Ilustrasi |
Bos Komando Strategi Amerika Serikat, Jenderal John Hyten mengungkapkan China dan Rusia saat ini aktif mengembangkan senjata hipersonik, sejenis rudal nuklir yang terbang melesat dengan sangat cepat.
Namun, menurut Hyten, Amerika Serikat belum memiliki senjata nuklir yang mampu menghadapi senjata yang dikembangkan China dan Rusia itu.
"Kami belum memiliki pertahanan yang bisa menghadang senjata yang menyerang kami," kata Hyten, jenderal dari Angkatan Udara Amerika Serikat ini seperti diberitakan CNBC dan dikutip Daily Mail, Rabu, 21 Maret 2018.
Untuk itu, menurut Hyten, Amerika Serikat harus segera melangkah maju untuk membuat senjata nuklir yang mampu menghadang senjata hipersonik China dan Rusia.
Awal pekan ini, Presiden Rusia Vladimir Putin mengungkapkan senjata nuklir tipe baru termasuk rudal hipersonik dan drone berkekuatan nuklir bawah laut.
Pentagon tidak kaget mendengarkan penjelasan Putin tentang senjata barunya itu. Warga Amerika hanya diyakinkan untuk sepenuhnya siap siaga.
Saat rapat dengan Komisi Senat bidang Persenjataan Amerika Serikat pada Selasa, 20 Maret 2018, Hyten mengungkapan Rusia telah meningkatkan pengembangan peluru kendali yang itu artinya mencederai Perjanjian Pengendalian Senjata dalam Perang Dingin.
Amerika Serikat sudah mempublikasikan pelanggaran Rusia atas perjanjian Imtermediate - Range Nuclear Forces Treaty tahun 1987 atau INF Treaty sejak empat tahun lalu.
Dan tahun lalu, pejabat top militer Amerika Serikat mengingatkan bahwa Moscow sudah memulai pengembangan senjata rudal.
Tidak hanya tertinggal soal senjata canggih, Amerika Serikat juga dinilai Lemah dengan kemampuan operasi menyerang dan bertahan dari serangan cyber. Meski, menurut Hyten, Amerika Serikat membuat kemajuan dalam melakukan serangan cyber terhadap musuh-musuhnya di Timur Tengah seperti ISIS.
Sumber : https://www.tempo.co/