KA-BAR, Pisau Legenda Pasukan Marinir AS - Radar Militer

12 Agustus 2017

KA-BAR, Pisau Legenda Pasukan Marinir AS

 Pisau Legenda Pasukan Marinir AS
 Pisau Legenda Pasukan Marinir AS 

Semua orang pasti mengetahui sebagian dari kredo Korp Marinir AS yang paling terkenal, Semper Fidelis (selalu setia). Dari seluruh perlengkapan Marinir yang terus berganti mengikuti perkembangan jaman, ada satu yang tak lekang dimakan usia. Itulah pisau KA-BAR, pisau tarung serbaguna yang selalu setia menemani seorang Marinir, kemanapun ia ditugaskan.
Sejak Perang Dunia II, setiap Marinir yang bertugas selalu menerima pisau KA-BAR sebagai bagian dari perlengkapannya, kapanpun dan dimanapun, mulai dari perwira sampai prajurit. Boleh dibilang, KA-BAR adalah personifikasi, tradisi, dan legenda dari seorang Marinir.
Pisau ini adalah teman terdekatnya yang terpercaya, dan walaupun berwujud sebilah pisau, penggunaan KA-BAR ternyata berhasil melampaui tujuan penciptaannya sebagai senjata beladiri.
Seorang Marinir akan menggunakan KA-BAR untuk segala tujuan selain beladiri: membuka paket surat yang dikirim dari rumah, membuka kaleng ransum (sekarang kotak MRE), memaku sekrup dan paku, menancapkan pasak kemah, sampai menggali lubang perlindungan (foxhole) saat E-Tools tidak tersedia. The Marine swears by it and lives with it.
Sejarah penciptaan
Pada 9 Desember 1942, sesaat setelah AS masuk gelanggang PD II, Korp Marinir dan juga AL AS mengevaluasi segala perlengkapan yang mereka miliki. Hasilnya, Korp Marinir merasa bahwa mereka membutuhkan satu pisau serbaguna baru untuk menggantikan pisau M1917/18 dan M1 trench yang mereka miliki.
Pisau lama ini terlalu panjang, dan diperkirakan tidak akan bertahan dari ganasnya iklim lembap di wilayah yang dikuasai Jepang. Mengingat waktunya sudah mendesak, Korp Marinir mengambil jalan pintas dengan memesan semua pisau yang ada dari katalog pabrikan pisau di AS.
Pada saat yang bersamaan, sebenarnya Korp Marinir sudah memutuskan pisau yang mereka pilih, M1921b, sementara pasukan penyerbu khusus Korp Marinir memperoleh Marine Raider Stiletto. Namun pisau ini M1921b ternyata mengecewakan, dan mereka akhirnya melakukan pencarian kembali. Di sisi lain AL AS akhirnya memutuskan untuk serius dengan pisau yang akan mereka pilih dan merilis persyaratan resmi pada 1943.
Dalam dokumen tersebut, pisau yang akan diinginkan AL AS dan Marinir harus memiliki panjang bilah 5,125 inci, dengan gagang terbuat dari cincin kulit (leather washer) bersusun, dengan ujung bawah gagang (pommel) terbuat dari alumunium yang diikat oleh sekrup mur.
Bilah pisau harus diberi perlakuan lapisan parkerized untuk mencegah karat. Salah satu perusahaan, Union Cutlery, menyerahkan pisau desain mereka pada 9 Desember 1942 kepada Korp Marinir, sementara pabrikan Camillus menyerahkan desainnya ke AL AS.
Desain keduanya boleh dibilang mirip, dan sama-sama tidak disukai karena bobotnya terlalu berat. Pisau pertama yang sudah dibagikan ke para personil Marinir dan AL AS, ditahbiskan dengan nama Mk.1, menampilkan pisau dengan bilah sepanjang 51/8 inci dan gagang yang memang berat sehingga sulit dipegang secara seimbang.
Masukan dari AL AS dan Marinir akhirnya membuat Camillus dan Union Cutlery melahirkan desain keduanya sesuai dengan spek dasar yang diperbaiki. Perubahan utama nampak kentara dari panjang bilah yang kini mengadopsi bilah 7 inci untuk memperbaiki genggaman. Perubahan kedua, pommel gagang kini diikat dengan pin baja, bukan sekrup mur sehingga tidak mudah hilang atau lepas.
AL AS dan Korp Marinir sebenarnya puas dengan pisau kedua ini, namun mereka sekalian meminta tambahan pengujian. Pisau baru ini diuji ketajamannya dengan menancapkan ke balok kayu 6x6 inci, kemudian diuji elastisitasnya dengan membengkokkan bilah pada sudut ekstrim, dan menguji ketahanan pisau dengan memotong berbagai macam material.
Ketahanan gagangnya juga ikut diuji, dengan menaruhnya ke ruang bertekanan tinggi dan rendaman air laut. Namun kualitas penyamakan kulit yang luar biasa membuat gagang tetap bertahan pada segala kondisi. AL AS dan Korp Marinir akhirnya puas betul dengan pisau Camillus dan Union yang sebenarnya nyaris sama dan serupa, dan mentahbiskannya dengan nama USN fighting knife, Mk.2.
Dari kedua pabrikan tersebut, Union kemudian memasarkan pisaunya dengan nama KA-BAR. Berkat keberanian para prajurit Korp Marinir di berbagai medan perang seperti Guadalcanal dan Iwo Jima, pisau Mk.2 KA-BAR akhirnya menjadi begitu terkenal, tidak hanya mencakup Mk.2 yang dibuat oleh Union, tapi juga pisau buatan Camillus dan juga puluhan pabrik lainnya seperti PAL, Colonial, Western States Cutlery, Schrade-Walden, Imperial, Robeson, dan Geneva Forge.
Keterlibatan beragam pabrikan ini menjadi tak terhindarkan, karena masifnya upaya perang membuat kebutuhan pisau tidak dapat dipenuhi oleh hanya dua pabrikan. Padahal faktanya, beragam pabrikan tersebut membuat berbagai variasi minor dari Mk.2 yang sebenarnya tidak sesuai benar dengan spek dasar AL AS dan Korp Marinir, mulai dari bentuk bilah, bahan pembuat gagang, sampai bentuk sarungnya (sheath) sehingga orang terkadang tertipu, menganggap semua pisau serbaguna yang dibawa Marinir, maupun pisau lain yang dibawa oleh personil AL AS adalah KA-BAR.
Pisau KA-BAR yang dibuat oleh Union Cutlery memiliki spek panjang bilah 7 inci, dengan mata bilah mengadopsi gaya clip point, dipapas pada satu sisi dan terus menurun sampai bertemu di ujungnya. Kedua sisi mata pisau, baik sisi atas (swedge) dan bawah dibuat sama-sama tajam. Bahan bilah pisau dibuat dari 1095 carbon-steel, yaitu baja dengan kandungan 0,95% bobot Karbon, diperkeras sampai tingkat 56-58 Rockwell cone hardness.
Kombinasi ini dipilih untuk menghasilkan bobot bilah yang ringan, sekaligus mempercepat waktu produksi dibanding bila mengadopsi stainless steel yang saat itu masih cukup mahal dan teknologinya belum sempurna. Tingkat kekerasan yang dimiliki KA-BAR dianggap masih memadai untuk memenuhi kebutuhan Marinir akan alat serbaguna untuk kebutuhan seperti memotong kayu, membuka kaleng, atau memasang pasak tenda.
Untuk keperluan pribadi seperti membuka paket surat, KA-BAR juga bisa diandalkan. Hanya saja, dampak buruknya langsung dirasakan oleh para Marinir yang bertugas di Pasifik. Mereka harus selalu meminyaki pisaunya bila tidak mau karat mampir ke bilah pisau mereka yang berharga.
Di bawah bilah, ada guard yang memisahkan antara bilah dan gagang, sepanjang 11/4 cm yang memadai untuk mencegah tangan tidak menyentuh bilah. Gagang KA-BAR dibuat dari cincin kulit (washer) yang disamak, dipanaskan dan dikeringkan sehingga menjadi liat namun nyaman untuk digenggam, tidak licin saat dipergunakan, baik kondisi tangan memakai sarung tangan ataupun tidak.
Di bawah gagang, ada pommel berbentuk cincin tebal yang dipantek ke gagang dengan sarana pin. Pommel didesain sedemikian rupa agar dapat digunakan sebagai palu, mengingat tidak ada satupun prajurit infantri yang membawa palu ke medan tempur.
Di medan penugasan
Pada awal PD II, KA-BAR digunakan secara eksklusif oleh Korp Marinir AS, menjadikannya identik dengan kecabangan militer paling berani dalam struktur AB AS. Tidak ada Marinir yang tidak menyukai KA-BARnya, dan ini tentu saja membuat iri personil AD AS yang saat itu sebagian besar hanya dilengkapi bayonet M1942 sebagai pasangan M1 Garand.
M6 yang panjangnya 10 inci memang berguna untuk pertempuran jarak dekat sebagai fungsi asasi sebilah bayonet, namun tidak paripurna untuk tugas-tugas lain diluar itu yang terkadang akan mengisi keseharian seorang prajurit diluar medan tempur. Pisau serbaguna yang digunakan AD AS, M3 Trench, juga tidak menawarkan rigiditas dan keandalan yang dimiliki KA-BAR.
Dalam Perang Korea dan Vietnam, akhirnya personel AD AS mulai membawa KA-BAR, yang dibeli dari kocek sendiri. Di Vietnam, muncul pula tren baru yang marak, dimulai oleh para personil Force Recon dari Korp Marinir yang memasang pisau KA-BAR di pundak kiri dragrim M1956/67nya, ditempelkan dengan bantuan “100 mile an hour tape” alias duct tape standar militer berwarna army green buatan pabrikan Johnson & Johnson, mengingat sarung standar tidak memiliki cantelan horisontal untuk dragrim.
Pemilihan lokasi pemasangan ini memudahkan tangan kanan untuk meraih pisau dan mencabutnya bila terjadi keadaan genting yang membutuhkan keterlibatan pisau, seperti pertarungan tangan kosong. Praktek ini terus dilanjutkan berbagai generasi prajurit, dan dari bermacam kecabangan. (Aryo Nugroho)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

- Berkomentarlah yang sopan dan bijak sesuai isi artikel/ berita;
- Dilarang berkomentar SPAM, SARA, Politik, Provokasi dsb