KRI Samadikun-341 |
Salah satu dampak peralihan kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru adalah mangkraknya kapal-kapal perang Angkatan Laut Republik Indonesia yang mayoritas buatan Uni Soviet. Dari kapal perang jenis penjelajah, perusak, sampai korvet yang begitu digdaya, akhirnya mangkrak begitu saja. Padahal kapal-kapal perang itu sangat perkasa dengan meriam-meriam kaliber besarnya, tapi lalu akhirnya tak berdaya.
Bayangkan saja, dari puluhan kapal perang utama dengan tonase ribuan ton, pada awal 1970an TNI AL hanya memiliki kesiapan tidak sampai 20 kapal; Bahkan kekuatannya dibangun ulang hanya dengan enam unit kapal patroli yang dihibahkan oleh Australia. Amerika Serikat yang memandang posisi strategis Indonesia kemudian menghibahkan satu unit kapal perang kelas DE (Destroyer Escort) atau Perusak Kawal eks Claud Jones.
Kapal pertama itu, KRI Samadikun-341, disetujui untuk dihibahkan kepada Indonesia. Kapal perangnya sendiri merupakan penyempurnaan dari kapal kelas Dealey yang didesain sebagai kapal pengawal kapal perusak yang ekonomis. Tonasenya hanya 2.000 ton dengan muatan penuh, setara dengan fregat ringan, ditenagai dengan mesin diesel Fairbanks-Morse 38ND8 berdaya 7.000hp sebuahnya yang menggerakkan satu batang propeller tunggal.
Persenjataannya juga simpel, hanya dua buah meriam 3 inci L50 dan dilengkapi 6 tabung peluncur torpedo 324mm dan pelontar mortir anti kapal selam. Begitu sederhananya sistem senjata di KRI Samadikun eks USS John Perry, sampai TNI AL harus meretrofit sejumlah kanon eks kapal perang Soviet seperti meriam 37mm V-11-M agar kemampuan melawan ancaman udara tetap ada.
AL AS memiliki empat buah kapal perang dari kelas Claud Jones, dan satu unit sudah dihibahkan menjadi KRI Samadikun-341 walau barangnya belum diterima oleh TNI AL. Pemerintah Indonesia pun mencari akal bagaimana caranya supaya tiga kapal sisanya bisa jadi milik Indonesia. Kuncinya adalah hubungan khusus antara Presiden Richard Nixon dan Presiden Soeharto.
Hubungan ini bisa tercipta, karena di saat-saat awal transisi Orde Baru, Dubes AS untuk Indonesia yang piawai, legendaris, dan berpengaruh yaitu Marshall Green menyarankan agar Presiden Soeharto saat itu memberikan perlakuan khusus pada Presiden Richard Nixon yang mengadakan kunjungan ke Asia Tenggara pada 1969.
Soeharto memenuhi saran dari Marshal Green tersebut; Nixon yang tiba di Indonesia disambut oleh rakyat yang dimobilisasi habis-habisan. Suatu sambutan besar dengan peragaan tari-tarian dan budaya Indonesia di halaman Monas membuat Nixon terkesan dengan seluruh perlakuan istimewa yang diberikan Soeharto; di mata Nixon, Soeharto akhirnya tidak pernah salah.
Pak Harto akhirnya mengirimkan surat pribadi yang ditujukan kepada Presiden Nixon, dan dibawa oleh Letnan Jenderal Hasnan Habib yang waktu itu adalah Kaskopkamtib III di bawah Jenderal Sumitro. Letjend Hasnan Habib diterima oleh Brent Scrowcroft pada 15 Mei 1973, yang merupakan Asisten urusan Militer untuk Presiden Nixon.
Dalam pertemuan tersebut, Letjend Hasnan Habib menyatakan bahwa TNI AL membutuhkan tiga DE Claud Jones yang tersisa karena kasus penangkapan ilegal semakin meningkat, begitu pula kejahatan penyelundupan yang merugikan negara.
Pertemuan khusus ini bersifat sangat rahasia, dan sedikit yang tahu di dalam lingkaran pemerintah Indonesia. Duta Besar Indonesia untuk AS Syarif Thayeb bahkan tidak pernah tahu adanya jalur khusus Soeharto-Nixon. Di Kedubes Indonesia di AS, saat itu yang tahu hanya Brigjend Nichlany selaku Atase Militer RI untuk AS.
Presiden Soeharto mengingatkan, kalau sampai AS tidak memberikan bantuan kapal perang, maka TNI AL hanya akan punya 14 kapal, padahal berdasarkan hitungan terakhir, jumlah minimum kapal yang dibutuhkan adalah 54 kapal. Total DE yang dibutuhkan TNI AL adalah empat kapal untuk misi patroli dan memelihara kapabilitas perwira dan para kelasi, sehingga nantinya siap untuk dikembangkan saat anggaran memungkinkan.
Presiden Soeharto pun dengan jujur di dalam suratnya meminta tiga Destroyer Escort Claud Jones yang tersisa. Brent Scrowcroft menyatakan bahwa administrasi Nixon sangat bersimpati dengan kebutuhan Indonesia, dan akan memperjuangkannya di hadapan kongres AS. Ini bukan hal yang mudah, karena Kongres saat itu sangat membatasi program MAP (Military Assistance Program).
Lobi Pak Harto nyatanya menuai hasil, dengan akhirnya tiga unit kapal perang yang tersisa diserahkan ke Indonesia pada tahun 1974 melalui program MAP saat itu program Foreign Military Sales (FMS) belum ada. TNI AL pun resmi mengoperasikan seluruh kapal kelas Claud Jones yang pernah lahir ke dunia.
USS Charles Berry bersalin menjadi KRI Martadinata-342, USS Claud Jones berubah menjadi KRI Monginsidi-343, dan USS McMorris menjadi KRI Ngurah Rai-344. Seluruh kapal menjalani refit di Pangkalan AS di Subic Bay sebelum diserahkan kepada Pemerintah Indonesia.
Uniknya, dalam prosesnya, sebenarnya Presiden Soeharto meminta agar kapal-kapal Destroyer Escort itu dikirimkan saja setiap tahun satu kapal, agar tidak memberatkan keuangan Pemerintah Indonesia yang berencana untuk mencicil pembayarannya secara bertahap walaupun akhirnya dikirimkan nyaris bersamaan.
Ini merupakan blessing in disguise karena kapal-kapal perang yang usianya sudah 15 tahun tersebut malah menjadi andalan sebagai pembuka Operasi Seroja merebut Timor-timur, walaupun Indonesia sudah berjanji ke AS bahwa peralatan perangnya tidak akan dipakai untuk operasi militer yang sifatnya invasi ke negara lain. (Aryo Nugroho)