Kontrak Su-35 Flanker-E untuk Indonesia, Benarkah Kemahalan? - Radar Militer

24 September 2017

Kontrak Su-35 Flanker-E untuk Indonesia, Benarkah Kemahalan?

 Su-35 Flanker-E
 Su-35 Flanker-E 

Jagat peralutsistaan Indonesia yang memang sudah ramai menjadi semakin ramai ketika pemerintah mengeluarkan wacana baru terkait kontrak pembelian Sukhoi Su-35 untuk TNI AU. Padahal tadinya semua sudah gembira ketika proses pengadaan yang beberapa tahun lamanya berujung pada terpilihnya Su-35 Flanker-E sebagai pengganti F-5 Tiger II.
Entah siapa yang memulai, kontrak senilai US$ 1,14 Miliar yang digunakan untuk menebus 11 unit Su-35, dianggap terlalu mahal. Padahal kontrak tersebut sudah dinegosiasikan susah payah, termasuk dengan skema imbal dagang dengan hasil bumi Indonesia. Jet tempur ini sangat penting untuk menjaga postur militer Indonesia dan memenuhi Kekuatan Esensial Minimum TNI, khususnya TNI AU.
Acuan harga bagaimana Su-35 dikatakan mahal, hanya dengan mereferensikan situs Wikipedia, yang bisa diedit oleh seluruh kontributor, bahkan yang tidak mengerti militer, secara bebas. Laman Wikipedia.orgmemang menyebutkan bahwa Su-35 sebuahnya memiliki harga di kisaran US$40 juta sampai dengan US$65 juta, tergantung opsi yang direalisasikan.
Dengan hitungan kasar tersebut, dengan mudahnya dikatakan bahwa harga Su-35 yang diperoleh Indonesia yaitu sekitar US$90 juta sebuahnya, adalah harga yang terlalu mahal. Indonesia seakan ditipu. Maka, harus ada renegosiasi, dimana target Su-35 yang bisa diperoleh seharusnya adalah 15 unit sampai dengan 17 unit.
Namun benarkah harga Su-35 terlalu mahal? Mahal dan murah memang relatif, tetapi untuk mudahnya, lihat saja China sebagai pembeli dan pengguna Su-35 pertama di luar Rusia. China membeli 24 buah Su-35, dimana empat pesawat pertama sudah dikirimkan dari pabrik KnAAPO di Komsomolsk-on-Amur pada bulan Desember 2016 dan 10 sisanya bertahap pada 2017, lalu selebihnya pada 2018.
Untuk menebus jet tempur super canggih tersebut, termasuk perlengkapan pendukung, suku cadang, dukungan teknisi Rusia, dan transfer teknologi lainnya, China rela membayar US$ 2 Miliar, atau nyaris US$ 84 juta sebuahnya. Kalau dibandingkan dengan harga yang dibayar Indonesia, apa yang dibayar China memang lebih murah US$ 6 juta.
Selisih ini wajar, karena China membeli lebih banyak, dan membayar dengan kas keras tanpa permintaan barter. Sudah jadi praktek umum, kalau anda membeli lebih banyak, harga yang diberikan tentu saja lebih murah. Diasumsikan dengan kontrak dukungan yang sama, kalau Indonesia mau membeli dengan jumlah yang sama, maka harga yang diterima pun tidak akan jauh dari harga yang dibayar China.
Lalu apakah Indonesia masih mau berkeras hati untuk menegosiasikan harga Su-35 yang sudah dirundingkan terlalu lama, panjang, dan bertele-tele dengan pihak Rusia hanya berdasarkan patokan informasi yang sumir? Sementara F-5 Tiger II Skadron Udara 14 sudah jadi monumen, tanpa ada pesawat tempur penggantinya? Seharusnya pemerintah fokus kepada pemenuhan jenis barang yang akan diimbal dagangkan, karena memang saat ini Rusia belum menentukan komoditas apa yang akan dipilih untuk barter.
Mempercayai Wikipedia sebagai sumber utama harga alutsista adalah sama seperti mempercayai Global Firepower sebagai sumber sahih mengenai kekuatan militer sebuah negara. Kedua situs tersebut adalah situs umum yang bagus untuk bahan mengerjakan pekerjaan rumah siswa SMA, tetapi jelas tidak pas untuk jadi rujukan untuk mengambil keputusan strategis terkait pertahanan negara. (Aryo Nugroho)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

- Berkomentarlah yang sopan dan bijak sesuai isi artikel/ berita;
- Dilarang berkomentar SPAM, SARA, Politik, Provokasi dsb