Eurofighter Typhoon |
Ketika negara-negara Eropa Barat sepakat bersatu untuk membangun sebuah jet tempur kolaborasi dengan nama program FEFA (Future European Fighter Aircraft), masa depan nampak cerah. Juru kunci NATO seperti Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, dan Inggris semuanya bergabung. Namun kemudian program tersebut terkendala dengan konflik, dan Perancis pun keluar.
Produk akhirnya, Eurofighter Typhoon, lahir di jaman yang sudah berubah. Didesain sebagai pesawat tempur sergap murni untuk menangkal jet tempur Uni Soviet, Typhoon tiba-tiba tergagap-gagap ketika Perang Dingin sudah usai. Jet tempur sergap ini langsung tidak punya lawan, dan tren operasi militer justru mengarah ke serang darat, sesuatu yang tidak bisa dilakukan Typhoon Tranche 1.
Anggaran pertahanan dipotong dan pesanan berkurang, menjadikan harga Typhoon sangat mahal. Hanya Inggris, Jerman, Italia, dan Spanyol serta Austria yang membeli Typhoon. Kemampuannya pun perlahan ditingkatkan supaya bisa menjalankan misi serang darat dalam beberapa tranche produksi. Namun, pemakainya tak kunjung puas. Austria bahkan memensiunkan Typhoon karena alasan biaya operasi yang mahal.
Namun, masalah tidak berhenti di situ. British Aerospace (BAe) sebagai salah satu kontraktor utama menghadapi kebingungan karena pesanan baru tak kunjung datang. Pabrik dan orang-orangnya menganggur. Pabrik Bae di Warton, Lancashire yang merupakan lini produksi Typhoon hanya bisa menunggu pesanan dari Qatar yang tak kunjung difinalisasi. Padahal gembar-gembornya Qatar akan memesan 24 unit, dan sudah diumumkan pada bulan September 2017.
Akhirnya, BAe pun mengambil langkah ekstrim, dengan memecat karyawan di pabrik tersebut. Tak tanggung-tanggung, jumlah yang dirumahkan mencapai 1.000 orang, atau 3 persen dari total tenaga kerja BAe di Inggris. Di saat iklim ekonomi Inggris yang sedang tidak baik, PHK ini akan menjadi berita buruk bagi kabinet PM Theresa May.
Pengamat malah mengatakan, tidak usah terlalu berharap pada Qatar yang sedang diblokade oleh Arab Saudi, Bahrain, dan Inggris. Qatar hanya membeli waktu dan menawarkan gula-gula bagi Inggris untuk membuka peluang diplomasi. Kalaupun penjualannya tembus, Inggris beresiko mempertaruhkan hubungannya dengan Arab Saudi yang sudah membeli begitu banyak senjata dari Inggris. Apakah Inggris berani meninggalkan Arab Saudi begitu saja? Atau lebih baik membiarkan PHK dan membiarkan era Typhoon sebagai jet tempur generasi 4++ berakhir begitu saja? (Aryo Nugroho)
Sumber : https://c.uctalks.ucweb.com