Peluang Reunifikasi Korea Kembali Terbuka - Radar Militer

15 Mei 2017

Peluang Reunifikasi Korea Kembali Terbuka

Reunifikasi Korea
Reunifikasi Korea 

Peluang perbaikan hubungan antara Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) kembali terbuka setelah Moon Jae-in dari Partai Demokrat Korea memenangkan pemilihan presiden Korsel. Moon Jae-in dan partai yang dipimpinnya memiliki pendektan yang berbeda terkait hubungan dengan Korut dibandingkan pendahulunya, Park Geun-hye dari Partai Saenuri yang konservatif.
Demikian dikatakan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea, Teguh Santosa yang juga dosen politik Asia Timur di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, di Jakarta, Senin (15/5), pagi.
Teguh yang mengamati isu Semenanjung Korea dari dekat mengatakan, pendekatan Moon Jae-in dan Partai Demokrat yang sebelumnya bernama Aliansi Politik Baru untuk Demokrasi dalam isu Korut kurang lebih sama dengan pendekatan yang dimiliki dua presiden Korea sebelumnya, Kim Dae-jung (1998-2003) dan Roh Moo-hyun (2003-2008).
Ketika berkuasa, ujarnya, Kim Dae-jung tak sungkan mengunjungi Pyongyang dan bertemu dengan pemimpin tertinggi Korut ketika itu, Kim Jong Il, yang merupakan ayah dari pemimpin tertinggi Korut kini, Kim Jong Un. Di dalam pertemuan itu, keduanya menandatangani kesepakatan yang kelak dikenal sebagai "Deklarasi Bersama Utara-Selatan" yang ditandatangani pada 15 Juni 2000.
“Deklarasi itu secara khusus membahas peluang penyatuan kembali kedua negara. Korut menawarkan federasi pada level yang rendah, sementara Korsel menawarkan bentuk persemakmuran. Kedua alternatif ini yang disepakati sebagai arah dari pembicaraan reunifikasi di masa depan,” ujar Teguh.
Deklarasi Bersama Utara-Selatan 15 Juni, masih kata Teguh, dijiwai oleh pernyataan sikap bersama yang ditandatangani pada 4 Juli 1972. “Di era itu, pemimpin Korsel dan Korut sepakat bahwa pembicaraan unifikasi atau reunifikasi harus dilakukan melalui upaya independen bangsa Korea, tanpa keterlibatan kekuatan asing,” tuturnya.
Ketika itu, Korut dipimpin oleh Kim Il Sung, sementara Korea Selatan dipimpin oleh Park Chng-hee, yang merupakan ayah dari mantan Presiden Korsel Park Geun-hye. Setelah Deklarasi Bersama Utara-Selatan 15 Juni, kedua Korea sepakat untuk mengerjakan proyek kawasan industri Kaesong di Korut. Di kawasan itu, perusahaan-perusahaan Korsel beroperasi, sementara pekerjanya berasal dari Korut.
Namun, hubungan baik itu terhenti setelah Korut menarik diri dari Pembicaraan Enam Pihak atau Six Party Talk pada 2009. Ketika itu, Korsel dipimpin oleh Lee Myung-bak, yang berasal dari Partai Saenuri. Korut merasa pembicaraan damai tak perlu dilanjutkan, karena di saat bersamaan Korsel dan Amerika Serikat tetap memberikan tekanan melalui berbagai cara, termasuk latihan perang di kawasan perbatasan.
“Saya berharap, pemimpin di kedua negara bersedia mengesampingkan hal-hal yang selama ini menghalangi pembicaraan damai di Semenanjung Korea. Korut ingin pembicaraan reunifikasi hanya dilakukan oleh bangsa Korea tanpa melibatkan kekuatan eksternal, termasuk Amerika Serikat. Sementara, Korsel meminta Korut tidak meningkatkan kapasitas nuklir,” kata Teguh.
Menurut Teguh, sejatinya ketegangan di kawasan Asia Timur saat ini lebih dipicu oleh kebangkitan ekonomi dan militer Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Bagi AS, Tiongkok merupakan ancaman yang jelas di depan mata dan berpeluang besar mencuri dominasi di Asia Timur dan Pasifik.
Dari perspektif ini, AS tampaknya juga mempertimbangkan langkah yang lebih bersahabat dengan Korut dalam rangka melimitasi dominasi Tiongkok di Asia Timur. “Tetapi untuk hal ini, AS tentu perlu mempertimbangkan keinginan Korut. Bila memang ingin memperkuat basis di Asia Timur dalam rangka menghadapi Tiongkok, AS perlu mengembangkan pendekatan yang berbeda,” ujarnya.
Dia juga mengatakan, Presiden AS Donald J Trump yang sulit ditebak, kelihatannya juga memikirkan hal itu. Pernyataan-pernyataan Trump belakangan ini, walau masih samar-samar dan perlu dibaca dengan lebih teliti, agaknya bisa dianggap sebagai tanda ke arah yang lebih bersahabat.
“Memang, agak bersayap. Namun, saya kira, pernyataan bahwa Trump merasa terhormat bila bertemu Kim Jong Un dan juga pujiannya pada Kim Jong Un sebagai pemimpin muda yang berhasil, patut kita pertimbangkan lagi sebagai penanda lanskap baru politik Asia Timur,” kata Teguh.
Sumber : http://www.beritasatu.com/asia/430747-peluang-reunifikasi-korea-kembali-terbuka.html



Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

- Berkomentarlah yang sopan dan bijak sesuai isi artikel/ berita;
- Dilarang berkomentar SPAM, SARA, Politik, Provokasi dsb