalkan, dan dari foto-foto HQ-17 yang beredar, seorang desainer senjata Rusia mengatakan bahwa kemunculan HQ-17 tersebut membenarkan kecurigaan Rusia bahwa Tiongkok telah meng-copy Tor M-1. Pada bulan Desember 2019, bahkan Rostec secara terbuka menuduh Tiongkok meng-copy secara ilegal banyak teknologi militer Rusia selama hampir dua dekade.
Terlepas dari masalah ini, perdagangan senjata antara kedua negara masih terus berjalan. Dari 2014 hingga 2015, Moskow setuju untuk memasok Beijing dengan enam batalion sistem pertahanan udara S-400 dan 24 jet tempur Su-35, yang merupakan senjata-senjata paling canggih Rusia.
Tidak jelas berapa lama lagi Tiongkok akan membutuhkan senjata buatan Rusia. Dalam rentang hanya 20 tahun, sektor senjata Tiongkok telah beralih dari industri "pemula" menjadi industri kelas berat dunia. Tidak hanya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan militernya sendiri, tetapi juga telah mengekspor ke pelanggan mulai dari Pakistan hingga Serbia.
Kebangkitan Tiongkok sebagai produsen senjata didukung oleh peningkatan cepat dalam pengeluaran militernya. Menurut SIPRI, anggaran pertahanan Tiongkok meningkat sebesar 85% selama dekade terakhir, mencapai $ 261 miliar pada 2019. Meskipun Rusia juga meningkatkan pengeluaran militernya di bawah Presiden Vladimir Putin di masa lalu, kenaikannya jauh lebih sedikit, dan pengeluaran pertahanan tersebut telah secara bertahap menurun sejak 2015.
Yang tidak kalah pentingnya adalah kemunculan Beijing sebagai kekuatan teknologi. Tiongkok adalah rumah bagi 1,87 juta peneliti ilmiah, merupakan yang paling banyak di dunia, dan semakin banyak muncul raksasa teknologi tinggi seperti Huawei, Tencent dan ZTE.
Meskipun ada upaya baru-baru ini oleh Kremlin untuk merangsang sektor teknologi domestik, Rusia belum dapat menikmati kesuksesan serupa. Para ahli memperingatkan bahwa Rusia tertinggal dalam teknologi utama yang sedang berkembang saat ini seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence), dan bahwa jika hal itu tidak dirubah, industri pertahanannya akan mengalami kesulitan mengejar ketertinggalan dari Tiongkok dan AS.
"Rusia tidak memiliki perusahaan raksasa seperti Microsoft atau Huawei yang menghasilkan teknologi yang dapat digunakan untuk keperluan sipil dan militer," kata Kozyulin dari PIR Center. "Sebaliknya, pemerintah Rusia sendiri yang harus menciptakan segalanya dari awal, yang menyebabkan biayanya sangat mahal."
Karena Tiongkok telah menjadi lebih maju, Rusia telah mulai mengeksplorasi peluang untuk pengembangan bersama persenjataan dengan Beijing. Pada tahun 2016, kedua negara bermitra untuk mengembangkan dan memproduksi lebih dari 200 helikopter angkut berat next generation untuk PLA pada tahun 2040. Kolaborasi besar lainnya diumumkan pada bulan Agustus tahun lalu, ketika pejabat senjata Rusia mengungkapkan bahwa Moskow dan Beijing mulai bekerja mengembangkan kapal selam non-nuklir baru.
"Sangat jelas bahwa Rusia beralih menjadi peran pentransfer teknologi dan subkontrak, karena meskipun Tiongkok sekarang dapat membuat banyak sistemnya sendiri, Tiongkok masih kurang memiliki pengalaman dan kemampuan rekayasa seperti yang dimiliki Rusia untuk mengembangkan banyak komponen utama," kata Michael. Kofman, Direktur Program Rusia di Pusat Penelitian Militer CNA yang berpusat di Washington.
Tetapi para ahli lainnya skeptis bahwa kerjasama semacam itu akan berkelanjutan dalam jangka panjang. Siemon Wezeman, seorang peneliti senior di Program Belanja Senjata dan Militer SIPRI, berpendapat bahwa Moskow bisa menjadi tertinggal terlalu jauh untuk membuat Beijing tetap tertarik padanya.
"Saya menduga Rusia akan benar-benar berhenti sebagai penyedia teknologi untuk Tiongkok dalam waktu lima hingga 10 tahun," katanya. "Rusia sebaliknya akan berusaha bagaimana mereka bisa mendapatkan teknologi Tiongkok karena Rusia sudah tertinggal, dan dalam beberapa kasus mereka tidak berkembang lagi."
Wezeman menambahkan bahwa dalam jangka panjang, bahkan mungkin bahwa China akan mendesak produsen senjata Rusia keluar dari pasar tradisional mereka di Afrika, Timur Tengah dan Amerika Latin. Dia memperingatkan bahwa Tiongkok memiliki posisi yang menguntungkan untuk mengalahkan Rusia di pasar-pasar ini, karena tidak seperti Moskow, Beijing dapat menggabungkan penjualan senjata dengan perjanjian ekonomi yang menguntungkan.
"Tidak ada alasan nyata bagi negara-negara itu untuk membeli dari Rusia jika mereka bisa mendapatkan sesuatu yang serupa atau dengan penawaran lebih baik dari Tiongkok," kata Wezeman. "Tiongkok memiliki lebih banyak untuk ditawarkan, tidak hanya dalam hal senjata, tetapi juga semua jenis perjanjian lainnya." (Dimitri Simes Jr. - Moscow)(Angga Saja-TSM)
Sumber : asia.nikkei.com