Boeing 737-2X9 |
Kilas balik ke awal dekade 80-an, jagad pesawat intai maritim strategis di Indonesia pernah mengalami momen keemasan, betapa tidak, pada periode 1982-1983, TNI AU dengan bangga menjadi operator pesawat intai strategis yang tergolong paling canggih di Asia Tenggara. Ya, keberadaan tiga unit Boeing 737-2X9 dengan radar Motorola SLAMMR (Side Looking Airborne Modular Multi Mission Radar) adalah salah satu yang terbaik pada jamannya. Menjadikan kekuatan intai strategis Indonesia cukup disegani di kawasan.
Dengan keberadaan tiga pesawat intai maritim strategis, selain berperan mengumpulkan informasi intelijen, deployment pesawat intai strategis juga mendukung kinerja jet tempur dalam melaksanakan misi patroli udara.
Tapi perlu jadi catatan, usia pesawat intai Boeing 737-2X9 kini telah menua, jika diproyeksikan sampai lima tahun kedepan, maka operasional pesawat twin jet ini sudah masuk ke empat puluh tahun. Bila pada masanya SLAMMR mampu membuat ‘lawan’ penasaran dengan kemampuannya, maka sejak tahun 2003 lalu radar airborne ini sudah out of service. Meski begitu, tiga Camar Skadron Udara 5 ini tak surut dalam tugas dan pengabdiannya.
Walau usia pesawat telah menua, tingkat kesiapan operasional armada Boeing 737-2X9 terbilang tinggi. “Berkat suku cadang yang terjamin, ditunjang perawatan rutin sesuai log book yang telah digariskan, maka kesiapan Boeing 737-2X9 masih sangat baik, bahkan patut disyukuri dengan beban tugas yang tinggi justru tidak pernah dilaporkan adanya accident,” ujar Kolonel Pnb. Benny Arfan, mantan Komandan Skadron Udara 5 Tahun 2012-2013 yang menjadi pembicara dalam Studi Ekskursi Media Tentang Keamanan Maritim di Jakarta (14/5/2018).
Efek deterens berupa radar SLAMMR mungkin telah ditelan jaman, namun serangkaian uprade telah dilakukan untuk menajamkan indra Sang Camar. Dari informasi yang telah di share ke media massa, Boeing 737-2X9 kini dilengkapi sensor berupa kamera resolusi tinggi WESCAM MX-20HD Electro Optical and Infrared (EO/IR) buatan L3 Communications. Sementara atas beberapa pertimbangan, sebagian komponen yang bersifat analog masih tetap dipertahankan.
Pengadaan Pesawat Intai Butuh Waktu Lama
Tidak seperti pengadaan pesawat komersial yang dalam kurun dua sampai tiga tahun setelah kontrak, maka pesawat sudah mulai bisa dikirim ke pembeli. Maka lain hal dengan pengadaan pesawat intai. Walau tampilannya mirip dengan pesawat komersial, ‘jeroan’ perangkat dan sensor yang kompleks membuat proses produksinya butuh waktu tak sebentar. Ditambah lagi, bila komponen sub sistem yang menyertai banyak melibatkan pemasok dari beberapa negara lain.
Sebagai ilustrasi, India mulai melakukan order P-8 Poseidon pada tahun 2002, namun pengiriman perdana dari Boeing baru dilangsungkan pada tahun 2012. Sementara AU Australia mulai mengorder pesawat Boeing E-7A Wedgetail AWACS (Airborne Early Warning and Control System) pada tahun 2001, dan baru tujuh tahun kemudian mulai menerima pesanannya.
Meski pengadaan pesawat intai strategis kalah pamor ketimbang pengadaan pesawat tempur, pesawat angkut dan pesawat tanker. Namun sejatinya pada MEF (Minimum Essential Force) II 2015-2019 sudah sempat diagendakan pengadaan pesawat intai strategis di kelas AEW&C. Namun apa mau dikata, hingga kini belum pernah terdengar ada opsi tender untuk pengadaan pesawat intai mairitim dan AEW&C.
Dari dalam negeri, PT Dirgantara Indonesia memang telah berhasil memasok pesawat intai turbo propeller CN-235 MPA untuk TNI AU dan Puspenerbal TNI AL. Tapi perlu diketahui, CN-235 MPA masuk dalam platform pesawat intai taktis. Sementara untuk kelas pesawat intai strategis belum ada upaya konkret penggantian oleh pemerintah, terlebih dengan kian menuanya usia Boeing 737-2X9 Skadron Udara 5.
Yang perlu menjadi perhatian bersama, jika pengadaan pesawat intai stratagis tak menjadi prioritas saat ini, maka sepuluh tahun kedepan dipastikan kemampuan ISR (Intelligence, Surveillance and Recognition) pada TNI akan lumpuh, pasalnya tak ada lagi pesawat intai yang dapat terbang dan menjalankan fungsinya dengan optimal.
Sebagai penutup, sesuai amanat undang-undang, pengadaan alutsista bernilai strategis seperti di atas tak bisa didatangkan dengan beli bekas atau hibah. Dengan pra syarat ToT (Transfer of Technology) dan keterlibatan industri pertahanan di dalam negeri, maka proses pengadaan dan modernisasi pesawat intai sudah menjadi kebutuhan yang mendesak. (Haryo Adjie)