Kalau Indonesia Ingin Industri Pertahanan Mandiri, Belajarlah pada Turki - Radar Militer

18 Juli 2017

Kalau Indonesia Ingin Industri Pertahanan Mandiri, Belajarlah pada Turki

FNSS Turki
FNSS Turki 

Dewasa ini, di luar Amerika Serikat dan Rusia, boleh dikatakan bahwa industri pertahanan yang paling produktif adalah Turki. Lini dan ragam produk alutsista yang Turki produksi mulai dari pistol sampai pesawat terbang bahkan melampaui negara seperti Inggris dan Jerman.
Walaupun belum semua komponen diproduksi sendiri, pencapaian Turki dan industri pertahanannya patut diapresiasi. Apa yang mereka raih sekarang, tidaklah terjadi dalam waktu semalam saja. Semua itu berangkat dari keinginan kuat untuk mandiri, melawan arus kuat embargo.
Awal mulanya adalah operasi militer yang dilancarkan Turki pada 20 Juli 1974 ke Siprus atas nama perlindungan warga Siprus keturunan Turki. Kongres AS menghadiahi Turki dengan embargo militer akibat ulahnya itu pada akhir tahun. Turki yang anggota NATO, banyak mengandalkan alutsista AS untuk militernya.
Sebagai akibat dari embargo, kesiapan militer Turki turun drastis. Tidak sampai setahun, kesiapan Angkatan Udaranya turun menjadi 50% bahkan lebih, karena ketergantungan total kepada Amerika Serikat. Sebagai contoh, dari 16 F-4 Phantom II yang dimiliki, hanya 6 unit yang operasional kala itu.
Turki selama itu memang terlena karena keadaan, terbiasa mendapatkan kemudahan dalam bentuk bantuan FMS (Foreign Military Sales) karena Amerika Serikat banyak meminjam pangkalan militer Turki.
Sebagai akibat atas hilangnya bantuan militer AS, Turki kemudian memutuskan untuk menaikkan anggaran pertahanan walaupun perekonomiannya sendiri sedang tertekan pada waktu itu. Selain perekonomian yang menurun, Turki pun menghadapi kenaikan harga minyak akibat OPEC memutuskan menurunkan produksi.
Turki pun menerbitkan sejumlah aturan mengenai industri pertahanan, dimana perusahaan asing yang ingin menjual peralatan militer harus melakukan transfer teknologi dan juga produksi lokal yang menggandeng mitra dalam negeri. Produksi lokal yang dilakukan pun harus mencakup pembuatan komponen, tidak sekedar hanya merakit kit. Artinya industri lokal akan terbantu karena menerima peralatan produksi, yang dapat digunakan untuk produksi komponen lainnya.
Langkah tersebut diikuti dengan tindakan nyata dengan membentuk sejumlah industri pertahanan seperti ASELSAN yang mengurusi perangkat keras alutsista, HAVELSAN yang menangani sistem elektronik, TAI (Turkish Aerospace Industry) untuk membuat industri pesawat terbang, dan ROKETSAN untuk membuat sistem roket dan rudal.
Satu langkah penting pemerintah Turki lainnya adalah memaksa militer untuk menyisihkan anggaran pertahanan untuk membeli alutsista buatan industri dalam negeri. Walaupun terkesan proteksionis, hal ini memastikan bahwa industri pertahanan nasional Turki yang jika diibaratkan manusia masih berupa bayi, bisa bertahan pada tahap-tahap awalnya.
Setiap kecabangan angkatan bersenjata membuat yayasan yang bisa menghimpun dana dari publik untuk kemudian digunakan mendanai pembuatan alutsista. Keuangan setiap yayasan diaudit oleh akuntan publik sehingga masyarakat penyumbang bisa tahu berapa dana yang diterima, berapa dana yang disalurkan, dan investasi yang dilakukan atas dana yang belum terpakai.
Pembuatan yayasan ini lebih menguntungkan di sisi pemerintah, karena dana bisa diterima terus-menerus. Selain itu, dibandingkan dengan penjualan saham, pemerintah tidak kehilangan kontrol atas perusahaan-perusahaan industri militer tersebut. Bandingkan dengan jika harus menjual saham, dana yang diterima pun hanya sekali saja.
Yang tak kalah penting, adalah dukungan rakyat Turki. Embargo Amerika Serikat telah mendorong naiknya patriotisme rakyat. Masyarakat berbondong-bondong menyumbang. Yang tidak punya uang, menyumbangkan hasil bumi seperti panenan gandum, kepada yayasan militer untuk riset alutsista. Pemerintah mengabadikan nama-nama penyumbang dalam bentuk plakat untuk menghormati jasa-jasa mereka yang merelakan hartanya demi negara.
Dengan dana pemerintah yang disokong oleh dana rakyat, industri militer Turki pun melesat cepat. Diawali dengan pembuatan senjata ringan seperti pistol, senapan, dan senapan serbu melalui sejumlah pabrik yang didirikan, pada dekade 1980an Turki sudah mampu melakukan modifikasi atas tank-tank seperti M48 yang dibeli dari Jerman Barat, dan M60 setelah Amerika Serikat mencabut embargo.
Turki sendiri bersikap pragmatis dalam pengembangan industri pertahanannya. Negara seperti Israel yang berseberangan secara prinsip dan ideologi, digandeng karena mau memberikan teknologi militer mereka. Negara lain yang mau berbagi teknologi, semua dijajaki termasuk untuk produksi bareng atau lisensi. Urusan politik, biarlah itu jadi urusan para politikus saja.
Akhirnya, pada akhir paruh 1980an, industri militer Turki telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi yang kuat dan diperhitungkan. Dana yang dihimpun yayasan militer Turki berhasil mencapai angka fantastis, US$600 juta atau sekira 8,1 Trilyun pada tahun 1986. Kuncinya memang keberpihakan pemerintah, militer, industri sendiri, dan tentu saja rakyat yang merasa memiliki.
Apabila diilustrasikan, Jumlah yang terkumpul di Turki pada tahun 1980an tersebut mampu mendanai industri pertahanan Indonesia selama 10 tahun, jika dibandingkan dengan jumlah Penyertaan Modal Negara (PMN) yang dibutuhkan oleh tiga industri pertahanan dengan status integrator seperti PT.Pindad, PT.PAL, dan PT. Dirgantara Indonesia.
Begitulah kurang lebih gambaran sejarah perkembangan singkat mengenai industri pertahanan dalam negeri Turki. Dalam tulisan berikutnya penulis akan coba menggambarkan perjalanan masing-masing perusahaan industri pertahanan Turki hingga dapat mencapai tahap seperti sekarang ini. (Aryo Nugroho)
Sumber : TSM

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

- Berkomentarlah yang sopan dan bijak sesuai isi artikel/ berita;
- Dilarang berkomentar SPAM, SARA, Politik, Provokasi dsb

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)