Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengunjungi Prancis pada 13 Januari lalu dan bertemu dengan Menhan Prancis, Florence Parly. Saat itu keduanya meneken kerja sama di bidang pertahanan terkait alutsista.
"Prancis dapat menjadi mitra strategis dalam membantu Indonesia memperkuat alutsista TNI serta mengakselerasi pengembangan industri pertahanan nasional. Langkah ini akan mendukung upaya menjadikan industri pertahanan nasional sebagai bagian dari global production chain," kata Prabowo saat itu.
![]() |
Kapal Selam Scorpene Malaysia |
Meski belum dinyatakan secara tegas, ada laporan yang menyatakan Indonesia berminat membeli sejumlah alat utama sistem persenjataan dari Prancis. Mulai dari pesawat tempur, kapal selam hingga kapal perang.
Kendati begitu, Prabowo sampai saat ini juga tidak menegaskan apakah memang akan membeli sejumlah alutsista tersebut.
Negara tetangga, Malaysia, juga pernah membeli alutsista dari Prancis berupa kapal selam. Namun, proyek itu justru berujung skandal.
Bermula dari Altantuya
19 Oktober 2006 menjadi hari terakhir bagi seorang perempuan asal Mongolia, Altantuya Shaariibuu. Dia dihabisi dan jasadnya baru ditemukan tiga pekan kemudian di sebuah hutan di Selangor, Malaysia.
Kisah tragis yang dialami Altantuya sampai saat ini masih menjadi polemik di Negeri Jiran, akibat kaitannya dengan sang mantan perdana menteri Najib Tun Razak. Namun, berawal dari perkara itulah tabir skandal korupsi pembelian kapal selam kelas Scorpene buatan Prancis terkuak.
Perkara itu baru menemukan titik terang dua tahun kemudian. Saat itu hakim menyatakan dua orang terpidana yang merupakan mantan polisi dan eks prajurit pasukan khusus, Azilah Hadridan dan Sirul Azhar Omar, divonis mati. Namun, keduanya mengajukan banding.
Sirul yang masih bebas terbang ke Australia dan ditahan di sana sampai saat ini. Sedangkan Azilah dibui di Malaysia dan sempat mengaku bahwa yang memerintahkan dia membunuh Altantuya adalah Najib, seperti dilansir South China Morning Post.
Kontrak berujung rasuah
Semua bermula pada 1990-an. Saat itu pemerintah Malaysia membuka kontrak pengadaan alat utama sistem persenjataan meliputi pesawat tempur, kendaraan lapis baja dan kapal perang termasuk kapal selam.
Baru pada 2002, Malaysia menyetujui pemesanan dua kapal selam kelas Scorpene dan satu kapal selam kelas Agosta bekas seharga 1,2 miliar Euro (sekitar Rp18,1 triliun) dari perusahaan Direction des Constructions Navales (DCN, kini berganti nama menjadi Naval Group) asal Prancis dan Navantia (Spanyol), seperti dilansir situs Universitas Tufts yang menelaah kasus ini.
Akan tetapi, ternyata dari jumlah itu ada dana siluman yang dikorupsi yang jumlahnya mencapai 146,5 juta Euro (sekitar Rp2,2 triliun).
Sebagian saham DCNS dipegang oleh perusahaan multinasional Thales. Alhasil sebelum perusahaan itu berganti nama, kapal selam pesanan Malaysia dibuat di Prancis dan Spanyol.
Proyek itu ditangani oleh perusahaan asal Malaysia, Perimekar, yang didirikan oleh pengusaha Abdul Razak Baginda. Kejanggalan yang ditemukan adalah perseroan tersebut baru berdiri beberapa bulan sebelum penandatanganan kontrak.
Baginda juga diketahui adalah orang dekat Najib Razak, yang sempat menjadi menteri pertahanan pada 1991 sampai 1995 dan 2000 sampai 2008.
Saham Perimekar juga dipunyai oleh istri Baginda dan perusahaan tersebut tidak berpengalaman menangani kontrak alutsista.
Baginda lantas mempekerjakan Altantuya sebagai penerjemah dalam urusan kontrak kapal selam tersebut. Keduanya juga dilaporkan menjalin hubungan asmara.
Mereka mulai bekerja sama sejak 2004. Namun entah bagaimana, hubungan keduanya mendadak memburuk, kemudian Altantuya dan Baginda berpisah.
Ketika mendengar bahwa Baginda sudah menerima komisi jutaan Euro dari kontrak kapal selam tersebut, Altantuya lantas mendatangi untuk meminta upah yang dianggap belum dibayar. Namun, upaya itu tidak berhasil.
Sampai akhirnya Altantuya diculik ketika hendak naik taksi dari rumah Baginda pada 19 Oktober 2006. Sang sopir lantas mengadu ke polisi setelah mencatat pelat nomor pelaku dan aparat mulai bergerak.
Dari hasil penyelidikan, Altantuya ditembak di kepala sebanyak dua kali, kemudian tubuhnya diledakkan menggunakan bahan peledak khusus militer C-4. Penyidik menyatakan dalam berita acara pemeriksaan bahwa Altantuya sempat meminta ampun supaya dia tidak dibunuh karena sedang hamil.
Polisi menangkap Azilah dan Sirul, lalu keduanya divonis mati pada 2008. Dalam persidangan banding yang digelar pada 2019 lalu, Azilah mengatakan perintah membunuh Altantuya diberikan oleh Najib.
Menurut Azilah, Najib mengatakan Altantuya adalah mata-mata asing dan membahayakan keamanan negara, dan memberikan izin bagi Azilah dan Sirul membunuhnya sambil memperagakan dengan gerakan tangan.
Setelah latar belakang Altantuya dan orang-orang di sekitarnya diketahui, perlahan terungkap soal amis korupsi seputar pembelian kapal selam itu. Penyidik kemudian menemukan laporan keuangan Perimekar yang mencurigakan.
Antara lain transaksi bernilai ratusan juta euro ke perusahaan itu. Di sana tercatat ada sebuah transaksi pembayaran tanpa nama penerima sebesar 2,5 juta euro, yang diduga adalah komisi dari DCNS untuk Najib Razak setelah pembelian kapal selam itu terlaksana.
Dugaan korupsi dalam kontrak penjualan kapal selam itu juga diulas oleh surat kabar Prancis, Liberation, pada 2009. Kelompok pegiat hak sipil Malaysia, SUARAM, mendesak pemerintah mengusut dugaan korupsi di balik kasus pembunuhan Altantuya. Mereka juga mendaftarkan gugatan ke pengadilan Prancis terkait skandal tersebut.
Gayung bersambut, aparat Prancis kemudian menggeledah kantor DCNS pada 2010 atas dugaan suap dalam kontrak penjualan kapal selam tersebut. Mereka menyita sejumlah dokumen yang berkaitan dengan proyek tersebut, yang kemudian diunggah oleh surat kabar Asian Sentinel pada 2012.
Menurut Prancis, Baginda menggunakan jejaring perusahaan cangkang untuk mengalirkan dana suap dari DCNS untuk pejabat pemerintah Malaysia demi meloloskan proyek pembelian kapal selam.
Aparat Prancis lantas menyidik dugaan keterlibatan mantan Presiden DCNS, Dominique Castellan, serta eks Kepala Cabang Asia Thales International, Bernard Baiocco.
Sayang sampai saat ini Najib tetap menyangkal menerima komisi dari proyek tersebut, atau memerintahkan pembunuhan terhadap Altantuya. Sedangkan sangkaan terhadap Baginda juga menguap karena jaksa menyatakan tidak cukup bukti untuk menjeratnya.
Baginda kini bermukim di Inggris. Akan tetapi, setelah Najib lengser dari tampuk kekuasaan, harapan untuk menyidik kasus ini kembali muncul. Terutama setelah jaksa menyatakan kembali mengusut skandal tersebut dua tahun lalu. (ayp/ayp).
Sumber : cnnindonesia.com