Pengamanan Wilayah Udara RI, Tantangan Berat bagi Kemhan dan TNI - Radar Militer

06 Maret 2018

Pengamanan Wilayah Udara RI, Tantangan Berat bagi Kemhan dan TNI

Pesawat Tempur TNI AU
Pesawat Tempur TNI AU 

Pada 13 Februari 2018, Presiden Republik Indonesia menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara Republik Indonesia.
Dengan penandatanganan PP tersebut, maka berakhirlah penantian yang sangat panjang sejak diundangkannya UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Pasal 9 UU Nomor 1 Tahun 2009 memuat, antara lain tentang pengamanan wilayah udara Republik Indonesia. Ternyata, membutuhkan waktu 9 tahun bagi kelahiran PP yang merupakan tindak lanjut dari Pasal 9 UU Nomor 1 Tahun 2009 tersebut.
Dengan penerbitan PP ini, maka setumpuk pekerjaan rumah bagi semua stakeholder penerbangan nasional kini menanti di depan mata.
Banyak ketentuan dan regulasi serta aturan yang masih harus diselesaikan segera agar UU No 1 Tahun 2009 dan PP No 4 2018 ini benar-benar dapat diaplikasikan di lapangan.
Hakikat dari ancaman global di bidang penerbangan adalah tentang terorisme. Pascaperistiwa 911, banyak negara yang kemudian menyempurnakan banyak aturan tentang pengamanan wilayah udaranya masing-masing.
Salah satunya adalah dengan memadukan pengelolaan lalu lintas penerbangan sipil dan militer, yang kemudian belakangan ini dikenal sebagai Civil Military Air Traffic Flow Management System.
Masalah ini memang menjadi sebuah hal yang sangat mengemuka, mengingat rawannya faktor keamanan dan keselamatan penerbangan sipil komersial yang sifatnya sangat terbuka.
Celah yang sangat lebar bagi ruang gerak teroris di lahan penerbangan sipil komersial telah di ]demonstrasikan pada tingkat global di peristiwa 911 di Amerika Serikat pada tahun 2001.
Di Indonesia sendiri, hal tersebut menjadi semakin rawan mengingat kebijakan dalam penerbangan nasional yang berkembang lebih dari 20 tahun belakangan ini selalu berorientasi kepada kepentingan penerbangan sipil komersial semata.
Banyak contoh tentang aspek keamanan dan bahkan pertahanan nasional dalam pengelolaan penerbangan di Indonesia terlihat sebagai diabaikan.
Bagi masyarakat awam, tentu saja akan sangat sulit untuk bisa memahami masalah-masalah pertahanan keamanan negara dalam penyelenggaraan kegiatan penerbangan nasional.
Orientasi dari seluruh pemangku kepentingan memang terfokus pada bagaimana mengembangkan penerbangan nasional dalam konteks penyelenggaraan angkutan udara komersial saja.
Pada ujungnya kemudian terlihat sekali bahwa manajemen penerbangan sipil komersial "hanya" mengejar "slot penerbangan" semata.
Dari orientasi yang seperti itulah, maka kini kita tengah menikmati hasilnya, yaitu betapa padatnya penerbangan.
Tidak hanya di bandara sipil, di pangkalan angkatan udara yang penting dan strategis pun sudah penuh sesak dengan kegiatan penerbangan sipil komersial yang nyaris tumpang tindih antara kepentingan pelaksanaan penerbangan operasional dan latihan Angkatan Udara dengan penerbangan sipil komersial.
Pada titik ini, sangat logis bila kebanyakan pihak akan lebih mementingkan penerbangan sipil komersial yang memang secara nyata terlihat menjanjikan keuntungan finansial dan material bagi banyak orang.
Nah, dengan keluarnya PP No 4 tahun 2018, sebenarnya banyak kalangan diajak untuk melihat masalah yang lebih strategis, yaitu pada faktor pertahanan keamanan negara di samping sekadar faktor mencari keuntungan sesaat dengan mengejar "slot penerbangan".
Pada sisi ini, kita diajak untuk juga membagi perhatian kepada masalah-masalah national security yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Salah satu saja dari apa yang dimuat dalam PP tentang pengamanan wilayah udara kita adalah seperti yang tertuang dalam Bab II tentang Penetapan Status Wilayah Udara dan Kawasan Udara yang antara lain memuat ketentuan sebagai berikut :
Penentuan kawasan udara terbatas (restricted area) sebagaimana meliputi: markas besar Tentara Nasional Indonesia; Pangkalan Udara Tentara Nasional Indonesia; kawasan latihan militer; kawasan operasi militer; kawasan latihan penerbangan militer; kawasan latihan penembakan militer; kawasan peluncuran roket dan satelit; dan ruang udara yang digunakan untuk penerbangan dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang setingkat kepala negara dan/atau kepala pemerintahan.
Masih banyak lagi ketentuan lainnya yang menyangkut tentang pertahanan keamanan negara yang juga berkait dengan penerbangan liar yang selama ini kecenderungannya tidak pernah menurun.
Sebuah hal yang sangat logis, mengingat letak wilayah udara kita yang sangat strategis diantara dua benua dan dua samudera.
Letak dari wilayah udara yang kini tengah berkembang pesat sebagai bagian penting dari wilayah Pasifik yang kesibukannya sebentar lagi menjadi yang paling padat di dunia.
Semoga dengan keluarnya PP ini, dunia penerbangan nasional akan menjadi jauh lebih maju lagi dan berjalan lebih proporsional dari sebelumnya.
Yang penting adalah model penyerangan teroris yang menggunakan fasilitas terbuka pada penyelenggaraan penerbangan sipil komersial hendaknya dapat dicegah jauh sebelumnya, dibanding kita harus kecolongan seperti Amerika Serikat dalam peristiwa 911 yang memakan korban ribuan orang. (Chappy Hakim, KSAU 2002-2015)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

- Berkomentarlah yang sopan dan bijak sesuai isi artikel/ berita;
- Dilarang berkomentar SPAM, SARA, Politik, Provokasi dsb