Milad ke-80 Habibie, Mr. Crack Pencerah Industri Manufaktur Pesawat - Radar Militer

26 Juni 2016

Milad ke-80 Habibie, Mr. Crack Pencerah Industri Manufaktur Pesawat

Mr. Crack BJ Habibie
Mr. Crack BJ Habibie
Produsen pesawat komersial yang berbasis di Prancis, Airbus, pernah merilis data statistik kecelakaan pesawat yang terjadi dalam rentang waktu 1958 hingga 2013.
Laporan tersebut menyebutkan, sejak ditemukannya pesawat jet pada dekade 1950-an, angka kecelakaan yang diakibatkan oleh kegagalan mesin atau kerusakan pada manufaktur pesawat semakin menurun hingga kini.
Di awal penemuan pesawat jet untuk komersial, rata-rata kecelakaan pesawat mencapai 12 kejadian per satu juta penerbangan. Angkanya membaik pada 1965 di mana angka kecelakaan pesawat menjadi dua sampai tiga kejadian untuk satu juta penerbangan.
Sedangkan pada 1980, angkanya mengecil menjadi satu kejadian dan semakin berkurang pada kurun 1990 sampai 2013 dengan jumlah kecelakaan hanya berkisar di angka nol hingga satu kecelakaan per satu juta penerbangan.
Kompetitor Airbus, produsen pesawat asal Amerika Serikat yakni Boeing, juga merilis laporan yang sama. Hasilnya serupa dengan catatan oleh Airbus bahwa angka kecelakaan pesawat mengecil setiap tahunnya.
Boeing melaporkan, dalam rentang waktu 1959 hingga 2004 terdapat 501 kecelakaan fatal yang dibarengi dengan hilangnya tenaga secara mendadak di bagian mesin. Dalam kurun yang sama juga tercatat ada 457 kejadian hilangnya tenaga mesin, tanpa diikuti dengan kecelakaan fatal.
Sebagai perbandingan, untuk rentang waktu 2005 hingga 2014, Boeing melaporkan penurunan angka kecelakaan yang cukup drastis. Dalam kurun waktu tersebut, 'hanya' terdapat 62 kecelakaan pesawat.
Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Dirgantara Indonesia (PT DI), Andi Alisjahbana menyebutkan, penurunan angka kecelakaan pesawat didorong oleh pembuatan pesawat yang lebih canggih dengan perhitungan-perhitungan yang lebih akurat dalam menyempurnakan penggunaan material pesawat.
Satu temuan yang berhasil mendorong penyempurnaan pembuatan pesawat yang lebih aman, adalah buah pemikiran pemuda Indonesia yang pada 1970-an sedang menempuh pendidikan di Aachen, Jerman. Ia adalah Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, mahasiswa Universitas Aachen.
Pada tahun 1971, Habibie mempresentasikan sebuah penelitiannya yang bertajuk "Eine Berechnungsmethode zum Voraussagen des Fortschritts von Rissen". Laporan itu menjabarkan perhitungan untuk memprediksi perambatan retakan pada material pesawat.
Andi menilai, temuan Habibie saat itu tergolong hal baru yang kemudian memacu penyempurnaan pembuatan material pesawat terbang serta meningkatkan perhatian atas faktor keselamatan. Habibie menemukan satu cara yang sebelumnya masih misterius untuk memprediksi umur material pesawat yang berpotensi mengalami 'kegagalan' material akibat adanya retakan atau crack.
Andi mengungkapkan, sebagai tenaga ahli pada perusahaan dirgantara Jerman, yakni Messerschmitt-Bölkow-Blohm, Habibie kala itu mencoba kritis untuk mencari jalan keluar atas kebingungan yang sempat melanda industri pesawat dunia. Atas temuan ini, tokoh kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan ini mendapat julukan Mr. Crack.
Era 1950-an hingga 1970-an adalah periode penyempurnaan dan penciptaan pesawat terbang setelah pemanfaatan material yang lebih ringan, yakni alumunium. Namun, ada kelemahan yang dimiliki jenis material ini: retakan yang kerap muncul akibat pembebanan pada saat pesawat lepas landas dan gaya angkat di udara. Itulah yang menyebabkan tingginya jumlah kecelakaan pesawat sebelum dekade 1960 dan 1970.
Habibie dinilai memiliki kontribusi besar dalam merancang perhitungan yang cukup akurat untuk memprediksi asal titik retakan dan ke arah mana retakan di pesawat merambat. Perhitungan ini sangat membantu dalam perawatan pesawat sehingga operator pesawat tahu kapan pesawat harus dilakukan perbaikan.
"Sebelum ada perhitungan ini, karena kita tak tahu ke mana retakan merambat, agar aman material pesawat seluruhnya dibuat tebal. Hal ini membuat pesawat jadi berat. Setelah temuan ini, penebalan material hanya dilakukan di titik yang berpotensi retak. Pesawat lebih ringan jadinya," kata Andi, Senin (20/6).
Habibie juga menyebutkan, upaya Habibie ini mendorong desain pesawat yang lebih aman. Alasannya, sebelumnya problem soal crack ini cukup memusingkan para insinyur penerbangan.
Retakan yang terjadi biasanya berukuran mikro, lebih halus dari rambut manusia. Hanya saja, ketika retakan semakin lebar dan merambat semakin luas akibat siklus penerbangan pesawat, maka hal kecil ini bisa beriakibat pada kecelakaan pesawat.
"Orang ketika merancang satu desain, dia bisa prediksi desain ini aman tidak terhadap crack. Memang pesawatnya anggaplah belum jadi, tapi kan saat mendesain lebih aman. Makanya berharga sekali pengetahuannya," kata Andi.
"Anda mesti lihat ada berapa artikel yang bilang bahwa sebelum tahun 1960-an jumlah pesawat terbang yang jatuh karena kegagalan sayap, berarti kan ada crack dan patah. Itu banyak, sehabis tahun 1960-an setelah Habibie crack, memang hampir enggak ada."
Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) Insitut Teknologi Bandung (ITB), Ichsan Setya Putra menyebutkan, temuan Habibie terus mengalami penyempurnaan hingga kini. Meski teori Crack Propagation yang ditemukan Habibie tidak secara kontinyu digunakan dalam industri penerbangan masa kini, Ichsan menganggap ide itu mengilhami banyak penemuan berikutnya.
Ia menjelaskan, sejak perhitungan retakan ditemukan, produsen pesawat bisa memprediksi umur material sampai mengalami luasan rekahan yang berbahaya. "Nah Pak Habibie prediksi umur sampai berapa flight lagi sih si pesawat ini bisa terbang karena ada retak tersebut. Pak Habibie bikin model prediksi umur perambatan retak pada struktur pesawat terbang. Waktu itu memang teori atau model waktu itu cukup baru," katanya.
Pembahasan mengenai retakan pada pesawat ini sebetulnya telah dimulai pasca-PD II (Perang Dunia II), ketika material pembuatan pesawat telah banyak beralih dari kayu ke logam sepenuhnya. Sementara penggunaan alumunium berisiko menciptakan retakan pada pesawat yang berujung kecelakaan.
Peneliti dari Qinetiq Ltd di Inggris, J. Findlay dan N. D. Harrison menjelaskan dalam jurnal Elvesier pada 2002 bahwa retakan salah satunya dipicu oleh pembebanan secara berulang saat pesawat sedang mengudara. Hal ini membuat sayap dan badan pesawat mengalami 'kelelahan', khususnya pada bagian penghubung antara sayap dan badan pesawat.
Dari jurnal ini, terlihat bahwa pemikiran Habibie telah melampaui zamannya dengan menemukan Crack Propagation Theory. Bahkan dalam jurnal tersebut juga disebutkan bahwa 'kelelahan' pada pesawat menduduki peringkat teratas, yakni 55 persen, yang menyumbang kegagalan mekanis pada pesawat selain korosi dan kelebihan beban pesawat.

Dirgantara Indonesia, IMF, dan Impian Habibie

Indonesia pernah mengalami kemajuan pesat dalam sektor industri penerbangan di tangan Bacharuddin Jusuf Habibie. Kepada penulis salah satu 'Anak Intelektual' Habibie, Jusman Syafii Djamal, membeberkan segudang raihan hebat yang dicapai mantan presiden Republik Indonesia tersebut.
Jusman, yang telah bahu membahu bersama Habibie membangun dan mengelola industri dirgantara nasional selama 15 tahun, menilai sukar mencari pengganti sepadan seperti Habibie.
"Kalau Pak Habibie yang saya kenal itu ahli konstruksi ringan, ada yang disebut kelelahan logam yang bisa timbulkan keretakan, atau crack. Beliau menemukan suatu metode yang belum pernah ditemukan orang lain. Beliau disebut Mister Crack, ahli perambatan keretakan pesawat," ujar Jusman di kantornya, Jalan Kebon Sirih No. 44, Jakarta Pusat, Kamis (16/6).
Atas penemuannya ini, Habibie kerap diundang menjadi pembicara di luar negeri, seperti Jerman, Jepang, bahkan menjadi semacam expert (ahli) di North Atlantic Treaty Organization (NATO) atau Pakta Pertahanan Atlantik Utara.
"Reputasi beliau dalam bidang teknologi maju itu diakui oleh internasional," ungkapnya.
Sumbangsih Habibie untuk bangsa tentu tak kalah hebatnya. Saking banyaknya, Jusman bahkan bingung menyebutkan apa saja yang telah diberikan Habibie bagi Indonesia. "Saya kira sumbangannya kalau satu-satu susah," terangnya.
Mantan Menteri Perhubungan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu akhirnya menyebut salah satu sumbangsih besar Habibie bagi negeri, ialah pendirian Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
"Paling besar ialah mendirikan IPTN, dan membuktikan selama 20 tahun bangsa Indonesia bisa menguasai teknologi dirgantara," katanya. Belum pernah ada sebelumnya, kata Jusman, orang Indonesia yang membangun dan mengembangkan industri dirgantara yang memenuhi standar internasional seperti dilakukan Habibie.
Sumbangan kedua Habibie yang terbesar adalah di dalam policy tentang penguasaan teknologi maju dengan mendirikan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Peralihan IPTN menjadi Dirgantara Indonesia (DI) pada tahun 2000 memunculkan harapan bangkitnya kembali industri penerbangan yang sempat 'mati suri' usai terjangan krisis pada 1998. Karena itu juga, industri penerbangan cukup lama 'tertidur' usai ditinggal Habibie. "Karena memang enggak ada yang bisa menggantikan Pak Habibie," kata dia.
Saat itu, Habibie diangkat menjadi wakil presiden dan kemudian menjadi presiden pengganti Suharto yang mengundurkan diri.
Ia menilai, kejatuhan IPTN bukan lantaran faktor teknologi, melainkan kehilangan sosok pemimpin sejati seperti Habibie. Dalam memimpin industri seperti pesawat terbang yang memiliki kompleksitas tinggi diperlukan keahlian manajemen dan orang sekaliber Habibie.
"Kenapa sekarang merosot, karena enggak ada Pak Habibie, simpel saja," begitu pria yang pernah menjadi Ketua Tim Implementasi Restrukturisasi IPTN itu menggambarkan.
Ia bukan meragukan kualitas anak-anak Indonesia, bahkan menurutnya banyak orang Indonesia yang lebih pintar dan jenius dari Habibie. Namun hal itu saja belum cukup. Orang yang punya talenta, kemampuan, dan jenius dalam bidang mengelola industri dirgantara sampai sekarang hanya Habibie.
Jusman meyakini, dengan kemajuan teknologi dalam lima tahun hingga sepuluh tahun mendatang, bukan mustahil akan ada 'Habibie-Habibie' baru yang akan membawa nama bangsa ke dunia Internasional.
Ada sebuah filsafat yang dipakai Habibie ketika ingin menguasai teknologi maju. Pada 1974, Habibie menanam benih tentang tata cara penguasaan teknologi maju dengan menggunakan filsafat; dengan bermulai dari akhir dan berakhirnya di awal. "Maksudnya bermulainya dari kebutuhan pasar, berakhirnya dari riset dan pengembangan teknologi, harus ada program yang sistematis," kata Jusman.
Menurut Habibie, untuk dapat menguasai industri teknologi maju harus dilakukan dengan program yang jelas dan sistematis, tidak bisa dengan acak-acakkan. Namun kendala terbesar datang dari sektor sumber daya manusia (SDM) maju dalam jumlah tertentu. (Perjuangan Habibie Hingga N250 Mengudara di Indonesia).
Dengan tekadnya, Habibie berhasil mendapatkan SDM tersebut. Dia menyekolahkan banyak ahli ke luar negeri dengan beasiswa. Habibie memadukan program teknologi maju secara sistematis dengan kehadiran SDM maju yang juga mencukupi. Inilah yang belum bisa dicapai para penerusnya. "Yang lain ada, tapi jumlahnya enggak cukup untuk melahirkan inovasi."
Jusman memandang Habibie sebagai sosok pemimpin yang lengkap, di mana memiliki kapasitas manajemen iptek, manajemen finansial, dan manajemen inovasi yang baik. "Beliau komplit,"katanya.
Saat ini, Habibie banyak berharap kepada Jusman agar industri dirgantara nasional kembali bangkit. Meski Habibie dan Jusman juga memiliki penyesalan tersendiri di masa silam. Saat industri dirgantara harus dihentikan atas tekanan dari berbagai hal.
"Kita kadang-kadang juga menyesali kenapa ada krisis ekonomi 97-98. Mengapa juga IMF membatalkan semua program yang telah dirancang 20 tahun. Kita sudah pada ujung keberhasilan, tapi krisis melanda seolah-olah kita kaya kena Tsunami," kata dia.
Jusman mengatakan, untuk kembali bangkit, Habibie menilai perlu memulai segalanya dari awal. Meski sudah banyak pesaing, namun keyakinan untuk bangkit serta dorongan pemerintah diyakini mampu membuat DI kembali berjaya. Sebab, tidak akan mungkin menguasai industri teknologi tinggi seperti dirgantara, kalau pemerintahnya tidak mendampingi.
Menurut Jusman, subsidi pemerintah untuk membuat proyek dirgantara akan mampu mengakomodir kemampuan anak-anak Indonesia yang memiliki kemampuan hebat di sektor tersebut. "Karena anak-anak muda yang pintar pintar ke luar negeri, dia mesti punya lapangan pekerjaan dalam bidang keahliannya, dan itu enggak mungkin kalau kita enggak membuat proyek atau produk-produksi barang," tuturnya.
Kemajuan secara bertahap bisa dimulai dengan menjadi pemasok komponen pesawat terbang atau mata rantai dari pabrik besar seperti Airbus hingga Boeing. Pengalaman Jusman memimpin proyek pesawat N-250 menunjukan insinyur-insinyur lndonesia mempunyai kecepatan dan daya belajar yang sangat tinggi.
Bahkan, para insinyur lokal hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari enam bulan dibimbing tenaga ahli dari luar negeri untuk bisa menguasai semuanya. "Kita bisa jadi bangsa produsen, itu yang jadi impiannya beliau (Habibie). Kalau ketemu, itu selalu yang kita bicarakan," katanya.
Habibie juga sangat senang dengan generasi muda yang mau datang kepadanya untuk menimba ilmu demi kemajuan dirgantara nasional. "Beliau semangat sekali, tapi tidak mungkin terjun lagi memimpin proyek pesawat terbang. Yang paling benar, generasi muda datang ke beliau belajar banyak, pasti senang sekali."
Sumber : http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/06/24/o98ttn361-habibie-mr-crack-pencerah-industri-manufaktur-pesawat
← kembali lanjut baca →

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

- Berkomentarlah yang sopan dan bijak sesuai isi artikel/ berita;
- Dilarang berkomentar SPAM, SARA, Politik, Provokasi dsb