Strategi : Bagaimana Fatahillah Merebut dan Mempertahankan Sunda Kelapa - Radar Militer

16 Desember 2015

Strategi : Bagaimana Fatahillah Merebut dan Mempertahankan Sunda Kelapa

Strategi Fatahillah
Strategi Fatahillah 

Sampai dengan dekade kedua abad ke-16, Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang memiliki nilai strategis secara ekonomi dan politik dari Kerajaan Hindu Pajajaran. Bandar ini menjadi pelabuhan perantara paling ramai dikunjungi para pedagang Arab, India, China, dan para pedagang Nusantara setelah Malaka.
Kawasan Jawa Barat yang sampai tahun 1526 dikuasai Pajajaran menjadi fokus politik ekspansi Kerajaan Demak dengan tujuan melakukan islamisasi di wilayah itu. Menancapkan pengaruh secara politis dan mengontrol kegiatan perdagangan di pantai Utara Jawa bagian Barat dan Selat Sunda merupakan tujuan utamanya. Politik ekspansi ini berarti berhadapan dengan Kerajaan Pajajaran yang sejak tahun 1522 telah menjalin persekutuan dengan Portugis, yang merupakan musuh besar Demak. Kepentingan antara Portugis dan Kerajaan Pajajaran itu, kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian persahabatan militer dan ekonomi, yang selanjutnya dikenal sebagai Perjanjian Padrao (Padrong).
Portugis dan Demak berpacu dengan waktu untuk segera menduduki Sunda Kelapa. Pada tahun 1526, Alfonso d’Albuquerque mengirim enam kapal perang dibawah pimpinan Francisco de Sa menuju Sunda Kelapa. Kapal yang dikirim adalah jenis galleon yang berbobot hingga 800 ton dan memiliki 21-24 pucuk meriam. Armada itu diperkirakan membawa prajurit bersenjata lengkap sebanyak 600 orang.
Pada tahun yang sama, Sultan Trenggono mengirimkan 20 kapal perang bersama 1.500 prajurit dibawah pimpinan Fatahillah menuju Sunda Kelapa. Armada perang Demak terdiri dari kapal tradisional jenis Lancaran dan Pangajawa yang ukurannya jauh lebih kecil dari galleon. Kapal-kapal ini digerakkan oleh layar dan dayung serta dilengkapi paling banyak delapan pucuk meriam buatan lokal yang jangkauannya tidak sejauh meriam Portugis.
Berbeda dengan pasukan yang dikirim ke Malaka, prajurit Demak yang dipimpin oleh Fatahillah ini merupakan prajurit yang terlatih, sejumlah perwiranya merupakan veteran pasukan Pati Unus yang memiliki pengalaman perang laut untuk bagaimana menghadapi kapal-kapal Portugis.
Setelah Cirebon menggabungkan diri dengan Demak, maka Fatahillah tidak langsung menggempur Sunda Kelapa, melainkan mengarahkan armadanya ke Banten yang tidak dipertahankan secara kuat oleh tentara prajurit Kerajaan Pajajaran. Sehingga, Banten dapat diduduki oleh pasukan Demak dan Cirebon pada akhir tahun 1526. Penguasa Banten kemudian dipegang oleh Maulana Hasanudin, tokoh penyebar Islam dari Cirebon.
Pada awal tahun 1527, Fatahillah menggerakkan armadanya ke Sunda Kelapa, sementara pasukan Banten secara bertahap menduduki wilayah demi wilayah Pajajaran dari arah Barat. Pasukan Cirebon bergerak menguasai wilayah Pajajaran bagian Timur Jawa Barat. Dalam kondisi itu, Sunda Kelapa telah dipertahankan oleh Kerajaan Pajajaran secara kuat, baik di darat maupun laut.
Seluruh pasukan Demak dan Cirebon dibawah pimpinan Adipati Keling dan Adipati Cangkuang dari Cirebon berhasil didaratkan dan langsung berhadapan dengan pasukan darat Kerajaan Pajajaran yang dipimpin Sri Baduga Maharaja. Dalam waktu sehari Sunda Kelapa dapat dikuasai oleh pasukan Fatahillah. Oleh karena itu, Sultan Trenggono mempercayakan Fatahillah sebagai penguasa Sunda Kelapa yang baru. Kapal-kapal dan prajurit Kerajaan Demak yang disertakan dalam ekspedisi itu tetap dipertahankan di Sunda Kelapa untuk mendukung gerakan pasukan Islam yang sedang bergerak ke kawasan Pakuan (daerah Bogor) yang menjadi ibu kota Pajajaran. Selain itu, disiapkan untuk menghadapi kedatangan armada Portugis yang diketahui sedang bergerak ke arah Jawa bagian barat.
Perkembangan politik di Sunda Kelapa ternyata tidak diketahui oleh armada Portugis. Pada bulan Juni 1527 kapal-kapal Portugis telah berada di Teluk Sunda Kelapa, dimana sebuah kapal ditugaskan merapat di pelabuhan dan menurunkan pasukan bersenjata lengkap untuk merealisasikan perjanjian membangun loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng pertahanan) antara Portugis dengan Kerajaan Pajajaran pada tahun 21 Agustus 1522. Buah perjanjian itu, Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan.
Kapal-kapal Portugis lainnya membentuk formasi di perairan terbuka untuk menghadang kedatangan armada Kerajaan Demak yang diperkirakan akan muncul dari Teluk Sunda Kelapa. Fatahillah sengaja menahan armadanya untuk tetap bertahan di teluk lantaran mempertahankan Sunda Kelapa menjadi tujuan utamanya. Hal ini didasarkan pada dua perkiraan, yaitu Pertama kapal-kapal Kerajaan Demak akan sulit menghadapi armada Portugis di laut terbuka karena ketertinggalan teknologi senjata dalam hal jangkauan meriam dan menggiring Portugis untuk memaksakan pertempuran pantai yang memang menjadi spesialisasi kapal dan prajurit Demak. Kedua, pada saat itu sedang terjadi badai di perairan terbuka yang membahayakan pelayaran kapal-kapal Demak karena tonase dan ukurannya relatif kecil.
Dalam suasana yag serba mencekam dan tidak pasti itu, sebuah kapal perang Portugis mencoba memasuki teluk untuk menghindari badai. Namun, kehadiran kapal itu segera dikepung dan ditenggelamkan oleh kapal-kapal Kerajaan Demak yang mampu mengarahkan meriam dan bola api tepat di lambung dan geladak kapal yang naas itu. Empat kapal Portugis lainnya tidak berani memasuki Teluk Sunda Kelapa dan memilih menghadapi badai. Tenggelamnya dua kapal ini membuat Fransisco de Sa memerintahkan armadanya kembali ke Malaka.
Kemenangan pertempuran ini menunjukkan kehebatan pasukan kerajaan Demak yang dipimpin oleh Fatahillah. Atas kemenangan ini, kemudian Fatahillah diangkat sebagai Gubernur di sunda Kelapa. Untuk memperingati kemenangan armada Kerajaan Demak dalam merebut Sunda Kelapa dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran dan mempertahankannya dari Portugis. Maka pada tanggal 22 Juni 1527, Fatahillah mengubah nama pelabuhan ini menjadi Jayakarta yang berarti kemenangan mutlak. Sehingga, tanggal tersebut diperingati sebagai hari jadi kota Jakarta yang sekarang menjadi ibu kota Republik Indonesia.
Strategi Maritim Portugis
Dalam analisis studi kasus tentang strategi dari ketiga pihak yang berkepentingan dalam Perang Fatahillah ini digunakan pengertian strategi yang dicetuskan oleh Jenderal Andrew Jackson Goodpaster dalam bukunya yang berjudul For the Common Defense (1978), yang menyatakan bahwa, strategi meliputi apa yang seharusnya dilakukan (tujuan), bagaimana cara melakukannya (cara bertindak), dan dengan apa melakukannya (sarana prasarana).
Pasca penaklukan Portugis atas Malaka, maka para pedagang mulai mencari alternatif jalur perdagangan yang terbebas dari monopoli Portugis, dan Sunda Kelapa adalah pelabuhan yang tepat bagi mereka. Kondisi ini menjadikan Portugis harus mengembangkan grand strategy (strategi raya) mereka yaitu untuk menguasai seluruh jalur dagang lewat laut melalui pelebaran kekuasaan kolonialnya ke wilayah Nusantara lainnya sebagai bagian dari kampanye Gold, Glory, and Gospel. Sunda Kelapa di wilayah Kerajaan Pajajaran adalah target berikutnya. Strategi raya Portugis ini dapat ditinjau lebih mendalam dari aspek strategi maritim dan strategi kontinental sebagai berikut:
Sesuai teori Mahan, dalam bukunya ‘The Influence of Sea Power Upon History’ (1890) yang menyatakan bahwa sumber kekuatan maritim (sea power) meliputi kondisi geografis, sumber daya alam di dalamnya, karakter masyarakat suatu negara, dan sifat pemerintahannya. Credo yang terkenal dari A.T. Mahan ini menyatakan, ‘”upon the sea must be found the power to secure our own foreign policy”, sejalan dengan apa yang ditempuh oleh pihak Portugis.
Setelah menguasai Malaka dan mendapati adanya jalur pelabuhan alternatif lain yang ditempuh oleh para pedagang yaitu Pelabuhan Sunda Kelapa, maka Portugis merasa perlu untuk melebarkan sayap ekspansinya. Dengan teori yang sama, maka Portugis berusaha menguasai jalur kritis (Laut Jawa) dan titik kritis lainnya (Pelabuhan Sunda Kelapa). Akhirnya dapat disimpulkan bahwa dari aspek strategi maritim Portugis bertujuan menguasai jalur perdagangan laut (sea lane of trades) Nusantara. Dengan tujuan mampu mengontrol penuh pelabuhan penting seperti Malaka dan Sunda Kelapa sehingga seluruh aktivitas dagang di Nusantara dapat dikendalikan oleh Portugis.
Strategi Portugis dalam menguasai Malaka dilakukan dengan cara bertahap yaitu datang berdagang, menawarkan perjanjian, monopoli dagang, politik pecah belah lalu melakukan penjajahan (devide et impera). Dengan pola yang sama, Portugis berupaya mendekati Pajajaran. Portugis paham bahwa Pajajaran adalah negara yang bersifat agraris-kontinental, kesadaran maritim akan posisi strategisnya hampir tidak ada, sehingga sistem pertahanan atas pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki seperti Sunda Kelapa, Banten, Pontang, Cikande, Tangerang, dan Karawang sangat lemah.
Portugis juga menyadari bahwa Pajajaran saat itu merupakan fragile state yang terancam banyak pemberontakan dan desakan penyebaran agama Islam. Untuk itu Portugis dengan siasat diplomasinya menawarkan bantuan persenjataan, pembangunan benteng pertahanan di Sunda Kelapa, dan perlindungan militer. Tahapan cara yang ditempuh oleh pihak Portugis ini bersesuaian dengan teori Sun Tzu dalam bukunya ‘The Art of War’ yang menyatakan inti dari peperangan adalah pengelabuan (siasat), dan memenangkan perang tanpa harus bertempur adalah seni tersendiri dan puncak kesempurnaan strategi.
Cara bertindak yang ditempuh oleh Portugis terhadap pasukan Fatahillah adalah pertempuran politik. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkap oleh Karl von Clausewitz dalam bukunya yang berjudul Vom Krieg (On War), bahwa perang adalah kelanjutan dari politik dengan menggunakan cara lain, sehingga politiklah yang menentukan tujuan yang harus dicapai, baik melalui jalan damai maupun tindak kekerasan (perang). Dalam konteks itu, Portugis memanfaatkan sisa pasukan Pajajaran yang diharapkan bermanfaat untuk informasi kekuatan pasukan Fatahillah.
Pembangunan benteng pertahanan di Sunda kelapa, pasokan senjata laras panjang dan topi baja, penempatan armada kapal perang, dan perlindungan militer adalah sarana prasarana yang digunakan oleh Portugis untuk memperlancar usahanya dalam membujuk Pajajaran agar bersedia memberikan konsesi dagang istimewa kepada Portugis. Sedangkan pada episode Portugis melawan Fatahillah saat pecah Pertempuran Teluk Sunda Kelapa, Portugis menggunakan armada kapal perang yang terdiri dari enam kapal bermeriam beserta pasukan tempur bertopi baja dan senapan laras panjang.
Strategi Maritim Fatahillah
Strategi ini merupakan perpaduan dari pasukan gabungan Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, dan dengan perkuatan pemberontak Banten yang dipimpin Fatahillah. Mereka menerapkan grand strategi untuk mencegah masuknya Portugis yang berupaya menguasai Pulau Jawa dan menerapkan sistem monopoli perdagangan seperti yang telah dilakukannya di Malaka.
Fatahillah sebagai Sang Panglima perang yang telah berpengalaman dan melanglang buana sampai ke Timur Tengah tentunya mengerti apa yang terjadi di Goa (India) dan Malaka (Nusantara). Saat tiba di Pulau Jawa tahun 1525, Fatahillah menyadari adanya ancaman kehadiran Portugis yang telah difasilitasi oleh Kerajaan Pajajaran melalui perjanjian Padrao (1522). Hal inilah yang berusaha dicegah oleh Fatahillah untuk menghindari kekuasaan monopoli dan penjajahan yang berpotensi terjadi di Pulau Jawa karena keberadaan Portugis tersebut. Dalam rangka mencapai tujuan besar itu, maka Kesultanan Demak dalam hal ini terwakili oleh sosok Fatahillah yang menerapkan strategi yang dapat dikaji dalam lingkup strategi kontinental dan strategi maritim sesuai elemen-elemen strategi sebagai berikut:
Sunda Kelapa berada di wilayah Kerajaan Pajajaran dan kerajaan ini bermaksud mengundang kehadiran Portugis demi mengamankan eksistensinya atas apriori terhadap perkembangan Islam di Pulau Jawa. Sedangkan dalam sudut pandang Fatahillah, kehadiran Portugis di Sunda Kelapa adalah ancaman regional terhadap seluruh kerajaan di Nusantara khususnya Pulau Jawa.
Cara pandang terhadap kehadiran Portugis yang berbeda antara pihak Pajajaran dan Fatahillah inilah yang menyebabkan Fatahillah harus menggunakan kekuatan armada perangnya untuk merebut Sunda Kelapa. Liddell Hart dalam bukunya Strategy: the Indirect Approach (1954) menyatakan bahwa, ‘Politik mengendalikan strategi dan strategi merupakan suatu seni untuk mendistribusikan dan menggerakkan sarana-sarana militer guna mencapai tujuan yang ditetapkan oleh kebijaksanaan politik’. Sehingga keputusan politik Fatahillah yang hanya bertujuan untuk menggagalkan kehadiran Portugis di Sunda Kelapa menjadikan strateginya tidak bermaksud untuk berperang total dengan pihak Pajajaran.
Maka dapat dikatakan bahwa secara aspek strategi kontinental, Fatahillah bertujuan menutup semua pintu masuk Portugis ke Pulau Jawa, dan dalam aspek strategi maritimnya dengan menguasai dan mengendalikan semua pelabuhan-pelabuhan di Pantai Utara Pulau Jawa bagian Barat dalam hal ini wilayah Sunda Kelapa.
Fatahillah dalam upayanya menggagalkan rencana Pajajaran-Portugis bersekutu membangun benteng di Sunda Kelapa yang pada akhirnya memberi peluang Portugis untuk menerapkan sistem monopoli dagang. Fatahillah tidak pernah mencoba membuka front peperangan dengan pihak Pajajaran dari darat. Karena adanya pertimbangan bahwa kekuatan matra darat Pajajaran sangat tangguh, waktu yang digunakan terlampau lama, dan kemungkinan jatuhnya korban baik militer maupun rakyat sipil jauh lebih besar, serta pihak yang diserang (Pajajaran) akan lebih memiliki keuntungan karena mengenal medan, posisi, dan manuver penggunaan lapangan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Jomini tentang ruang dan waktu. Oleh sebab itu Fatahillah memutuskan menggelar operasi dalam mengejawantahkan strateginya melalui jalur laut.
Sebelum menuju Sunda Kelapa, Fatahillah yang berangkat dengan armada perang Demak menuju ke Kesultanan Cirebon terlebih dahulu untuk menggabungkan kekuatan (aspek maritim). Setelah itu armada Fatahillah menuju sasaran antara, yaitu Banten yang terlebih dahulu telah bergolak melawan Pajajaran dengan Hasanuddin putra Susuhunan Jati sebagai aktor utama melalui pendekatan spiritual religius kepada rakyat Banten (aspek kontinental).
Jatuhnya Banten ke pihak Fatahillah dan bergabungnya sebagian besar para pemberontak dari Banten semakin menambah besar daya pukul kekuatan (fire power) armada Fatahillah. Sebagaimana dinyatakan Sun Tzu, ‘Kekuatan fisik adalah tangkai kayu, tetapi moral adalah mata yang ‘berkilat dari pedang’.
Maka Fatahillah sebagai pendatang di Demak, dalam kurun waktu singkat mampu merebut cinta dan ketulusan prajuritnya. Jika itu bukan moral (akhlak) yang baik, kepemimpinan yang hebat, maka dengan cara apakah ia melakukannya? Sultan Trenggono dari Demak dan Susuhunan Jati dari Cirebon juga menggunakan aspek leadership ini sebagai kekuatan, yaitu dengan memberikan hadiah berupa jabatan kepada tokoh-tokoh sentral yang berperan besar dalam pertempuran, seperti Hasanuddin yang menjadi Gubernur Banten, dan Fatahillah sendiri yang nantinya setelah gemilang memenangkan pertempuran menjadi Adipati dan kemudian Gubernur di Sunda Kelapa. Inilah manifestasi dari aspek kepemimpinan.
Dalam upaya implementasi dari cara bertindak dari strategi yang ditetapkan, Fatahillah menggunakan sarana prasarana antara lain, menggunakan sarana kapal sebagai alat angkut pasukan yang tidak melewati wilayah darat Kerajaan Pajajaran, sehingga menghemat tenaga, menjamin kerahasiaan dan menghindari pertempuran darat berlarut yang banyak menguras waktu dan potensi korban. Adapun selain kapal perang, Fathillah juga menyertakan kapal-kapal niaga agar tidak memancing kecurigaan musuh.
Belajar dari kegagalan di Malaka, prajurit-prajurit Demak sudah terlatih dan berpengalaman, begitu juga dengan kemampuan tempur dan mentalnya. Selain itu, menjadikan Banten sebagai sasaran antara, sekaligus pangkalan laju untuk memperbanyak jumlah pasukan dan logistik (gabungan aspek maritim dan kontinental). Setelah Banten memiliki kekuatan yang massif, maka Sunda Kelapa yang berada di tengah-tengah antara Banten dan Cirebon memiliki proyeksi yang optimis untuk ditaklukan.
Dari uraian elemen-elemen strategi pasukan Fatahillah di atas dapat ditarik kesimpulan secara garis besar, bahwa Fatahillah lebih memilih strategi maritim daripada strategi kontinental karena kesadaran akan potensi kekuatan diri (prajurit dan rakyat yang anti ketidakadilan dan penindasan), kesadaran akan bentuk ancaman nyata dari lawan (Portugis dengan sistem monopoli dan niat penjajahannya), dan kesadaran akan kondisi lingkungan (posisi geografis dan kekayaan alam sebagai nilai tawar yang baik dalam dunia perdagangan internasional). Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Sun Tzu, ‘Kenali dirimu, kenali musuhmu, kenali medan, maka akan kau temui kemenangan dalam seribu pertempuran’.

Sumber : http://jurnalmaritim.com/2015/05/strategi-maritim-fatahillah-dalam-merebut-dan-mempertahankan-sunda-kelapa/

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda