Tindak Pidana Terorisme |
Pemerintah memutuskan mengambil opsi merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, revisi tersebut akan memberikan tambahan kewenangan pada Kepolisian melakukan pencegahan tindak pidana terorisme.
Menurut Yasonna, dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo, sempat terjadi perdebatan soal lembaga mana yang akan mendapat perluasan kewenangan. Akhirnya, disepakati institusi yang mendapat perluasan kewenangan adalah Polri.
"Arahan Pak Presiden ya kalau penegakan hukum kan tetap pada polisi, Badan Intelijen Negara (BIN) tidak," ujarnya usai mengikuti rapat terbatas di Kantor Presiden, Kamis (21/1).
Arahan Presiden tersebut, menurut Yasonna, juga diperkuat dengan argumen dari Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang mengibaratkan BIN sebagai mata dan telinga Presiden.
Dengan demikian, setiap informasi yang didapat intelijen akan diteruskan pada Polri dan Kejaksaan. Lagipula, sambung Menkumham, tugas dan kewenangan BIN sudah diatur dalam UU sendiri. Sementara, yang saat ini tengah dibahas adalah revisi UU Terorisme.
Adapun poin-poin revisi antara lain polisi dapat melakukan penahanan sementara pada terduga teroris untuk waktu yang lebih lama. Yasonna menyebut, masa penahanan sementara akan diperpanjang dari yang semula tiga hari menjadi satu pekan.
Masa penahanan sementara ini dapat digunakan Polri untuk menggali informasi dari terduga teroris terkait tindakan mereka yang dianggap sudah mengancam keamanan negara.
Selain itu, pemerintah juga akan mempermudah izin bagi polisi dalam melakukan penahanan sementara tersebut. Dalam UU yang berlaku saat ini, penahanan sementara baru boleh dilakukan apabila sudah ada izin dari kepala pengadilan negeri. Syarat itu rencananya akan diubah sehingga hanya perlu izin dari hakim pengadilan.
"Akan kita bicarakan cukup hakim misalnya untuk mengajukan permohonan izin supaya cepat. Tapi tetap kita mengedepankan prinsip praduga tak bersalah," kata Yasonna menegaskan.
Kendati begitu, Yasonna menyebut poin-poin revisi itu belum final. Masih perlu pembahasan lebih dalam sebelum diajukan pada DPR.
Anggota DPR : BIN Seperti tak Dianggap
Anggota Komisi I DPR RI Supiadin AS mengatakan sebaiknya Badan Intelijen Negara (BIN) dan Polri lebih berkoordinasi dalam menangani kasus-kasus terorisme.
"Koordinasi BIN dan Polri, jangan ada ego sektoral," kata Supiadin di Jakarta, Kamis (21/1).
Ia menilai saat ini koordinasi BIN dan Polri belum optimal melihat ada ego masing-masing di kepolisian maupun intelijen. "Saya melihat BIN mencari informasi, tetapi polisi juga menangkap teroris berdasarkan informasinya sendiri, BIN jadi seperti tidak dianggap," ujar Supiadin.
Ia berpendapat memperbaiki koordinasi antara BIN dan Polri dinilai lebih baik ketimbang memberikan kewenangan BIN untuk menangkap terduga teroris. Namun Supiadin mengatakan DPR memberikan kesempatan kepada BIN dan pemerintah untuk merancang konsep revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara yang kemudian diteliti oleh Komisi I DPR.
"Kita lihat dulu konsepnya secara teknis seperti apa. Belum tentu juga setuju. Bisa iya bisa tidak," kata Supiadin.
Ia juga menilai kinerja BIN sudah cukup baik dengan memberikan informasi-informasi rahasia, hanya koordinasinya yang belum pas. Politikus Partai Nasdem itu mengatakan pencegahan dan deteksi dini tindak pidana terorisme juga harus melibatkan peran pemerintah daerah, organisasi masyarakat, dan tokoh agama.
Sumber : http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/01/21/o1b0cz365-hasil-rapat-terbatas-revisi-uu-perluas-kewenangan-polri