Imanuel Nuhan Wafat, Ini Kisah Penerjun Payung Pertama Indonesia di Bumi Kalimantan - Radar Militer

12 Oktober 2019

Imanuel Nuhan Wafat, Ini Kisah Penerjun Payung Pertama Indonesia di Bumi Kalimantan


Imanuel Nuhan (96) meninggal dunia, Rabu (9/10/2019) kemarin sekitar pukul 19.00 WIB. Generasi zaman sekarang nyaris tak mengenal sosoknya. Tetapi dia adalah salah satu dari 13 orang penerjun payung pertama Indonesia. Dengan wafatnya Nuhan, tidak ada seorangpun dari ke-13 penerjun itu yang tersisa.
Imanuel bersama 12 rekannya tercatat sebagai penerjun pertama Indonesia yang sukses melakukan aksinya pada 17 Oktober 1947 di Desa Sambi, Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Imanuel Nuhan
Imanuel Nuhan 
Para prajurit terjun dari pesawat C-47 Dakota RI-002 yang dipiloti oleh Bob Freeberg berkebangsaan Amerika, dan kopilot Opsir Udara III Makmur Suhodo, Serg Jump Master Opsir Muda Udara III Amir Hamzah.
Mereka adalah Hari Hadi Sumantri (montir radio AURI asal Semarang), FM Soejoto (juru radio AURI asal Ponorogo), Iskandar (pimpinan pasukan), Ahmad Kosasih, Bachri, J. Bitak, C. Williem, Imanuel, Amirudin, Ali Akbar, M. Dahlan, JH. Darius, dan Marawi.
Mereka adalah bagian dari sekitar 60 pejuang asal Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa yang bersedia direkrut sebagai penerjun. Mereka ditempatkan di Asrama Padasan, dekat Lanud Maguwo.
Di bawah Tjilik Riwut, yang ditunjuk Menpangau Komodor Suryadarma Ali, memimpin pembentukan pasukan itu, mereka kemudian menjalani latihan dasar terjun. Mereka juga dilatih oleh Opsir Udara II Sujono, Opsir Muda Udara II Amir Hamzah, Sersan Udara Mispar, dan Kopral Udara Sangkala.
Saat terjun, ke-13 prajurit tersebut belum pernah melakukan penerjunan, kecuali teori dan ground training. Hal ini dikarenakan sempitnya waktu latihan yang sudah terlalu dekat dengan Hari H penerjunan. Sebenarnya ada 14 penerjun yang akan diterjunkan dalam operasi ini, tetapi seorang lagi, Jamhani batal terjun karena takut. Akhirnya hanya 13 penerjun saja yang melompat dari dalam pesawat.
Peristiwa heroik tersebut merupakan operasi penerjunan pertama sekaligus operasi lintas udara pertama yang dilakukan oleh TNI AU, serta menjadi cikal bakal berdirinya Pasukan Gerak Tjepat (PGT) yang kini bernama Paskhas TNI AU.
Namun penerjunan 13 pasukan parasut infanteri di Desa Sanbi ini sebenarnya juga bukan benar-benar yang pertama. Sebelumnya pada 12 Februari 1946, TNI AU sudah melakukan percobaan terjun payung dengan menerjunkan Amir Hamzah, Legino, dan M. Suhodo, Tetapi karena sifatnya hanya sebagai uji coba, bukan operasi militer sesungguhnya, maka ketiganya tidak dianggap sebagai penerjun payung pertama.
Penerjunan pertama di alam Indonesia merdeka yang berlangsung di Pangkalan Udara Maguwo tersebut disaksikan oleh Kepala Staf BKRO Komodor (U) Suryadi Suryadarma dan Panglima Besar Letjen Sudirman serta petinggi BKR lainnya. Penerjunan yang dilaksanakan pada ketinggian 700 meter, sebagai pengawas kesehatannya adalah Dr. Esnawan.
Demikian juga dengan penerjunan kedua diadakan di Pangkalan Udara Maguwo tanggal 8 Maret 1947 pada saat wing day yang merupakan terjun bebas (free fall) pertama di Indonesia dilakukan oleh Opsir Udara I Soedjono dan Opsir Muda Udara I Soekotjo dengan penerbang Gunadi dan Adisucipto. Penerjunan ini disaksikan oleh Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, para petinggi BKR serta masyarakat luas.
Lalu pada tanggal 24 Maret 1947, kembali dilaksanakan penerjunan oleh Soedjono dan Soekotjo dalam rangka peresmian Pangkalan Udara Gadut di Bukittinggi. Semuanya dalam rangka latihan dan parade, bukan operasi militer.
20 tahun kemudian, dengan Surat Keputusan Men/Pangau Nomor 54 Tahun 1967 tanggal 12 Oktober 1967 dinyatakan bahwa tanggal 17 Oktober 1947 hari dimana ke-13 penerjun payung diterjunkan ke belantara Kalimantan dijadikan sebagai hari jadi Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat).
Tugas Berat Taruhan Nyawa
Rencananya setelah mendarat, ke-13 pasukan payung itu akan membentuk gerilyawan Kalimantan, khususnya di daerah salah satu suku Dayak di Sepanbiha untuk melawan Belanda. Juga mendirikan stasiun radio induk untuk keperluan membuka jalur komunikasi antara Kalimantan dengan Yogyakarta sebagai ibukota RI saat itu, serta menyiapkan daerah penerjunan (dropping zone) bagi penerjunan pasukan-pasukan payung selanjutnya. Namun tugas itu akhirnya gagal dijalankan secara maksimal.
“Pada saat penerjunan itu, semua anggota selamat, namun saat istirahat di pondok tak jauh dari lokasi pendaratan, mereka dikepung pasukan Belanda dan terjadi kontak senjata hingga menyebabkan tiga orang pejuang tewas,” lanjut Hernison.
Detil kejadian yang lebih lengkap, menurut Historia, pasukan ini awalnya akan diterjunkan di Sepanbiha, Kalimantan Selatan namun akibat cuaca yang buruk dan kontur daerah Kalimantan yang berhutan lebat mengakibatkan Mayor (U) Cilik Riwut yang putra asli Kalimantan kebingungan saat memprediksi tempat penerjunan. Pasukan malah terjun di Desa Sanbi. Kendati beberapa penerjun sempat tersangkut di pohon, mereka semua selamat menapakkan kaki di darat.
Mereka akhirnya bisa bergabung kembali pada hari ketiga lantaran tercerai-berai saat mendarat. Sebagian peralatan yang diterjunkan pun tak dapat ditemukan. Namun yang menjadi masalah ketika mereka sadar bukan mendarat di Sepanbiha melainkan di Kampung Sambi, barat laut Rantau Pulut, Kotawaringin, Kalimantan Tengah. Alhasil, mereka pun terpaksa survive di dalam belantara.
Pada hari ke-35, mereka bermalam di sebuah gubuk di tepi Sungai Koleh. Dini hari 23 Nopember, ketika mayoritas mereka sedang nyenyak tertidur, tembakan dari pasukan NICA menghujani mereka dari tiga arah. Letda (Ud.) Iskandar, Sersan (Ud.) Achmad Kosasih, dan Kapten (Ud.) Hari Hadisumantri gugur seketika. Suyoto tertawan. Sisa pasukan yang selamat langsung menyelamatkan diri.
Mereka langsung keluar-masuk hutan melakukan gerilya. Namun kepungan pasukan NICA begitu ketat, ruang gerak mereka kian terbatas. Kurang dari dua bulan kemudian, sisa pasukan penerjunan pertama yang selamat itu semua tertangkap. Imanuel Nuhan menjadi orang terakhir yang tertangkap.
Setelah dibawa ke Banjarmasin, mereka ditahan di Penjara Bukitduri, Jakarta sebelum dipindah-pindah lagi ke Penjara Glodok, Cipinang, dan Nusakambangan. Namun Belanda tidak bisa membuktikan bahwa mereka adalah prajurit TNI profesional, sehingga pengadilan akhirnya memvonis mereka atas tindakan kriminal biasa. Mereka dibebaskan menjelang Konferensi Meja Bundar.
Dikutip dari Kompas.com, Hernison Inuhan, putra Imanuel Nuhan, menceritakan bagaimana sang ayah dapat tercatat dalam sejarah sebagai penerjun pertama Indonesia.
“Dulu bapak sekolah di Sekolah Rakyat, lalu ada kawan bapak yang bawa beliau sekolah pelayaran di Jawa. Bapak kemudian berangkat dari Desa Tewa ke Pulau Jawa. Setelah lulus, ia kemudian menjadi tentara Jepang,” kata Hernison saat mendampingi ayahnya semasa hidup berkunjung lagi ke Desa Sambi, Selasa (23/8/2016).
Saat Jepang kalah dari sekutu, Imanuel kemudian bergabung ke Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Saat bergabung di TRI itu, dia sempat berperang di Surabaya dan sekitarnya.
“Setelah bebas, bapak ditugaskan di beberapa tempat, termasuk pernah di kebun binatang Wonokromo. Setelah Pak Tjilik jadi gubernur, ia ditarik jadi kabiro humas sampai akhirnya pensiun pada tahun 1980,” ungkapnya.
Ingin Kembali ke Sanbi
Sebelum wafat, Imanuel menghabiskan masa tuanya di Kota Palangkaraya bersama anak-anaknya. Imanuel memiliki 11 anak dari dua istri. Istri pertama yang telah meninggal dikaruniai 8 orang anak, kemudian dia menikah lagi dan memiliki tiga anak.
Di masa tuanya itu, Imanuel terkadang meminta kepada anak-anaknya agar dibawa ke Desa Sambi, tempatnya mendarat dulu. Ia ingin menemui warga desa.
“Beliau selalu ingin ke Sambi, tapi kami anak-anaknya tak mengizinkan karena kondisinya yang sudah tidak memungkinkan. Bapak ingin agar masyarakat Kalteng tahu bahwa pejuang yang pernah mendarat di Sambi masih hidup,” tutur Hernison.
Imanuel juga selalu berharap agar pemerintah bisa lebih memperhatikan sejarah yang melekat di kota Sambi. “Pemerintah harus melestarikan dan mengembangkan Desa Sambi, karena jika desa berkembang, sejarah juga akan terus dikenang,” tutup dia.
Imanuel memang menjadi pahlawan lokal bagi warga Desa Sambi. Di desa ini berdiri sebuah patung penerjun sebagai simbol bahwa ditempat itu pernah dijadikan lokasi pendaratan penerjun payung pertama Indonesia.
Imanuel juga dielukan warga, hal itu terlihat saat rombongan Wing II Paskhas bersama Imanuel menggelar Napak Tilas di Desa Sambi. Ratusan warga desa berbondong-bondong mendatangi lokasi dan menyalami pahlawannya itu.
“Bagi warga Sambi, Imanuel adalah sosok pahlawan. Ia menjadi pelecut semangat, simbol perjuangan dan keberanian seorang prajurit. Itu yang menjadi motivasi para warga Desa Sambi,” kata Kepala Desa Sambi, Dusul Susanto.
“Kehadiran Imanuel sebagai pelaku sejarah dalam napak tilas ini merupakan suplemen dan motivator bagi generasi muda prajurit Paskhas untuk lebih memaknai perjuangan para pendiri dan pejuang kemerdekaan dalam mempertahankan eksistensi NKRI,” kata Komandan Wing II Paskhas, Kolonel Pas Ari Ismanto.
“Selain itu, kehadirannya juga sebagai cambuk bagi prajurit untuk menjadi prajurit profesional yang dicintai rakyat dalam pengabdiannya kepada bangsa dan negara,” sambung dia. (arman)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

- Berkomentarlah yang sopan dan bijak sesuai isi artikel/ berita;
- Dilarang berkomentar SPAM, SARA, Politik, Provokasi dsb