![]() |
Kapolri Jenderal Tito Karnavian |
Kapolri Jenderal Tito Karnavian berbicara panjang lebar tentang rancangan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Khususnya Pasal 43B ayat (1) yang menyatakan, "kebijakan dan strategi nasional penanggulangan tindak pidana terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah..."
Apalagi setelah Tim Alfa 29 Batalyon Infantri 515 Komando Strategi TNI Angkatan Darat (Kostrad) --yang diperbantukan di bawah Polri-- berhasil menembak mati pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) sekaligus gembong teroris paling dicari, Santoso, dalam baku tembak di hutan salah satu Pegunungan Biru, Tambarana, Poso Pesisir Utara, Sulawesi Tengah, Senin (18/7).
"Disikapi dulu, dipahami dulu, penindakan itu kan upaya yang mengandung resiko. Resikonya, kalau terjadi perlawanan dari tersangka maka mungkin akan ada korban. Bisa luka, bisa meninggal dunia, dalam konteks penegakan hukum, semua tindakan yang mengakibatkan seseorang meninggal atau terluka harus dipertanggungjawabkan," kata Tito di Mabes Polri Jumat (22/7).
Harus dipertanggungjawabkan, kata Tito, sampai kapan pun. Jika dilakukan aparat negara maka harus berhati- hati dengan undang-undang tentang HAM. Karena UU HAM tidak memiliki kedaluwarsa, bisa sampai kapan pun, dan kemudian bisa berlaku retroaktif (surut).
"Sehingga petugas negara, aparat negara yang melakukan tindakan yang mengakibatkan seseorang meninggal dunia atau terluka, itu sebaiknya dilakukan dengan langkah yang secara tata hukum yang berlaku di tingkat nasional itu dapat dibenarkan sesuai aturan," sambungnya.
Dalam rangka pembelaan diri sekalipun, aparat, masih kata Tito, sementara tersangka teroris tidak melakukan perlawanan maka padanya tidak boleh dilakukan tindakan eksesif atau tindakan berlebihan.
"Harus berlandaskan asas proporsional. Nah ini anggota kita perlu dan penegak hukum dilatih untuk itu untuk melakukan tindakan proporsional. Kalau doktrin teman-teman TNI umumnya, yang saya pahami kill or to be killed," lanjutnya.
Belum lagi soal melakukan olah TKP yang memerlukan teknis yang sangat detil, bagaimana melibatkan tim dari forensik, mempelajari di mana posisi senjata, posisi peluru, peluru yang mematikan itu selongsongnya ada di mana, teknis penyitaannya seperti apa.
Juga kemudian penetapan ke pengadilan, penggeledahan harus izin peradilan, untuk penyitaan juga harus ada izin peradilan. Semua ini ada tata cara hukumnya, agar perlindungan HAM diperhatikan dan dijamin.
"Jadi kita harus berhati-hati dengan pemahaman kata-kata penindakan seperti apa. Jangan sampai penindakan disederhanakan ke penangkapan dan setelahbl itu diserahkan kepada penegakan hukum. Kalau salah cara menindak, cara menyita di lapangan, itu dapat berakibat menghilangkan chain of evidence (rantai barang bukti)," bebernya.
Maka jika TNI berhak melakukan penindakan langsung pada pelaku teror-- tidak diperbantukan di bawah Polri-- dan jika terjadi kesalahan dalam permasalahan hukumnya, jadi mentah. TNI pun menurut Tito mesti punya Labfor, harus ada kemampuan identifikasi, DVI, medical, dan examination Legal.
"Nah berati kan harus dibangun lagi kemampuan seperti ini. Padahal di polisi sudah ada? Belum lagi pertanggungjawaban hukumnya jika nanti penyelidikannya salah. Jadi suatu kewenangan yang kita dapatkan, harus dipertanggungjawabkan risiko ke depannya. Salah, nanti bisa terjadi abuse of power, risiko tinggi," tegasnya.
Ini tentu berbeda jika TNI terlibat dalam konteks penegakan hukum seperti kasus di Poso (joint TNI dan Polri). Menurut Tito itu tak masalah karena semua langkah dan tata caranya sudah dilindungi oleh operasi penegakan hukum kepolisian.
Sumber : http://www.beritasatu.com/nasional/375899-kapolri-tni-rentan-abuse-of-power-jika-diberi-peran-antiteror.html
Khususnya Pasal 43B ayat (1) yang menyatakan, "kebijakan dan strategi nasional penanggulangan tindak pidana terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah..."
Apalagi setelah Tim Alfa 29 Batalyon Infantri 515 Komando Strategi TNI Angkatan Darat (Kostrad) --yang diperbantukan di bawah Polri-- berhasil menembak mati pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) sekaligus gembong teroris paling dicari, Santoso, dalam baku tembak di hutan salah satu Pegunungan Biru, Tambarana, Poso Pesisir Utara, Sulawesi Tengah, Senin (18/7).
"Disikapi dulu, dipahami dulu, penindakan itu kan upaya yang mengandung resiko. Resikonya, kalau terjadi perlawanan dari tersangka maka mungkin akan ada korban. Bisa luka, bisa meninggal dunia, dalam konteks penegakan hukum, semua tindakan yang mengakibatkan seseorang meninggal atau terluka harus dipertanggungjawabkan," kata Tito di Mabes Polri Jumat (22/7).
Harus dipertanggungjawabkan, kata Tito, sampai kapan pun. Jika dilakukan aparat negara maka harus berhati- hati dengan undang-undang tentang HAM. Karena UU HAM tidak memiliki kedaluwarsa, bisa sampai kapan pun, dan kemudian bisa berlaku retroaktif (surut).
"Sehingga petugas negara, aparat negara yang melakukan tindakan yang mengakibatkan seseorang meninggal dunia atau terluka, itu sebaiknya dilakukan dengan langkah yang secara tata hukum yang berlaku di tingkat nasional itu dapat dibenarkan sesuai aturan," sambungnya.
Dalam rangka pembelaan diri sekalipun, aparat, masih kata Tito, sementara tersangka teroris tidak melakukan perlawanan maka padanya tidak boleh dilakukan tindakan eksesif atau tindakan berlebihan.
"Harus berlandaskan asas proporsional. Nah ini anggota kita perlu dan penegak hukum dilatih untuk itu untuk melakukan tindakan proporsional. Kalau doktrin teman-teman TNI umumnya, yang saya pahami kill or to be killed," lanjutnya.
Belum lagi soal melakukan olah TKP yang memerlukan teknis yang sangat detil, bagaimana melibatkan tim dari forensik, mempelajari di mana posisi senjata, posisi peluru, peluru yang mematikan itu selongsongnya ada di mana, teknis penyitaannya seperti apa.
Juga kemudian penetapan ke pengadilan, penggeledahan harus izin peradilan, untuk penyitaan juga harus ada izin peradilan. Semua ini ada tata cara hukumnya, agar perlindungan HAM diperhatikan dan dijamin.
"Jadi kita harus berhati-hati dengan pemahaman kata-kata penindakan seperti apa. Jangan sampai penindakan disederhanakan ke penangkapan dan setelahbl itu diserahkan kepada penegakan hukum. Kalau salah cara menindak, cara menyita di lapangan, itu dapat berakibat menghilangkan chain of evidence (rantai barang bukti)," bebernya.
Maka jika TNI berhak melakukan penindakan langsung pada pelaku teror-- tidak diperbantukan di bawah Polri-- dan jika terjadi kesalahan dalam permasalahan hukumnya, jadi mentah. TNI pun menurut Tito mesti punya Labfor, harus ada kemampuan identifikasi, DVI, medical, dan examination Legal.
"Nah berati kan harus dibangun lagi kemampuan seperti ini. Padahal di polisi sudah ada? Belum lagi pertanggungjawaban hukumnya jika nanti penyelidikannya salah. Jadi suatu kewenangan yang kita dapatkan, harus dipertanggungjawabkan risiko ke depannya. Salah, nanti bisa terjadi abuse of power, risiko tinggi," tegasnya.
Ini tentu berbeda jika TNI terlibat dalam konteks penegakan hukum seperti kasus di Poso (joint TNI dan Polri). Menurut Tito itu tak masalah karena semua langkah dan tata caranya sudah dilindungi oleh operasi penegakan hukum kepolisian.
Sumber : http://www.beritasatu.com/nasional/375899-kapolri-tni-rentan-abuse-of-power-jika-diberi-peran-antiteror.html