radarmiliter.com - Di tengah dampak pandemi (corona) Covid-19 selama setahun terakhir, banyak analis dan pengamat militer China percaya bahwa anggaran pertahanan negara komunis tersebut akan terus meningkat tahun ini. Bahkan, lebih tinggi dari tahun 2020.
Kenaikan anggaran militer itu diprediksi lantaran pertumbuhan ekonomi China yang positif. Termasuk ancaman militer yang dihadapi China dan kebutuhan Negeri Panda untuk mengembangkan kapasitas pertahanan nasionalnya.
Para ekonom dan pakar fiskal, dilansir Global Times, sempat memperkirakan negeri dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu akan mengurangi pengeluaran secara besar-besaran pada tahun ini karena pengetatan anggaran. Ini terjadi setelah mengalami defisit anggaran yang rekor sebesar 3,6% dari PDB (produk domestik bruto) di tahun lalu akibat pandemi.
Ekonom menilai, perekonomian China mulai memimpin pemulihan secara global dalam upaya bangkit dari kejatuhan ekonomi akibat dihantam Covid-19. Beberapa ahli memprediksi tingkat pertumbuhan ekonomi China bisa tumbuh sekitar 7% tahun ini.
Sebagai catatan, pada 18 Januari lalu, China sudah mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi untuk kuartal keempat 2020. Hasilnya pun di luar dugaan. Survei yang dilakukan Reuters menunjukkan bahwa ekonomi China diramal tumbuh 6,1% (yoy, year on year).
Namun kenyataannya China tumbuh lebih tinggi. Pada kuartal terakhir tahun 2020, PDB China mampu tumbuh 6,5% (yoy). Dengan begitu China mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang positif dalam tiga kuartal berturut-turut.
Anggaran Pertahanan
Pada Mei tahun lalu, ketika banyak dari dunia luar tidak yakin tentang situasi keuangan China setelah pukulan besar Covid-19, negara itu masih menetapkan target pertumbuhan anggaran pertahanan sebesar 6,6%. Ini turun dari target pertumbuhan di 2019 sebesar 7,5%.
Hal itu menghasilkan rancangan anggaran 1,268 triliun yuan atau US$ 196,44 miliar (setara dengan Rp 2.750 triliun, kurs Rp 14.000US$). Angka yang melampaui prediksi banyak orang.
Para analis menilai, tahun ini, ekonomi China sedang pulih dan akan memberikan momentum yang lebih kuat untuk pertumbuhan yang stabil dari anggaran pertahanan.
"China adalah satu-satunya negara besar yang mempertahankan pertumbuhan ekonomi positif pada tahun 2020, dan 2021 akan menjadi lebih baik. Sehingga kemungkinan akan menikmati sedikit peningkatan dalam anggaran pertahanannya," kata Li Jie, seorang ahli militer yang berbasis di Beijing.
Mengomentari Li, Song Zhongping, seorang ahli militer Tiongkok dan komentator TV, juga memperkirakan tingkat pertumbuhan yang sedikit lebih cepat. Yakni sekitar 7%, dan setidaknya tidak jauh lebih lambat dari tahun lalu.
Namun, tren kenaikan ini akan bertepatan dengan spiral penurunan anggaran defisit pemerintah. Negara itu menetapkan target defisit anggaran setidaknya 3,6% dari PDB untuk tahun 2020 ketika ekonomi terpukul oleh virus corona.
Untuk menghidupkan kembali ekonomi dari pandemi ini, Mei tahun lalu China berencana menerbitkan obligasi khusus untuk pemulihan virus corona senilai 1 triliun yuan.
"Rekor defisit anggaran di tahun 2020 adalah dampak dari pengaturan darurat sebagai tanggapan terhadap pandemi, yang telah berjalan dengan sendirinya, dan inilah saatnya pemerintah merevisi defisit anggarannya sesuai dengan kebutuhan ekonomi secara normal," kata Lian Ping, Kepala Zhixin Investment Research Institute.
Dengan pertumbuhan PDB China yang menuju rebound yang kuat, pemerintah diperkirakan akan lebih fokus pada pencegahan risiko keuangan dan mengekang leverage secara makroekonomi.
Karenanya, total utang China secara persentase dari PDB kemungkinan akan turun sekitar 2 poin persentase pada tahun ini setelah melonjak 25 poin persentase tahun lalu, menurut Wang Tao, Kepala Ekonom China di UBS.
Dengan sebagian besar kebijakan pajak dan pemotongan biaya berakhir pada akhir 2020, rasio defisit fiskal terhadap PDB diperkirakan turun menjadi 3% atau bahkan lebih rendah tahun ini.
Ye Qing, seorang profesor di Zhongnan University of Economics and Law, Wuhan, menilai bisa China akan mengumumkan target defisit anggaran sebesar 2,5-3% PDB untuk tahun ini. Karena anggaran pemerintah akan kembali ke tingkat sebelum pandemi.
Itu tidak berarti negara itu akan merevisi pengeluaran pertahanannya, kata Ye, mengutip komitmen berkelanjutan dari pemerintah China untuk membangun kapal induk. Rencana ini menjadi salah satu pengeluaran terbesar untuk menopang kekuatan militer China.
Dalam laporan penelitian AVIC Securities yang dipimpin oleh Zhang Chao, pada Juni 2020, menunjukkan pengeluaran anggaran pertahanan China telah meningkat dengan tingkat pertumbuhan gabungan rata-rata sebesar 9,1% antara tahun 2010 dan 2019. Tetapi dibandingkan dengan seluruh ukuran ekonominya yang terus meningkat, beban pertahanan negara tersebut tetap relatif rendah.
Anggaran pertahanan negara menyumbang 1,22% dari PDB pada 2019. Ini lebih rendah daripada Rusia, AS, dan India, tulis AVIC Securities.
China telah mempertahankan anggaran pertahanannya pada sekitar 1,3% dari PDB-nya selama beberapa tahun terakhir, yang jauh di bawah rata-rata tingkat global 2,6% PDB.
Sebab itu Song Zhongping, seorang ahli militer China, menilai anggaran pertahanan China relatif rendah, dan pengeluaran pertahanan atau rasio PDB yang sedikit lebih tinggi dapat lebih mencerminkan kebutuhan China dalam pembangunan ekonomi.
Song mengatakan bahwa China menghadapi ketegangan militer yang tinggi selama setahun terakhir, dan China juga memodernisasi militernya, yang semuanya membutuhkan dana.
Pada tahun lalu, China ditantang oleh provokasi militer berulang kali dari AS, yang mengirim banyak kapal perang dan pesawat tempur untuk pengintaian jarak dekat di wilayah pesisir China dan latihan militer, yang beberapa masuk tanpa izin ke perairan teritorial China di Laut China Selatan.
Kemudian beberapa memasuki Selat Taiwan sebagai dukungan nyata bagi para separatis Taiwan di Pulau Taiwan yang telah berkali-kali ditopang dengan penjualan senjata canggih AS termasuk, dan ditambah dengan pengiriman pejabat tinggi AS ke pulau itu.
Di barat daya, India sekali lagi secara provokatif memicu kebuntuan militer selama berbulan-bulan dengan China termasuk bentrokan fatal yang memakan korban di kedua sisi.
Song mengatakan China terus menghadapi ancaman eksternal, dan kemungkinan tetap menghadapi ancaman di beberapa titik panas yang berpotensi menjadi konflik, sehingga membutuhkan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan tempurnya yang komprehensif, yang membutuhkan investasi.
Li Jie, seorang ahli militer yang berbasis di Beijing mengatakan bahwa Presiden AS Joe Biden kemungkinan akan menggunakan strategi pemerintahan sebelumnya yakni era Barrack Obama di kawasan itu untuk menjadi referensi dan terus menekan China dari laut, mencoba mengumpulkan sekutu.
"Laut China Selatan, Selat Taiwan, dan Kepulauan Diaoyu semuanya akan tetap menjadi titik api bagi keamanan maritim," kata Li.
Keduanya menilai potensi konflik-konflik ini membutuhkan pasokan senjata lebih banyak dan peralatan baru, yang semuanya membutuhkan dana.
Peng Huagang, juru bicara Komisi Pengawasan dan Administrasi Aset Milik Negara China (SASAC, China's State-owned Assets Supervision and Administration Commission), dikutip kanto berita Xinhua, mengatakan pada konferensi pers pada Selasa bahwa untuk langkah selanjutnya, SASAC akan memperluas investasi dalam pertahanan nasional dan industri senjata.
Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (Stockholm International Peace Research Institute/SIPRI)) memperkirakan China menghabiskan US$ 261 miliar atau setara Rp 3.654 triliun untuk belanja militernya pada 2019.
Adapun Amerika Serikat menghabiskan belanja militer US$ 732 miliar atau setara Rp 10.248 triliun, atau sekitar 3,4% dari PDB pada tahun 2019. Belanja militer AS menyumbang 38% dari pengeluaran militer global.
Peningkatan belanja AS pada 2019 setara dengan keseluruhan belanja militer Jerman pada tahun itu. "Pertumbuhan baru-baru ini dalam pengeluaran militer AS sebagian besar didasarkan pada persepsi kembalinya persaingan antara kekuatan-kekuatan besar," kata Pieter D. Wezeman, Peneliti Senior di SIPRI, dilansir situs resminya.
Sebagai catatan, SIPRI mengungkapkan total pengeluaran militer global naik menjadi US$ 1.917 miliar pada 2019. Total untuk belanja militer di 2019 itu naik 3,6% dari 2018 dan pertumbuhan tahunan terbesar sejak 2010.
Lima pembelanja terbesar pada 2019, yang menyumbang 62% dari pengeluaran belanja militer global adalah AS, China, India, Rusia dan Arab Saudi. Ini adalah pertama kalinya dua negara Asia tampil di antara tiga negara pemboros anggaran militer teratas.
Sumber : cnbcindonesia.com