BRIsat, Akankah Menjadi Satelit Komunikasi Utama TNI? - Radar Militer

17 Desember 2015

BRIsat, Akankah Menjadi Satelit Komunikasi Utama TNI?

Satelit BRIsat
Satelit BRIsat

TNI AD dalam strategi pengembangan sistem komunikasinya telah mencanangkan deployment Open BTS (Base Transceiver Station). Akses jaringan seluler mandiri ini digadang untuk menyambung urat komunikasi hingga wilayah pedalaman, terutama di area yang tak terjamah coverage operator seluler.Lain dari itu, Open BTS juga dirancang sebagai jejaring akses kendali bagi drone (UAV/Unmanned Aerial Vehicle).
Tapi obsesi pemanfaatan Open BTS, khususnya untuk kendali drone lebih dikarenakan ketiadaan dukungan akses satelit. Seperti diketahui TNI tidak mempunyai satelit komunikasi khusus untuk menunjang operasinya. Bicara tentang drone, hampir setiap instansi strategis dan semua angkatan mengusung model drone masing-masing. Karena ‘minus’ peran satelit, maka kendali drone di Indonesia masih berkutat pada sistem LoS (Line of Sight) dari GCS (Ground Control Station) ke drone. Sementara untuk misi intai jarak jauh yang sifatnya over the horizon dengan sistem NLoS (Non Line of Sight) belum dapat dijalankan optimal, lantaran keterbatasan dukungan satelit.
Seberapa pentingkah satelit bagi TNI? Jawabannya tentu sangat penting, mengingat dengan kontur geografis dan gelar mobilitas satuan, maka satelit-lah yang diunggulkan sebagai backbone jaringan komunikasi. Misalnya saat TNI AD, TNI AL dan TNI AU membahas implementasi data link dan interoperability di lingkup Kodal (Komando dan Pengendalian), maka ujung-ujungnya satelit yang menjadi hub di level macro. Di Kohanudnas (Komando Pertahanan Udara Nasional), perangkat C-MOV (Central Monitoring and Observation Vehicle) yang bisa memonitor visual radar militer dan radar sipil secara terintegrasi jelas juga butuh satelit. Di TNI AL, seoerang panglima armada untuk bisa memantau keberadaan (posisi) tiap kapal perang pun butuh dukungan satelit, selain ada jalur radio.
Itu baru sebagian saja dari peran satelit dalam menunjang tugas dan misi militer. Karena tiadanya satelit militer, TNI pernah menggunakan satu transponder Satelit Papala B4 milik PT Telkom. Satelit Palapa B4 dioperasikan pada tahun 1992 hingga berakhir pada tahun 2005. Meski berlabel Palapa, kepemilikan saham PT Telkom dan PT Indosat Ooredoo sebagian dimiliki oleh asing, terlebih Ooredoo Indosat yang 65% sahamnya dikuasai asing, yakni Ooredoo Asia Pte Ltd.
Meski ada solusi enkripsi dan protokol data, jalur akses komunikasi via satelit tetap punya kerawanan, baik dari sisi pencurian data sampai urusan jamming. Terlebih dengan satelit sewaan yang ada campur tangan asing, maka keamanan data nasional jadi taruhan. Idealnya memang bisa menyediakan satelit buatan dalam negeri, sayangnya untuk level satelit komunikasi yang berisi multi transponder teknologinya belum dikuasai.
Siskomsat BRIsat
Bertepatan dengan Hari Armada pada 7 Desember 2015 lalu, KSAL Laksamana TNI Ade Supandi memperklenalkan Siskomsat (Sistem Komunikasi Satelit) untuk TNI AL. Siskomsat TNI AL akan diaplikasikan untuk penugasan prajurit yang bertugas di pulau-pulau terluar, survellance, mobile trunking, dan backpack prajurit Korps Marinir.
Untuk penggunaan surveillance atau pengamatan, Siskomsat dilengkapi dengan perangkat surveillance yang terdiri dari fasilitas radar, kamera, Automatic Identification System (AIS) transponder, PSTN dan E-mail. Sebagai Siskomsat mobile atau mobile trunking, kendaraan Siskomsat dilengkapi perangkat Very Short Aperture Terminal (VSAT) dan repeater, serta pada aplikasi bacpack untuk pasukan Korps Marinir, Siskomsat dilengkapi fasilitas e-mail, PSTN dan handy talky (HT) berbasis Internet Protocol (IP).
Siskomsat TNI AL ini direalisasikan dalam dua kegiatan yaitu Pengembangan Siskomsat TNI AL dengan Backbone C Band untuk pendirian darat dan Siskomsat TNI AL dengan Backbone Ku-Band untuk KRI. Pada tahapan pelaksanaannya TNI AL juga menjalin kerja sama dengan PT Telkom dan PT Len Industri dari tahap perencanaan teknis, tahap pengembangan software hingga pengadaan hardware-nya.
Siskomsat TNI AL dengan Backbone KU-Band, kata Kasal, diterapkan pada KRI dari unsur-unsur pemukul sehingga Komando dan Pengendalian Operasi bisa dilaksanakan secara langsung oleh pimpinan kepada unsur-unsur pelaku operasi. Siskomsat pada aplikasi KRI ini memiliki fasilitas berupa data, PSTN dan Visual Comunication (Vicom) serta dilengkapi dengan kamera, radar dan Automatic Identification System (AIS) Transponder. Tahun ini, Siskomsat dengan Backbone KU-Band dipasang di korvet KRI Usman Harun 359 dan korvet KRI Sultan Iskandar Muda 367. “Aplikasi Siskomsat di pendirat dan KRI dari unsur pemukul diharapkan mampu meningkatkan performa operasi TNI Angkatan Laut yang berkelas dunia,” tegas Laksamana TNI Ade Supandi.
Yang menarik, disebut Siskomsat TNI AL ini dapat berdiri karena berbasis bantuan Satelit Komunikasi BRIsat yang telah mengorbit pada bulan Oktober 2015 lalu. Sementara dari banyak pemberitaan lainnya, BRIsat baru akan diluncurkan pada pertengahan tahun 2016. Lepas dari perbedaan informasi tentang BRIsat, keberadaan satelit yang sepenuhnya dimiliki BRI (Bank Rakyat Indonesia) memang jadi angin segar, mengingat BRI menyatakan tidak akan menyewakan satelit untuk bisnis dan komersial di luar kepentingan BRI.
BRIsat yang dibuat oleh Space System/Loral (SSL) dan diluncurkan di pusat peluncuran Arianespace, mengusung 45 transponder dengan penggunaan 23 transponder untuk BRI dan empat transponder untuk pemerintah. Mengetahui hal tersebut sempat terjadi pembicaraan hangat mengenai 18 transponder satelit BRI yang tersisa. Untuk TNI, bila disediakan 10 transponder rasanya untuk saat ini sudah ideal.
Beberapa pihak berpendapat sisa transponder dari satelit tersebut dapat digunakan BRI untuk penyewaan jasa komunikasi satelit untuk bank lain, tapi isu tersebut dibantah oleh pihak BRI yang mengatakan bahwa sisa dari muatan transponder itu akan digunakan untuk menampung daya komunikasi BRI pada masa depan. Hal ini dilakukan mengetahui ijin penggunaan satelit BRIsat terbatas untuk telekomunikasi khusus (telsus) bukan komersial.
Alasan utama BRI membeli satelit adalah kebutuhan. Transaksi BRI melibatkan hampir 10.000 unit kerja, 22.000 ATM dan lebih dari 100.000 e-channel. Hingga kini, BRI menggunakan delapan provider. Namun, yang punya satelit sendiri hanya tiga provider. Akibatnya, transaksi di ATM BRI kadang tidak lancar. Bahkan. belakangan ini, kualitas layanan jaringan BRI terus menurun.
Saat BRIsat berfungsi, satelit dengan harga US$250 juta ini bisa menghemat pengeluaran Rp250 miliar per tahun. Biaya sewa satelit per tahunnya mencapai Rp500 miliar. Dengan memiliki satelit sendiri, maka BRI tidak perlu lagi keluar biaya sewa selama 15 tahun (usia satelit-red), ini tentu jauh lebih irit. BRISat dengan Transponder pita C sebesar 36X36 MHz dan Ku-band sebesar 9X72 MHz ini akan mengorbit di slot 150.5 Bujur Timur. Jalur Orbit tersebut sebelumnya diduduki oleh satelit Indosat yang sudah habis masa tugasnya, Palapa C-2. Satelit BRIsat mampu menjangkau wilayah Indonesia, ASEAN, Asia Timur termasuk sebagian Cina, Laut Pasifik termasuk Hawaii dan Australia Barat.
BRISat mengorbit secara geostasioner (geo) di ketinggian sekitar 36.000 km. Orbit geo dipandang paling menguntungkan, apalagi posisi Indonesia yang berada tepat di khatulistiwa mendukung untuk itu. Dengan menggunakan orbit geo, maka satelit akan berputar sama dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan rotasi bumi, dengan begitu dapat dikatakan posisinya tetap. Dengan begitu perangkat-perangkat yang ada di darat akan terkoneksi 24 jam sehari, tanpa terkendala tidak adanya satelit yang berada diatas Indonesia. Mungkinkah dengan alokasi transponder dan sisa transponder yang lumayan banyak, BRIsat yang notabene asli milik pemerintah bisa menjadi alternatif satelit komunikasi untuk TNI. (Bayu Pamungkas)

Sumber : TSM

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda