Drone Penyerang Pangkalan Rusia |
Pada 5 Januari lalu, pangkalan militer Rusia di Suriah diserang oleh 13 pesawat nirawak ( drone).
Rinciannya, 10 pesawat menyerang pangkalan angkatan udara Khmeimim. Sementara sisanya menargetkan pangkalan angkatan laut di Tartus.
Yang membuat militer Rusia terkejut adalah ketika mereka berhasil menangkap lima di antaranya, drone itu tidak seperti yang mereka bayangkan.
Alih-alih menggunakan teknologi canggih, pesawat itu dibuat dengan bahan-bahan yang lazim ditemukan di rumah tangga.
Sayap dengan rentang tiga meter dibuat dari campuran plastik dan kayu. Tenaga pesawat itu berasal dari mesin pemotong rumput.
Setiap unit drone tersebut membawa 10 granat masing-masing di dua sayapnya.
Berdasar laporan dari Kementerian Pertahanan Rusia, drone itu diarahkan via GPS, dan bisa dikendalikan hingga jarak 100 kilometer.
Komponen elektronik yang ada di drone itu bisa ditemukan di toko-toko biasa, dan dan diklaim biaya pembuatannya hanya beberapa ribu dolar Amerika Serikat (AS).
Kehadiran drone itu meneggelamkan pamor pesawat nirawak berteknologi canggih yang dimiliki Rusia seperti Orlan-10.
Sebelumnya, pada Tahun Baru (1/1/2018), Khmeimim juga mendapat serangan yang menghancurkan tujuh pesawat militernya.
Beberapa kelompok seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) juga dilaporkan mampu membuat drone yang mirip dengan Skywalker X8.
Jenis ini bisa menjangkau jarak yang lebih jauh, dan mampu membawa bom yang lebih besar.
Teknologi Murah, tapi Berbahaya
Dibandingkan dengan perangkat militer, teknologi pembuatan drone relatif gampang, dan bisa dijangkau dengan teknologi di masyarakat umum.
Pada 2014, MITRE, sebuah lembaga think-tank keamanan yang berbasis di Virginia AS, mencoba membuat drone rakitan dari bahan yang jamak ditemui sehari-hari.
Hasilnya, mereka berhasil membuat satu unit pesawat nirawak dengan biaya sekitar 2.000 dolar AS, atau sekitar Rp 27,2 juta.
Dilansir situs The Economist Kamis (8/2/2018), biaya untuk membentuk satu skuadron (12-24 pesawat) sama dengan harga granat berpeluncur roket (RPG).
Bandingkan dengan satu pesawat tempur milik AS, F-22, yang diklaim bisa menembus 300 juta dolar AS, atau sekitar Rp 4 triliun.
Meski bisa dirakit dari bahan-bahan rumah tangga, drone tetap menjadi predator yang berbahaya.
Hal itu diakui oleh mantan komandan operasi penumpasan ISIS, Letnan Jenderal Stephen Townsend.
" Drone menjadi ancaman nomor satu yang dihadapi oleh setiap prajurit di medan tempur," ujar Townsend.
Townsend melanjutkan, kehadiran dan perkembangan drone telah mengacaukan industri pertahanan.
Berbagai alat utama sistem persenjataan (alutsista) masa kini tidak didesain untuk menghadapi drone.
Sebab, pesawat nirawak terlalu kecil dan cepat untuk diidentifikasi, dilacak, atau mungkin dihancurkan.
Jamming, atau mengganggu saluran radio antara operator dan drone menjadi satu-satunya cara yang dipakai untuk melumpuhkan pesawat tersebut.
Diberitakan oleh The Economist, militer biasanya memutus saluran radio, atau mengganggu sistem GPS dari drone itu.
Drone Tidak Butuh Operator?
Memutus sinyal antara drone dengan operator saat ini masih menjadi cara ampuh untuk melumpuhkan drone.
Namun, seperti diberitakan The Economist, saat ini berkembang sistem navigasi optik. Yakni membandingkan wilayah dimasuki drone itu dengan pesta yang sudah dipasang di sistemnya.
Jadi, drone itu bisa mengetahui dengan pasti di mana dia berada tanpa batuan operator. Dengan demikian, teknologi untuk mengacaukan GPS menjadi sia-sia.
Pasukan Irak ketika merebut Mosul pernah melontarkan guyonan soal drone ISIS yang mereka lawan.
Mereka mengibaratkan berhadapan dengan drone laksana menghadiri sebuah pesta pernikahan: menembakkan senapan mereka ke udara tanpa hasil.
Karena tidak ada standardisasi mengenai ukuran, drone bisa meluncur dalam berbagai bentuk sehingga makin menyulitkan militer dalam melumpuhkannya.
AS Ciptakan Peralatan Anti-drone
Pentagon mencoba untuk memodifikasi peralatan militernya sehingga bisa menangkal serangan drone.
Di antaranya dengan mengembangkan rudal panggul Stinger varian baru. Di hulu misil dipasang sumbu yang bisa meledak jika berada cukup dekat dengan drone.
Namun, harganya pengembangannya yang relatif mahal, sekitar 55.000 dolar AS, sekitar Rp 748 juta, membuat Raytheon sebagai produsen misil panggul itu baru membuat 1.147 unit.
Itu berarti satu tim infantri hanya bisa membawa dua rudal Stinger. Terlalu sedikit jika berhadapan dengan lebih dari dua drone.
Pendekatan lain yang coba dilakukan militer Negeri "Paman Sam" adalah mengembangkan sistem Pertempuran untuk Menangkal Drone (Blade).
Penerapan dari Blade adalah membangun kubah dengan senapan mesin yang bisa dipandu dengan radar dan komputer.
Meski efektif, namun hal itu belum cukup untuk menangkal jika terjadi serangan drone dalam skala besar.
Karena itu, kini tengah berkembang sebuah teknologi senjata yang menggunakan laser.
Teknologi itu diklaim lebih murah, dengan amunisi tanpa batas, dan kemampuan menghantam target dalam kecepatan cahaya.
Variasi sistem anti-drone itu kini tengah dikembangkan oleh pabrikan senjata. Antara lain Athena yang diproduksi Lockheed Martin, hingga LaWS yang merupakan kreasi angkatan laut AS. (Ardi Priyatno Utomo)
Sumber : http://www.kompas.com/