Kisah Para Penyintas Perbudakan Seks Masa Penjajahan Jepang Yang Terlupakan - Radar Militer

01 Januari 2017

Kisah Para Penyintas Perbudakan Seks Masa Penjajahan Jepang Yang Terlupakan

Ilustrasi
Ilustrasi

Ratusan ribu orang perempuan dan anak-anak perempuan di beberapa negara Asia diperkosa dan dipaksa menjalani perbudakan seksual atau yang disebut 'ianfu' oleh tentara Jepang, termasuk di Indonesia.
Artikel ini memuat konten yang mungkin menganggu bagi sejumlah pembaca
Sri Sukanti (80) baru berusia sembilan tahun ketika dibawa tentara Jepang ke Gedung Papak, Purwodadi, Jawa Tengah.
"Wah ayah saya semaput-semaput saya dibawa dikira mau dibunuh. Terus ada lagi temen saya sekolah, dikira mau dibunuh. 'Jangan, saya saja, saya saja'," ungkap Sri, seraya mengenang masa kelam itu.
Selama beberapa hari, dia diperkosa seorang perwira militer Jepang.
"(Saya) dielus-elus diciumi… ditiduri tiga kali, tidak setiap hari…. Hmm, nangis toh saya, abis gimana lagi, jauh dari orang tua, yang mau nolong aku siapa?" tuturnya.
Sri ingat dia berada di gedung itu bersama dengan anak perempuan lainnya, tetapi tidak berada di ruangan yang sama.
Tak ada yang bisa dilakukan untuk melarikan dari gedung tersebut.
Selama berada di Gedung Papak, Sri mengungkapkan secara rutin dia disuntik agar tidak memiliki anak. Sri menunjukkan bekas luka yang di bagian bokongnya.
"Ini suntikannya, satu minggu nggak bangun, sakit toh cuma satu tempat, ini tempatnya. Muter ( di tempat ) ini tok (saja)," kata Sri.
Sri merupakan korban dari salah satu tindak kekerasan seksual terbesar dalam sejarah modern. Pada masa Perang Dunia II diperkirakan 200.000 perempuan dimasukkan dalam tahanan dan ribuan lainnya diantara mereka diperkosa tentara Jepang.
Sebagian besar dari perempuan ini merupakan warga Korea dan Cina, tetapi operasi serupa juga dilakukan di negara jajahan Jepang lain, antara lain Indonesia, Myanmar dan Filipina.
Di Indonesia, perempuan dari Jawa dibawa ke garis depan peperangan, seperti di Kalimantan, Sulawesi, bahkan juga Maluku, termasuk di Pulau Buru.
Menurut Eka Hindra, selaku peneliti 'Ianfu', Jepang menjalankan sistem praktik perbudakan seksual dibawah kontrol militer pada masa penjajahan.
"Ini memang merupakan suatu sistem dan tidak begitu saja diterapkan karena rekrutmen yang dilakukan sesuai dengan situasi di daerah itu, seperti di Gunung Kidul banyak yang diambil dari jalan ataupun kebun. Kemudian ada yang iming-iming untuk meneruskan pendidikan, pekerjaan, dan sekolah - yang terakhir biasanya korbannya dari kalangan terpelajar," jelas Eka.
Perempuan-perempuan ini dibawa dan ditempatkan di ianjo (rumah bordil) yang dibangun oleh tentara Jepang, yang tersebar di berbagai daerah.
Selain di ianjo, banyak perempuan yang juga mengalami perkosaan oleh tentara Jepang.
Paini - berusia 86 tahun - merupakan nenek yang berbicara tegas dan sangat ramah. Sampai saat ini dia tak pernah menceritakan secara langsung kekerasan seksual yang dialaminya pada masa penjajahan Jepang kepada anak ataupun cucunya.
Meski begitu, dia sangat terbuka untuk mengungkapkan kekejaman seorang tentara Jepang terhadap dirinya.
Ketika Jepang masuk ke Salatiga, Jawa Tengah, para tentaranya merekrut warga setempat untuk kerja paksa atau menjadi romusha. Paini, yang ketika itu berusia 12 tahun, pun menjalani kerja paksa. Saat itu dia sudah menikah.
Di barak militer Jepang itu, Paini mengalami kekerasan seksual oleh tentara Jepang.
"Saya disuruh masak gerondol jagung dibuat kasih makan orang romusha. Tapi belum selesai masakan saya, kan saya tidak tahu kalau ada orang di belakang saya itu, saya disekap," ungkap Paini.
Ketika itu teman-temannya tidak ada yang berani membantunya, dan melaporkannya kepada salah satu perwira Jepang yang memimpin barak. Dia pun akhirnya dipulangkan.
Suaminya kemudian menceraikannya. Sepanjang hidupnya, Paini kemudian menikah lagi dua kali dan memiliki empat anak.
"Rahim membusuk"
Banyak para penyintas 'ianfu' yang tidak dapat memiliki anak karena alat reproduksi mereka sudah hancur ketika berada dalam 'tahanan' tentara Jepang. Setelah perang berakhir, mereka juga mengalami stigma dan disebut sebagai 'bekas Jepang'.
Perbudakan seks pada masa Jepang ini terungkap jelas ketika seorang Kim Han Sook, penyintas 'ianfu' asal Korea Selatan memberikan kesaksian secara terbuka kepada publik pada 1992.
Setelah itu satu per satu 'ianfu' di sejumlah negara memberikan kesaksian kekejaman Jepang terhadap mereka. Di Indonesia, seorang penyintas Tuminah asal Solo yang menyampaikan kesaksian secara terbuka pada 1992.
Setahun berikutnya, Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta melakukan pendataan terhadap korban perbudakan seksual Jepang dengan membuka pengaduan.
Mantan Direktur LBH Yogyakarta, Budi Santoso, mengatakan pendataan dilakukan karena ada permintaan dari Jepang agar Indonesia mendata korban perbudakan seks pada masa perang. Melalui pendataan saat itu, ada 1.156 orang yang dilacak.
"Kondisi fisik dan kesehatan mereka tidak begitu baik. Bayangkan saja mereka ini selama masa mudanya mendapatkan perlakuan seksual yang begitu rupa itu sampai rahimnya ada yang membusuk," ungkap Budi.
Dia mengatakan kesaksian para 'ianfu' ini justru menimbulkan stigma terhadap mereka, bahkan ada juga yang berdampak pada ekonomi mereka.
Budi mengatakan pendataan dan verifikasi yang dilakukan LBH Yogyakarta ketika itu banyak dibantu oleh Ibu Mardiyem, seorang penyintas dari Yogyakarta yang dijadikan 'ianfu' di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
"Pintu masuknya itu ya dari bu Mardiyem. Setelah pengakuan beliau, banyak yang kemudian korban lain yang mengaku," jelas Budi.
Penyintas 'ianfu' yang didata oleh LBH Yogyakarta itu berasal dari Lampung, Jawa, bahkan di Nusa Tenggara Timur. Ada pula yang merupakan orang Belanda.
Sementara itu, Forum Komunikasi eks-Heiho mencatat ada 20.000 orang perempuan yang menjadi korban kekejaman Jepang.
Ketika kesaksian penyintas ianfu ini disampaikan ke publik, Jepang kemudian menawarkan "permintaan maaf dan penyesalan bagi semua orang, yang menderita sakit yang tidak terukur dan luka fisik serta psikologis karena menjadi ianfu".
Dana untuk bangun panti jompo
Jepang kemudian membentuk Asia Women Fund (AWF) - yang diumumkan Menteri Sekretaris Kabinet pada Juni 1995- berdasarkan kesepakatan yang dibuat tiga pihak.
Dalam situsnya, AWF menyebutkan pendirian lembaga ini merupakan bentuk kepedulian, penyesalan dan permintaan maaf terhadap masalah ianfu.
Tetapi di Indonesia, AWF menyebutkan karena pemerintah tidak mengidentifikasikan ianfu, maka pendanaan sebesar 380 juta yen (sekitar Rp24 milliar dengan kurs saat itu) diberikan melalui Kementerian Sosial secara bertahap selama 10 tahun untuk membangun fasilitas 235 panti jompo di seluruh daerah. Selain itu, tiga fasilitas panti jompo juga didirikan melalui organisasi yang bergerak di masalah 'ianfu'.
BBC Indonesia sempat mendatangi sebuah panti yang dibangun dengan menggunakan dana tersebut di Jawa Tengah, tetapi pengelola mengatakan tidak pernah ada penyintas ianfu yang tinggal di sana.
Pendamping 'ianfu' dan mantan Direktur LBH Jakarta, Nursyahbani Katjasungkana, mengatakan ketika itu sikap pemerintah lebih mementingkan hubungan dengan Jepang, tetapi belakangan sudah ada perubahan.
"Pemerintah Indonesia atas lobi di dalam buku Sejarah Nasional Indonesia, ada satu setengah halaman cerita tentang 'ianfu' sebagai bagian dari korban perang," jelas Nursyahbani.
Permintaan maaf
Meski sudah berlangsung selama beberapa dekade, Paini masih mengingat kejadian tersebut.
"Yang sakit di hati saya cuma satu itu, kalau malam sampai tua kayakgini kalau ingat yang satu itu saya tak bisa tidur, hati saya masih sakit itu," ungkap dia.
Untuk melupakannya, Paini menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas di usia lanjutnya, dan tetap bekerja di pertanian tanaman hias.
Paini mengatakan tak pernah menerima permintaan maaf secara langsung.
"Kalau saya berhadapan sendiri saya bisa ngasih maaf. Kalau tak bisa berhadapan tidak bisa ngasih maaf," kata dia. "Apa pernah saya menerima bingkisan dari Jepang? Belum pernah... belum pernah sepeser pun," ungkap Paini.
Sementara Sri Sukanti mengaku pernah mendapatkan dana bantuan dari Kementerian Sosial selama sekitar tiga bulan sekitar enam tahun lalu.
Saat ini dia tinggal di sebuah rumah petak yang terletak di tengah kota Salatiga, Jawa Tengah, bersama dengan suaminya, Mohamad Sidik, ditemani beberapa anjing peliharaannya. Sukanti, yang sebelumnya juga pernah menikah, tidak memiliki anak.
Sumber : http://www.bbc.com/indonesia/majalah-38477024

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

- Berkomentarlah yang sopan dan bijak sesuai isi artikel/ berita;
- Dilarang berkomentar SPAM, SARA, Politik, Provokasi dsb