Hampir sebulan yang lalu, sekembalinya dari Amerika Serikat, wajah Capt. Esther Gayatri Saleh begitu sumringah. Kepala pilot uji PT Dirgantara Indonesia (PTDI) ini sangat bersemangat menceritakan pengalamannya selama berada di maskas perusahaan kedirgantaraan Virgin Galactic yang dimiliki Sir Richard Branson di Mojave Space Port, Kalifornia.
Memang jauh dari glamor dan kemeriahan. Karena persisnya 5 Juni 2019 itu, Esther diundang secara khusus oleh Virgin Galactic untuk menceritakan pengalamannya melakukan first flight pesawat N219.
![]() |
Capt. Esther Gayatri Saleh |
Pun tidak ada tokoh besar atau politikus yang hadir. Esther hanya diminta ‘mendongengkan’ pengalamannya menerbangkan N219 untuk pertama kali di hadapan karyawan Virgin Galactic.
Menurut mereka, kata Eshter kepada angkasa.news, forum ini sangat berharga untuk memotivasi dan mendidik timnya.
“Cita-cita saya semasa SMP jadi astoronot muncul lagi karena diundang perusahaan ruang angkasa,” aku Esther tertawa.
Apakah Esther sudah identik dengan PTDI, seperti ketika kita menyebut air mineral yang terbayang adalah Aqua? “Ini semua proses dan karena campur tangan tuhan,” akunya merendah.
Namun ucapan seniornya yang mengatakan bahwa undangan ke Virgin Galactic adalah bentuk penghargaan terhadap pribadinya, seperti pecut yang selalu menyemangatinya.
“Mereka melihat N219 itu bukan sekadar wahana, tapi siapa the man behind, bagaimana menghadapi first flight karena apapun jenis pesawatnya tetap saja risikonya sama. Bagaimana seseorang menghadapi tekanan bertubi-tubi sebelum first flight dilakukan,” ungkap Esther.
Esther pun berbagi masa lalunya, sebelum sampai ke titik ini menjadi chief test pilot PTDI.
Suatu hari di tahun 2013, Esther merasa begitu kalut dan bingung. Ia dipanggil direktur yang mengabarkan bahwa test pilot yang ada mengundurkan diri, sehingga ia menjadi satu-satunya yang tersisa. Padahal masih ada beberapa pesawat harus dicek dan diserahkan sesuai kontrak.
Esther minta waktu satu hari untuk memikirkannya. Saat itu PTDI terikat kontrak pesawat CN-235 dengan TNI AL. Esther meminta izin direkturnya untuk menemui Komandan Pusat Penerbangan TNI AL guna menyampaikan permasalahan ini. “Saya ingin bicara heart to heart dengan beliau,” katanya.
Terbang ke Surabaya, Esther menemui Danpuspenerbal. Ia bicara hati ke hati, menyampaikan masalah yang terjadi terkait kesiapan test pilot untuk menguji pesawat pesanan TNI AL.
“Saya butuh bantuan. Bapak bisa beri saya pilot bapak yang kriterianya seperti ini,” minta Esther tegas.
Singkat cerita, permintaanya dikabulkan dan Esther pun menerima dua penerbang TNI AL yang ia latih dasar-dasar testing dan kemudian dijadikannya kopilot di CN-235. Merekalah Captain Ervan Gustanto dan Captain Zulda.
“Skill itu tergantung orang yang dididik mau involve tidak dengan testing, harus punya hati. Saya mencari orang yang punya passion. Kalau tidak susah ngajarinnya.”
Esther mengakui tidak mudah mencari test pilot. Karena ini risky job, tidak semua orang bisa, dan dibutuhkan orang berkarakter baik yang tidak penuntut.
“Ini semacam panggilan, kira-kira I want to do this for our country or not, emang pabrik ada berapa sih, PTDI cuma satu,” ujar Esther.
Seiring waktu, program N219 disahkan. Lagi-lagi pertanyaannya, siapa yang akan menerbangkannya. Pada saat itu, PTDI tidak punya pilihan selain Esther, yang pada awalnya tidak masuk hitungan.
Dalam kegalauannya, Esther menerima perintah itu. Ia harus menyiapkan diri dengan mengikuti sekolah test pilot di International Test Pilot School, Kanada pada tahun 2016.
“Saya takut, matematika saya susah, saya kan dari IPS. Beban berat, berangkat kan harus lulus, tapi siapa yang bisa jamin,” kenangnya.
Namun karena sudah berpengalaman dan dinilai cerdas, Esther hanya menjalani sekolah ini dua bulan saja dari semestinya satu tahun.
“Tapi tetap saja ujian matematika jadi momok buat saya,” ucapnya tertawa.
Karena kegigihan dan tekadnya yang kuat, Esther berhasil menyelesaikan sekolahnya dengan hasil maksimal. Ia bahkan lulus dengan predikat Outstanding.
Melihat hasil akhir siswa ini, pemilik sekolah menghampirinya dan menyampaikan sesuatu yang penting. Ia ingin mempromosikan Esther menjadi anggota International Test Pilot Society (ITPS) di Amerika.
Surprise, Esther tidak yakin bisa masuk karena tidak mengantongi ijzah perguruan tinggi. Namun temannya ini menyakinkan, hanya diperlukan rekomendasi dari tiga pilot uji untuk mengajukan seseorang menjadi member.
Di ITPS terdapat 11 member board yang berhak memutuskan apakah seseorang diterima atau tidak.
Lagi-lagi tangan tuhan melindunginya. Sangat mengejutkan, karena Esther diterima secara aklamasi oleh ke-11 dewan pilot itu tanpa keraguan. “Anugerah nggak itu. Saya bilang, diinterview saja sudah senang apalagi masuk,” ucapnya.
Tidak hanya diterima dengan suara bulat, keanggotaannya di ITPS juga berlaku seumur hidup.
“Saya baru tahu dibayarin membership seumur hidup. Dia bilang, kamu saya kasih lifetime membership.”
Sekembalinya ke Indonesia, Esther langsung disibukkan persiapan first flight N219 yang diakuinya sangat menegangkan. Tepatnya 16 Agustus 2017, Capt Esther berhasil menerbangkan untuk pertama kalinya prototipe pertama pesawat N219 twin-turboprop di Bandung.
Tak lama kemudian, Esther menjalani prosesi penerimaan anggota baru The Society of Experimental Test Pilots di The Grand Californian Hotel, Anaheim, Kalifornia pada 20-23 September 2017.
Yang paling membanggakan bagi Esther dan tentunya Indonesia, Capt. Esther menjadi satu-satunya pilot uji perempuan di Asia yang terdaftar di SETP.
Sejatinya pada jelang penerbangan N219 itu, Esther sungguhlah teramat sibuk. Pasalnya disaat bersamaan, ia juga harus memberikan training kepada pilot AU Filipina yang membeli NC-212i.
Terkait pekerjaannya sebagai chief test pilot, boleh dibilang Capt. Esther beruntung karena pernah menerbangkan pesawat yang benar-benar baru, yaitu N219.
Walaupun prosesnya harus ia lewati nyaris ‘seorang diri’ tanpa ada partner untuk diskusi. Karena generasi PTDI terdahulu yang menerbangkan CN-235 dan N250 sudah tidak ada lagi, sehingga tidak ada tempat untuk bertanya.
“Siapa yang bisa mencontohkan terbang perdana itu seperti apa. Karena kamu masuk ke suatu unknown yang mereka (teknisi) juga tidak bisa jamin apakah bisa terbang atau landing. Karena ini benar-benar baru. Walau di atas kertas bagus tapi siapa tahu, ground test pun tidak bisa mewakili,” beber Esther.
Mengaku sempat melihat tayangan first flight di youtube, Esther akhirnya memilih tidak melakukannya karena justru menimbulkan perasaan takut.
“Orang harus dibentuk dengan tantangan, kalau terlalu mudah saya khawatir akan cepat hilang. Saya ingin menjadi part of solution, ketika PTDI tidak ada orang, mungkin kontribusi kecil saya ini akan bermanfaat,” ungkap Cap Esther Gayatri Saleh yang ramah. (Beny Adrian)
Sumber : angkasa.news