Doktrin Jet Tempur |
Amerika Serikat dan pasukan koalisinya hanya butuh 20 hari untuk menguasai Baghdad, ibu kota Irak menandai awal kejatuhan Saddam Hussein. Kunci penguasaan Koalisi AS atas Irak ada pada serangan udara.
Invasi AS dimulai dengan serangan udara ke Istana Kepresidenan Baghdad, 20 Maret 2003. Selanjutnya, Kolisi AS melancarkan serangan udara besar-besaran ke seluruh Irak, membuat balatentara Saddam Hussein kocar-kacir dan tak dapat melawan balik.
Dua puluh hari kemudian, 9 April, pasukan darat Koalisi AS dengan mudah memasuki jantung Baghdad, dan segera mengalahkan tentara Irak yang ada di kota itu.
“Dalam perang modern, wilayah udara adalah yang pertama kali diserbu dan dikuasai. Wilayah udara Irak dikuasai Amerika dalam satu hari, dan dalam seminggu kekuatan darat, laut, dan udara Irak hilang semua,” kata Andi Alisjahbana, Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Dirgantara Indonesia, mengisahkan kembali pertempuran AS-Irak.
“Saat itu pesawat-pesawat Irak tak ada yang bisa terbang, dan 3.000 tanknya di darat serta semua kapalnya habis semua ditembaki dari udara oleh Amerika,” ujar Andi.
Maka jika wilayah udara suatu negara telah dikuasai, sekalipun di darat dan laut ada tentara, akan sulit sekali bagi negara itu untuk mempertahankan diri.
Kedaulatan udara, kata Andi, bukan persoalan main-main. Oleh sebab itu, menurutnya, Indonesia perlu sekali bekerja bersama Korea Selatan mengembangkan Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X).
Andi berpendapat pesawat tempur yang dimiliki Indonesia masih amat kurang meski mencapai 100 unit dalam berbagai varian. Jumlah itu tak sebanding dengan cakupan luas wilayah darat dan laut Indonesia yang totalnya lebih dari 5 juta kilometer persegi.
Dibanding Singapura, kekuatan udara Republik Indonesia bisa dibilang tak ada apa-apanya. “Singapura itu negara kecil, tapi pesawat tempurnya lebih banyak dari Indonesia. Di sisi lain, Singapura tak memiliki kekuatan darat dan laut yang besar. Dia memang menekankan pada Angkatan Udara yang besar,” kata Andi.
Pembangunan kekuatan tempur suatu negara tergantung pada doktrin negara itu. “Singapura misal berpikir bagaimana seandainya dia mesti bertempur. Mau bertempur di darat, toh negaranya cuma sepulau kecil itu, banyak penduduknya akan langsung jadi korban. Jadi dia harus menang di udara,” ujar Andi.
Andi menekankan, doktrin tempur itu amat penting dan tak boleh dilupakan. “Harus menang di udara pada pertempuran pertama sehingga darat bisa dipertahankan. Itu mutlak.”
Lima pilot TNI AU disiapkan
TNI Angkatan Udara turut dilibatkan dalam proyek KF-X/IF-X yang pengerjaannya dipusatkan di Sacheon, Korea Selatan –kota yang menjadi markas Korea Aerospace Industries.
Sejak fase awal, yakni pengembangan teknologi KF-X/IF-X, sejumlah personel TNI AU ikut mendesain bentuk pesawat dan menyatukan doktrin militer dengan angkatan bersenjata Korea Selatan sampai tingkat tertentu.
TNI AU dilibatkan penuh karena KF-X/IF-X terang dibuat untuk memenuhi kebutuhan armada tempur mereka. Nantinya akan ada sekitar 50 unit pesawat KF-X/IF-X yang digunakan TNI AU.
TNI AU juga menyiapkan lima orang pilot untuk menguji terbang KF-X/IF-X. Usai prototipe pesawat rampung dibuat pada 2019, KF-X/IF-X akan diuji terbang di Korea Selatan dan Indonesia sebelum memasuki proses produksi yang direncanakan dimulai tahun 2020.
“Uji terbang pesawat tempur akan butuh waktu lama. Tak bisa dilakukan sembarang pilot. Jadi lima penerbang muda TNI AU disekolahkan S1 Teknik Penerbangan ITB supaya mereka bisa melakukan test flight dengan baik,” kata Andi.
Kelima penerbang muda itu saat ini pun sudah bisa menerbangkan pesawat-pesawat buatan Korea Selatan, yakni pesawat latih dasar KT-1 Wong Bee dan jet tempur ringan T-50 Golden Eagle yang memang dimiliki TNI AU masing-masing satu skuadron.
Kebutuhan-kebutuhan TNI AU juga diakomodasi dalam KF-X/IF-X. Contohnya, AU butuh pesawat tempur yang bisa mendarat di landasan pacu pendek daerah mana pun mengingat wilayah Indonesia yang amat luas.
Soal jenis KF-X/IF-X yang dirancang menjadi pesawat tempur canggih generasi 4,5 di atas F-16 Fighting Falcon, Eurofighter Typhoon, Dassault Rafale, atau Sukhoi Su-30 yang masuk generasi 4, Andi menyebut kecanggihan bukan segalanya.
Selain teknologi pesawat, ujar Andi, ada sejumlah hal lain yang tak kalah penting, antara lain doktrin tempur, strategi berdasarkan letak geografis, atau cuaca di udara.
“Yang utama, Indonesia harus punya pesawat dengan doktrin tempur yang dimiliki TNI AU, seperti Amerika mendesain F-16 berdasarkan doktrin tempur dia, dan Perancis merancang Rafale untuk dia sendiri.
TNI AU, melalui Kepala Dinas Penerangan Marsekal Pertama Dwi Badarmanto, berharap KF-X/IF-X akan terwujud dan menjadi kebanggaan Indonesia di masa depan.
Pakar pertahanan dari Universitas Indonesia, Connie Rahakundini, mengingatkan agar KF-X/IF-X tak menjadi euforia sesaat. Tak kalah penting, ujarnya, doktrin dan orientasi pertahanan Indonesia juga mesti dibangun seiring penguatan industri pertahanan.
Sumber :