Pentagon |
Kekerasan bersenjata terjadi di beberapa lokasi di Afghanistan. Untuk mengendalikan situasi di negara yang belum lama lepas dari cengkeraman Taliban itu, tim penasihat keamanan nasional Presiden Amerika Serikat Donald Trump menawarkan opsi untuk mengirim sekitar 5.000 pasukan tambahan.
Namun, keputusan presiden soal strategi AS di Afghanistan akan ditunda hingga minggu depan. Hal itu disampaikan oleh penasihat senior kepresidenan kepada CNN.
Tim penasihat keamanan nasional Donald Trump diharapkan akan memberikan rekomendasi kepada sang presiden tentang rencana kebijakan luar negeri AS di Afghanistan pada Mei 2017 lalu. Rencana itu melibatkan sejumlah opsi, seperti salah satunya penambahan ribuan pasukan tambahan.
Awalnya, salah satu penasihat senior mengatakan bahwa pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Presiden Trump akan ditunda hingga kepulangannya dari kunjungan luar negeri.
Akan tetapi, setelah dua minggu pasca-kembali dari lawatan luar negeri, presiden ke-45 AS itu nampaknya akan kembali menunda pengambilan keputusannya.
Kepada CNN (13/6/2017), sumber mengatakan bahwa presiden tidak akan meninjau maupun melakukan pengambilan keputusan seputar kebijakan AS di Afghanistan, setidaknya hingga dua minggu ke depan.
"(Peninjauan kebijakan tentang Afghanistan) Ini belum selesai. Masalahnya ada pada kompleksitas perbedaan pandangan dari berbagai macam perwakilan lembaga pemerintah. Hal itu yang memperlambat proses pengambilan keputusan," jelas penasihat senior tersebut seperti dikutip dari CNN.
Perumusan kebijakan tentang Afghanistan turut melibatkan Dewan Keamanan Nasional dan Duta Besar AS di Afghanistan, India, serta Pakistan.
Mereka juga akan melakukan negosiasi kepada sejumlah militer negara NATO untuk turut menambah jumlah pasukan di Afghanistan.
Penasihat senior itu juga menyampaikan bahwa Presiden Trump juga akan diberikan hasil analisis tim penasihat keamanan nasional tentang situasi terkini di kawasan Asia Selatan, khususnya bagaimana kebijakan AS pada Afghanistan turut mengambil posisi strategis terhadap negara tetangganya seperti India dan Pakistan.
Meski sang presiden belum membaca hasil analisis itu secara lengkap, tim penasihat keamanan nasional telah memberikan informasi terbaru kepada Trump secara periodik.
Masalah Kompleks
Saat ini, Amerika Serikat tengah menghadapi masalah kompleks terkait kebijakan luar negerinya di Afghanistan. Kompleksitas permasalahan tersebut tak hanya terbatas pada isu militer dan Taliban, namun juga isu terorisme yang dipicu ISIS di Khorasan serta tumbuhnya pengaruh Iran di Afghanistan.
Hingga 2017, ada sekitar 8.400 pasukan AS yang berada di Afghanistan. Mereka berada di bawah naungan NATO -- yang mendominasi sejumlah besar operasi militer di sana.
Selain itu, ada sekitar 2.000 pasukan AS tambahan yang dikhususkan untuk melaksanakan operasi kontra-terorisme terhadap jaringan ISIS dan Al Qaeda di Afghanistan.
Recana AS untuk kembali menambah personel militer di Afghanistan didukung oleh Penasihat Utama Keamanan Nasional Kepresidenan Letnan Jenderal H.R. McMaster dan Menteri Pertahanan James Mattis.
"Kami tengah memperhatikan secara seksama segala situasi di kawasan itu, baik situasi antara India dan Pakistan, Pakistan dan Afghanistan, pengaruh Iran di kawasan, dan seluruh regional Asia Selatan. Sejumlah masalah muncul dari beberapa wilayah itu dan mungkin saja dapat mengancam keamanan AS," kata Menhan AS James Mattis.
"Kami juga mengharapkan dukungan dari komunitas internasional yang turut menangani sejumlah isu di kawasan tersebut," tambah Mattis.
Rencana Presiden Trump yang ingin menambah keterlibatan militer AS di Afghanistan akan berlawanan dengan kebijakan Presiden Obama -- yang sebelumnya telah menarik mundur sejumlah personel dari kawasan itu.
Tak hanya itu, jika keputusan penambahan militer tetap dilakukan oleh Presiden Trump, hal tersebut justru akan berlawanan dengan retorika kampanyenya pada Pilpres AS 2016 lalu.
Pada kampanye Pilpres, Trump sempat menyebut ingin menarik mundur pasukan AS di luar negeri dan mempersiapkannya untuk proses 'pembangunan bangsa' dan keamanan domestik.
Sebelumnya, tiga prajurit Amerika Serikat tewas saat tengah menggelar operasi gabungan AS-Afghanistan di Provinsi Nangarhar. Informasi ini diungkapkan oleh salah satu pejabat Gedung Putih pada 12 Juni 2017.
Pejabat itu mengatakan, para prajurit ditembak melalui sebuah serangan jebakan orang dalam atau dikenal dengan kode 'green-on-blue'. Istilah yang diberikan oleh NATO itu, berarti anggota keamanan lokal Afghanistan menyerang tentara AS atau NATO.
Dikutip dari CNN, insiden penembakan itu terjadi pada Sabtu 10 Juni 2017. Menurut juru bicara Provinsi Nangarhar, Attaullah Khogyani, penembakan dilakukan oleh tentara komando angkatan darat Afghanistan. Ia mengatakan pelaku telah ditembak mati oleh keamanan Afghanistan.
Penembakan tersebut terjadi di Distrik Achin, di mana tentara AS dan Afghanistan melakukan serangan selama sebulan penuh terhadap afiliasi lokal ISIS, kata beberapa pejabat.
Juru bicara Taliban, Zabiullah Mujahid, mengklaim bahwa militannya yang bertanggung jawab atas serangan itu.
"Seorang penyusup mujahid dari Islamic Emirate yang merupakan bagian dari Taliban mendaftarkan diri jadi tentara pemerintah Kabul, menyerang tentara Amerika di daerah Lata Band di distrik Achin di provinsi Nangarhar hari ini pada sore hari," kata sebuah pernyataan tertulis dalam bahasa Pashto yang diterima CNN.
"Penjajah Amerika ada di sana untuk mendukung budak Afghanistan mereka," lanjutnya.
Presiden AS Donald Trump telah diberitahu tentang penembakan tersebut. Namun menurut juru bicara Gedung Putih tidak ada komentar dari Presiden tersebut.
Wakil Presiden AS Mike Pence menanggapi serangan tersebut saat berada di Milwaukee pada hari Sabtu.
"Presiden dan saya sudah diberi pengarahan. Rincian serangan ini akan segera terbit," kata Pence. "Ketika pahlawan jatuh, orang Amerika bersedih. Pikiran dan doa kita bersama keluarga pahlawan Amerika."
Seorang juru bicara militer AS di Afghanistan mengatakan militer "akan merilis lebih banyak informasi jika dibutuhkan."
Sumber : http://global.liputan6.com/read/2988808/as-tunda-rencana-penambahan-5000-personel-militer-ke-afghanistan
Namun, keputusan presiden soal strategi AS di Afghanistan akan ditunda hingga minggu depan. Hal itu disampaikan oleh penasihat senior kepresidenan kepada CNN.
Tim penasihat keamanan nasional Donald Trump diharapkan akan memberikan rekomendasi kepada sang presiden tentang rencana kebijakan luar negeri AS di Afghanistan pada Mei 2017 lalu. Rencana itu melibatkan sejumlah opsi, seperti salah satunya penambahan ribuan pasukan tambahan.
Awalnya, salah satu penasihat senior mengatakan bahwa pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Presiden Trump akan ditunda hingga kepulangannya dari kunjungan luar negeri.
Akan tetapi, setelah dua minggu pasca-kembali dari lawatan luar negeri, presiden ke-45 AS itu nampaknya akan kembali menunda pengambilan keputusannya.
Kepada CNN (13/6/2017), sumber mengatakan bahwa presiden tidak akan meninjau maupun melakukan pengambilan keputusan seputar kebijakan AS di Afghanistan, setidaknya hingga dua minggu ke depan.
"(Peninjauan kebijakan tentang Afghanistan) Ini belum selesai. Masalahnya ada pada kompleksitas perbedaan pandangan dari berbagai macam perwakilan lembaga pemerintah. Hal itu yang memperlambat proses pengambilan keputusan," jelas penasihat senior tersebut seperti dikutip dari CNN.
Perumusan kebijakan tentang Afghanistan turut melibatkan Dewan Keamanan Nasional dan Duta Besar AS di Afghanistan, India, serta Pakistan.
Mereka juga akan melakukan negosiasi kepada sejumlah militer negara NATO untuk turut menambah jumlah pasukan di Afghanistan.
Penasihat senior itu juga menyampaikan bahwa Presiden Trump juga akan diberikan hasil analisis tim penasihat keamanan nasional tentang situasi terkini di kawasan Asia Selatan, khususnya bagaimana kebijakan AS pada Afghanistan turut mengambil posisi strategis terhadap negara tetangganya seperti India dan Pakistan.
Meski sang presiden belum membaca hasil analisis itu secara lengkap, tim penasihat keamanan nasional telah memberikan informasi terbaru kepada Trump secara periodik.
Masalah Kompleks
Saat ini, Amerika Serikat tengah menghadapi masalah kompleks terkait kebijakan luar negerinya di Afghanistan. Kompleksitas permasalahan tersebut tak hanya terbatas pada isu militer dan Taliban, namun juga isu terorisme yang dipicu ISIS di Khorasan serta tumbuhnya pengaruh Iran di Afghanistan.
Hingga 2017, ada sekitar 8.400 pasukan AS yang berada di Afghanistan. Mereka berada di bawah naungan NATO -- yang mendominasi sejumlah besar operasi militer di sana.
Selain itu, ada sekitar 2.000 pasukan AS tambahan yang dikhususkan untuk melaksanakan operasi kontra-terorisme terhadap jaringan ISIS dan Al Qaeda di Afghanistan.
Recana AS untuk kembali menambah personel militer di Afghanistan didukung oleh Penasihat Utama Keamanan Nasional Kepresidenan Letnan Jenderal H.R. McMaster dan Menteri Pertahanan James Mattis.
"Kami tengah memperhatikan secara seksama segala situasi di kawasan itu, baik situasi antara India dan Pakistan, Pakistan dan Afghanistan, pengaruh Iran di kawasan, dan seluruh regional Asia Selatan. Sejumlah masalah muncul dari beberapa wilayah itu dan mungkin saja dapat mengancam keamanan AS," kata Menhan AS James Mattis.
"Kami juga mengharapkan dukungan dari komunitas internasional yang turut menangani sejumlah isu di kawasan tersebut," tambah Mattis.
Rencana Presiden Trump yang ingin menambah keterlibatan militer AS di Afghanistan akan berlawanan dengan kebijakan Presiden Obama -- yang sebelumnya telah menarik mundur sejumlah personel dari kawasan itu.
Tak hanya itu, jika keputusan penambahan militer tetap dilakukan oleh Presiden Trump, hal tersebut justru akan berlawanan dengan retorika kampanyenya pada Pilpres AS 2016 lalu.
Pada kampanye Pilpres, Trump sempat menyebut ingin menarik mundur pasukan AS di luar negeri dan mempersiapkannya untuk proses 'pembangunan bangsa' dan keamanan domestik.
Sebelumnya, tiga prajurit Amerika Serikat tewas saat tengah menggelar operasi gabungan AS-Afghanistan di Provinsi Nangarhar. Informasi ini diungkapkan oleh salah satu pejabat Gedung Putih pada 12 Juni 2017.
Pejabat itu mengatakan, para prajurit ditembak melalui sebuah serangan jebakan orang dalam atau dikenal dengan kode 'green-on-blue'. Istilah yang diberikan oleh NATO itu, berarti anggota keamanan lokal Afghanistan menyerang tentara AS atau NATO.
Dikutip dari CNN, insiden penembakan itu terjadi pada Sabtu 10 Juni 2017. Menurut juru bicara Provinsi Nangarhar, Attaullah Khogyani, penembakan dilakukan oleh tentara komando angkatan darat Afghanistan. Ia mengatakan pelaku telah ditembak mati oleh keamanan Afghanistan.
Penembakan tersebut terjadi di Distrik Achin, di mana tentara AS dan Afghanistan melakukan serangan selama sebulan penuh terhadap afiliasi lokal ISIS, kata beberapa pejabat.
Juru bicara Taliban, Zabiullah Mujahid, mengklaim bahwa militannya yang bertanggung jawab atas serangan itu.
"Seorang penyusup mujahid dari Islamic Emirate yang merupakan bagian dari Taliban mendaftarkan diri jadi tentara pemerintah Kabul, menyerang tentara Amerika di daerah Lata Band di distrik Achin di provinsi Nangarhar hari ini pada sore hari," kata sebuah pernyataan tertulis dalam bahasa Pashto yang diterima CNN.
"Penjajah Amerika ada di sana untuk mendukung budak Afghanistan mereka," lanjutnya.
Presiden AS Donald Trump telah diberitahu tentang penembakan tersebut. Namun menurut juru bicara Gedung Putih tidak ada komentar dari Presiden tersebut.
Wakil Presiden AS Mike Pence menanggapi serangan tersebut saat berada di Milwaukee pada hari Sabtu.
"Presiden dan saya sudah diberi pengarahan. Rincian serangan ini akan segera terbit," kata Pence. "Ketika pahlawan jatuh, orang Amerika bersedih. Pikiran dan doa kita bersama keluarga pahlawan Amerika."
Seorang juru bicara militer AS di Afghanistan mengatakan militer "akan merilis lebih banyak informasi jika dibutuhkan."
Sumber : http://global.liputan6.com/read/2988808/as-tunda-rencana-penambahan-5000-personel-militer-ke-afghanistan