Korupsi Pengadaan Alutsista |
Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf mengapresiasi langkah Pengadilan Tinggi Militer II Jakarta yang menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada Brigjen Teddy Hernayadi.
Teddy dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi pembayaran sejumlah alat utama sistem pertahanan (alutsista) seperti pesawat F-16C/D Block 52ID dan helikopter AH-64E Apache di Kementerian Pertahanan sejak 2010 hingga 2014.
Teddy diketahui telah merugikan negara sebesar 12 juta dollar Amerika Serikat.
Araf mengatakan, vonis tersebut merupakan langkah awal pemerintah memastikan transparansi dan akuntabilitas di sektor pengadaan alutsista.
Ia menilai, tertutupnya proses pengadaan alutsista selama ini menjadikannya sarat dengan berbagai penyimpangan dan praktik korupsi.
Padahal, kondisi alutsista di Indonesia sangat terbatas dan memprihatinkan.
"Apalagi praktik korupsi itu terjadi di tengah kondisi anggaran pertahanan yang minim dan terbatas serta di tengah realitas banyaknya kecelakaan yang dialami alutsista Indonesia," ujar Araf dalam konferensi pers di Kantor Imparsial, Jakarta, Senin (5/12/2016).
Araf mengatakan, upaya mendorong transparansi dan akuntabel tersebut dapat dilakukan dengan memberi peran lebih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam proses pengadaan alutsista.
Menurut dia, KPK selama ini tak pernah bisa mengusut korupsi di ranah militer dengan dalih dibatasi oleh UU TNI.
"Akan jauh lebih baik jika peran KPK diberikan ruang dalam proses pengadaan alutsista. Sehingga dapat melakukan pengawasan dan menginvestigasi penggunaan anggaran pertahanan, khususnya dalam pengadaan alutsista," ujar Araf.
Ketua KPK Duga Brigjen Teddy Tak Sendirian
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyebut, kemungkinan ada keterlibatan pihak lain dalam kasus yang menjerat Brigadir Jenderal TNI Teddy Hernayadi.
Teddy telah dijatuhi vonis seumur hidup oleh Mahkamah Militer Tinggi II, Penggilingan, Jakarta Timur, Rabu (30/11/2016).
Jenderal TNI bintang satu itu dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi di Kementerian Pertahanan sejak 2010 hingga 2014, yang merugikan negara sebesar 12 juta dollar Amerika Serikat.
Menurut Agus, dugaan keterlibatan pihak lain bisa dilihat dari besarnya dana yang dikorupsi dalam kasus pembayaran sejumlah alat utama sistem pertahanan (alutsista) seperti pesawat F-16 dan helicopter Apache.
Kendati demikian, Agus enggan mengungkapkan siapa aktor lain yang disebutnya terlibat.
"Aku belum mendapatkan detailnya yah, tapi kalau 12 juta dollar mestinya jumlah yang sangat besar ya," ujar Agus saat Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi 2016 di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (1/12/2016).
Agus mengatakan, KPK telah mengingatkan TNI mengenai adanya keterlibatan pihak lain dalam kasus tersebut. Untuk itu, dia berharap hal tersebut dapat segera ditindaklanjuti oleh TNI.
"Kita mengingatkan juga masih ada yang terlibat loh. Mohon di-follow up," kata Agus.
Sebelumnya, Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan Marsekal Madya Hadi Tjahjanto mengatakan, putusan penjara seumur hidup Mahkamah Militer Tinggi II terhadap Teddy, merupakan pintu masuk untuk menyelidiki keterlibatan oknum TNI lainnya.
"Jadi ke internalnya, ini adalah pintu masuk dan ini sudah terbuka," ujar Hadi saat ditemui di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (1/12/2016).
Meski demikian, Hadi belum bisa menyebut siapa saja oknum TNI yang diduga terlibat dalam perkara itu. Pihaknya memantau penuh jalannya sidang Teddy.
Berdasarkan itu, ada 53 orang saksi yang berpotensi ke pembukaan proses penyelidikan baru demi mengungkap perkara korupsi tersebut secara tuntas.
"Dari fakta-fakta persidangan, dari 53 saksi, itu akan kami kembangkan kenapa dia bisa menerima bantuan atau pinjaman dari Teddy tanpa diketahui (Kemenhan)," ujar mantan Sekretaris Militer Presiden Joko Widodo itu.
Terungkapnya kasus Teddy berawal dari kecurigaan Badan Pemeriksa Keuangan terkait masalah dana devisa dari hasil laporan keuangan Kemenhan Tahun 2014.
Atas informasi dari BPK, Inspektorat Jenderal Kemenhan lantas menindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT), yang pada akhirnya merekomendasikan untuk ditindaklanjuti sesuai hukum yang berlaku.
Sumber : http://www.kompas.com/