Problem Natuna, Antara Kedaulatan dan Keterbelakangan - Radar Militer

05 April 2016

Problem Natuna, Antara Kedaulatan dan Keterbelakangan

Pulau Natuna
Pulau Natuna

Kepulauan Natuna adalah gerbang utama Republik Indonesia di perairan Laut China Selatan yang dipersengketakan sejumlah negara ASEAN-China.
Meskipun berada di garis terdepan negara, Natuna seakan dilupakan dari jamahan pembangunan. Natuna hingga kini masih terbelakang.
Wilayah Natuna sangat strategis. Tak hanya saat ini, pentingnya posisi Natuna sudah disadari sejak masa Perang Dunia II.
Peter Thompson dan Robert Macklin dalam buku Kill the Tiger mengungkapkan dua operasi pada masa Perang Dunia II yang dilancarkan dari Kepulauan Riau.
Operasi pertama, Jaywick, dilakukan pada 27 September 1943 dari Kepulauan Riau ke Pelabuhan Singapura, yang ketika itu bernama Syonanto.
Operasi itu berhasil menghancurkan kapal- kapal Jepang yang berada di Keppel Harbour Singapura.
Operasi kedua, operasi Rimau, dilaksanakan pada Oktober 1944, tetapi berakhir dengan kegagalan.
Selain Jaywick dan Rimau, Panglima Sekutu untuk Mandala Asia Tenggara Laksamana Lord Louis Monbatten-paman dari Pangeran Charles, Putra Mahkota Kerajaan Inggris-merancang Operasi Hornbill atau Operasi Burung Rangkong.
Operasi itu bertujuan menguasai Kepulauan Natuna untuk basis serangan terhadap Indochina Perancis di sekitar Saigon dan juga menyerang Singapura.
Operasi Hornbill di Kepulauan Natuna belum sempat dilaksanakan sekutu karena Jepang telanjur menyerah pada Agustus 1945.
Kepulauan Natuna tak hanya memiliki posisi strategis, tetapi juga memiliki keindahan alam dan budaya yang menjadi kekayaan tambahan daerah penghasil minyak dan gas itu.
John Pang, doktor asal Universitas Stanford yang mengajar di Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Singapura, mengaku heran mengapa daerah seindah Natuna-Anambas tidak dibangun.
"Saya heran kenapa daerah seindah ini belum dibangun. Untuk pariwisata sangat menarik. Malaysia membangun wilayah pulaunya untuk pariwisata, seperti Langkawi dan Labuan Tioman," kata John Pang.
Saat penulis berkunjung ke Natuna akhir 2015, terlihat rumah-rumah panggung warga. Warga membuat kolam budidaya ikan di laut sebagai sumber utama penghasilan mereka.
Ikan- ikan tersebut dijual kepada orang asing atau kapal nelayan asing yang selama ini datang ke Natuna.
Yang membuat hati miris, sejak Indonesia merdeka tahun 1945 hingga saat ini, tak ada pasokan listrik memadai di wilayah tersebut.
Padahal, di Natuna, terdapat industri gas skala besar yang sebenarnya dapat menghidupi pembangkit listrik bagi wilayah yang berpenduduk 80.000 jiwa itu.
Saat ini ikan budidaya dan tangkapan masyarakat Natuna tidak bisa dijual ke kapal-kapal asing karena aturan pemerintah pusat. Pada saat yang sama, tidak ada gudang pendingin (cold storage) dan fasilitas pengolahan ikan karena ketiadaan listrik.
Praktis tidak ada sumber pendapatan bagi masyarakat Natuna yang hidupnya tergantung dari hasil laut. Ekonomi Natuna pun mati suri....

Terbelakang

Potensi alam dan lokasi strategis tidak menjamin kemakmuran warga Natuna yang masih terbelakang hingga kini.
Mantan Camat Natuna yang baru terpilih sebagai bupati dalam Pilkada Desember 2015, Hamid Rizal, menceritakan, sejak tahun 1970-an dan 1980-an dirinya bertugas, Natuna seperti dilupakan.
"Tentara dari Paskhas dan Marinir saja yang aktif bertugas di sini. Ketika itu, saya bagi-bagi tugas kepada tentara yang dinas di sini agar ada tambahan penghasilan dan kebutuhan pokok. Ini daerah strategis kepulauan, pemerintah pusat semestinya memperhatikan khusus," kata Hamid Rizal yang asli putra Melayu Kepulauan.
Dia berharap ada sumber gas yang bisa dimanfaatkan untuk listrik warga dan membangun industri perikanan di Natuna.
"Saya prioritaskan pada listrik, air bersih, dan jalan. Dalam tiga tahun terakhir saya cek ada dana Bansos keluar Rp 1,1 triliun tapi tak jadi apa-apa. Jalan yang dibeton pun dana dari Provinsi Kepulauan Riau, bukan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Natuna," kata Hamid Rizal yang mengikuti pendidikan di Secapa TNI AD dan anggota kehormatan Korps Paskhas TNI AU.
Komunikasi internet pun sulit di Natuna. Padahal, di sana terdapat jalur serat optik komunikasi Semenanjung Malaya dan Sabah-Sarawak yang memiliki kapasitas tinggi.
Untuk pasokan logistik di Natuna, menurut Hamid Rizal, didatangkan dari Pontianak, Kalimantan Barat. Untuk akses ke Natuna, ada transportasi udara terjadwal ke Batam dan pesawat militer atau angkutan milik perusahaan migas melayani penerbangan ke Jakarta.

Dipagari kemakmuran

Dalam seminar perbatasan yang diadakan Fraksi PDI-P tahun 2012, politisi PDI-P yang saat ini menjadi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengingatkan, perbatasan itu pertama-tama dipagar dengan kemakmuran, bukan bedil.
"Sejahtera dulu baru dibangun kekuatan militer seiring pertumbuhan ekonomi," kata Ganjar.
Beberapa waktu lalu, tepatnya 19 Maret, terjadi insiden kapal Coast Guard RRT dengan kapal patroli KKP Republik Indonesia di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di utara Kepulauan Natuna. Ini sebenarnya bukan kejadian pertama.
Seperti diceritakan mantan Kepala Badan Intelijen Strategis, (Kabais) TNI Laksamana Muda (Purn) Soleman Ponto, sejumlah insiden pernah terjadi, tetapi luput dari pemberitaan.
Ia pun mengingatkan, kekayaan laut Natuna harus bisa dikelola secara bijak.
"ZEE itu memberikan hak untuk memanfaatkan kekayaan alam. Bukan hak kedaulatan. Apa yang terjadi di laut lepas itu adalah hukum rimba. Yang paling siap beroperasi di lautan adalah militer atau polisi," ujar Ponto.
Ia menyarankan perlunya kapal perang untuk hadir di wilayah tersebut sebagai representasi negara.
Saat ini, Kementerian Pertahanan sedang membangun fasilitas militer, termasuk perluasan dermaga dan landasan pesawat di Natuna.
Upaya ini akan berhasil kalau infrastruktur dan ekonomi di Kepulauan Natuna tumbuh sehingga rakyat Natuna akan semakin cinta Indonesia.
Dengan demikian, konsep pertahanan semesta bahwa rakyat menjadi tulang punggung pertahanan terwujud. Bagaimanapun, kedaulatan wilayah harus dijaga.

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2016/04/04/09343231/Natuna.antara.Kedaulatan.dan.Keterbelakangan

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

- Berkomentarlah yang sopan dan bijak sesuai isi artikel/ berita;
- Dilarang berkomentar SPAM, SARA, Politik, Provokasi dsb