OV-10 Bronco |
Saat Saddam Hussein menolak ultimatum Koalisi untuk mundur, babak baru operasi Desert Storm pun dimulai. Di balik hingar-bingar teknologi maju seperti misi tempur (terpublikasi) pertama F-117 Nighthawk, sejumlah veteran perang tua pun diterjunkan. Selain A-7 Corsair II, OV-10 Bronco milik Korps Marinir AS pun digelar ke sana.
Awalnya para perencana militer AS sempat mempertanyakan apakah memang bijak untuk menggelar OV-10, mengingat di medan gurun yang terbuka, OV-10 yang terbangnya lambat dengan mudah dapat diidentifikasi oleh musuh. Tidak ada pepohonan yang menghalangi line of sight dari lawan di darat, dan pasukan darat Irak memiliki senjata anti pesawat portabel seperti rudal panggul SA-7.
Namun Korps Marinir AS juga tidak punya pilihan lain. Pesawat observasi dan FAC mereka tinggal OV-10, yang saat itu menjadi yang terbaik karena memiliki perangkat sensor yang canggih. Tidak ada lagi pesawat dalam inventori Korps Marinir yang mampu melakukan tugas serupa. Pada bulan Agustus 1990 VMO-2 diperintahkan untuk menggelar pesawatnya ke Arab Saudi. Satu detasemen berkekuatan enam pesawat ditugaskan untuk ‘pindah’ ke Kuwait. Jarak yang terlihat dekat di peta sebenarnya jaraknya 10.000 mil dari Camp Pendleton ke Arab Saudi!
Selama satu bulan para penerbang OV-10 Korps Marinir tersebut melakukan ferry flight yang melintasi berbagai Negara demi mencapai tujuan akhirnya: Pangkalan Angkatan Laut King Abdul Azis. Rekor penerbangan yang dicatatkan VMO-2 dengan pesawat propellernya ini ternyata dianggap tidak praktis, sehingga sisa skadron akhirnya diberangkatkan dengan kapal induk yang akhirnya sandar di Spanyol dan kemudian dilanjutkan terbang feri ke Arab Saudi. Pada bulan Januari 1991 VMO-1 menyusul kemudian tiba di King Abdul Azis, dan sampai berakhirnya perang, berpangkalan di sana bersama AV-8 Harrier II milik Korps Marinir.
OV-10 milik Korps Marinir AS ditugaskan untuk menjalankan misi FAC (A) (Forward Air Controller - Airborne), TAC (Tactical Air Coordination), dan MSR (Multi Sensor Reconaissance). Pilot-pilot VMO-2 mengendalikan akurasi tembakan artileri musuh, mengorganisasikan koordinasi pesawat CAS Sekutu, mengendalikan koordinat tembakan NGS (Naval Gunfire Support) dari USS Wisconsin (BB 64).
Langsung jadi korban
Malang tidak dapat ditolak, OV-10 dari VMO-2 menjadi korban pesawat Koalisi pertama yang ditembak jatuh oleh kekuatan musuh. Pada pukul 05.45 tanggal 18 Januari 1991 atau hari kedua Operasi Desert Storm, Komandan Skadron Letkol Clifford Acree menjalankan misi tempur keduanya di Irak. Ia lepas landas dengan OV-10A dengan pengamat CWO Guy “Great White” Hunter, Jr. Terbang parallel dengan garis perbatasan, mata yang awas dari kedua awak OV-10 tersebut menangkap sekumpulan peluncur rudal FROG yang sedang mempersiapkan peluncuran rudal taktis tersebut ke arah Arab Saudi.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih baik, Letkol Acree mengarahkan pesawatnya untuk terbang melingkari posisi musuh. Di bawah sana, rupa-rupanya pasukan Irak sudah mempersiapkan sambutan untuk tamu yang tidak diundang. Penembak SA-7 di bawah tanpa perlu terburu-buru segera memperoleh kuncian atas OV-10 yang terbang pelan, dan dalam sekejap jejak asap putih meliuk dari arah bawah. Letkol Acree melihat rudal yang meluncur tersebut, tetapi ia tidak bisa apa-apa; Kuda liarnya itu terlalu lamban.
Mempersiapkan dirinya untuk impak, kedua awak OV-10 tersebut merasakan goncangan keras ketika rudal menghantam mesin sebelah kiri. Pecahan logam panas dengan segera mencelat kemana-mana, termasuk menghantam kokpit dan meretakkan kacanya. Letkol Acree yang kehilangan kontrol atas pesawatnya berusaha mengendalikan pesawat yang bergetar keras, tanpa harapan. Ia berusaha mengontak CWO Hunter di kursi belakang, tapi sistem radio dan interkom rusak akibat kena pecahan rudal. Parahnya lagi, Hunter sendiri ternyata pingsan di kursi belakang dan tidak bangun walaupun Letkol Acree berulang kali meneriakkan namanya.
Tak punya pilihan dan pesawat mulai menukik spiral, Letkol Acree dengan cepat menarik tuas kursi pelontar. Kedua pilot Marinir tersebut merasakan betotan motor roket yang melesat ke atas, CWO Hunter terlebih dahulu; sedetik kemudian Letkol Acree menyusul.
Tergantung pada parasut di tengah pagi yang dingin dan sunyi, seribu pikiran berkecamuk di pikiran Letkol Acree. Ia adalah perwira dengan pangkat tertinggi kedua yang ditembak jatuh di Irak. Lapar, ia belum sempat makan karena sudah harus sorti di subuh hari. Ia merasakan rembesan dingin. Darah. Sepotong logam menancap di lehernya, nyaris mengenai pembuluh darah utama Acree.
Namun yang dikuatirkannya bukan itu. Akankah pasukan Irak menaati Konvensi Jenewa? Apakah saya akan selamat? Bagaimana mereka akan memperlakukan perwira seperti saya? Letkol Acree tidak perlu menanti lama untuk menemukan jawabannya. Sang Komandan skadron sudah ditunggu di bawah oleh pasukan Irak yang menembaknya jatuh, dan tak punya pilihan, menyerah di bawah todongan senjata musuh.
Pasukan Irak tidak segan menyiksanya. Mengetahui Letkol Acree adalah seorang perwira tinggi, pasukan Irak yang menginterogasinya menggunakan kekerasan fisik setelah Letkol Acree tidak mau buka mulut. CWO Hunter yang ditahan secara terpisah juga menerima nasib serupa. Setelah dipukuli dalam sesi interogasi, pilot Marinir itu akan diseret ke sel sempit tanpa lampu, hanya bisa menunggu sesi penyiksaan berikutnya. Tidak ada yang merawat luka-lukanya. Baru seminggu kemudian ada dokter yang memeriksa dan akhirnya mencabut serpihn logam yang menancap di leher LetKol Acree. Tanpa pembiusan terlebih dahulu.
Tak lama kemudian, Letkol Acree dipindahkan ke penjara militer lain, kali ini dipisahkan dengan CWO Hunter. Ia bertemu dan ditempatkan di dalam sel yang terletak di antara sel Lettu John Peters yang Tornado GR1nya ditembak jatuh di atas pangkalan udara Al-Rumaylah dan Mayor Jeffrey Tice yang F-16nya tertembak jatuh di atas Baghdad. Ketiganya diperlakukan baik, diberi makan yang cukup dan tidak disiksa, namun lima hari kemudian dipindahkan lagi ke pos komando intelijen Irak di Baghdad.
Di lokasi baru ini mereka kembali diperlakukan buruk, tidak diberi makan, selnya sangat dingin, dan sesi interogasi yang panjang. Selama nyaris sebulan Letkol Acree menjalani siksaan tersebut, fisik dan mental. Para penyiksanya mengancam untuk memotong seluruh jari Acree untuk setiap pertanyaan yang tak terjawab, dan mengirim setiap potongannya ke rumah Acree di Amerika.
Siksaannya baru berakhir ketika Baghdad dibombardir oleh F-117A. Posko tempat Acree dan pilot lain ditahan sebenarnya sudah masuk dalam daftar target, tetapi di detik terakhir F-117A diperintahkan menyerang sasaran lain. Letkol Acree akhirnya dievakuasi dan dibawa ke komplek penjara Abu Ghraib, dimana akhirnya ia dipertemukan kembali dengan CWO Hunter. Setelah gencatan senjata, Letkol Acree dan rekan-rekannya diserahterimakan ke Palang Merah, dimana mereka diobati dan kemudian dipulangkan ke negaranya masing-masing. (Aryo Nugroho)
Sumber : https://c.uctalks.ucweb.com