AV8 Gempita, Kemandirian Industri Pertahanan Cara Malaysia - Radar Militer

02 Juli 2016

AV8 Gempita, Kemandirian Industri Pertahanan Cara Malaysia

AV8 Gempita Malaysia
AV8 Gempita Malaysia

Apa jadinya jika produk alutsista yang dilisensi ternyata pada gilirannya justru tidak didesain sendiri oleh pembuatnya? Untuk kendaraan tempur, ini mungkin hanya dapat ditemui pada AV8 Gempita yang sekarang merupakan kendaraan tempur terbaru Malaysia.
Apa pasal? AV81 ternyata merupakan turunan kedua dari produk asli. Walaupun mengadopsi desain FNSS PARS, rupa-rupanya bukan perusahaan Turki tersebut yang mendesainnya. Ternyata setelah ditelisik, FNSS PARS sebagai pemberi lisensi rupanya tidak asli-asli benar. PARS sendiri rupanya juga mengambil lisensi dari ranpur lain. Tidak tanggung-tanggung, Turki meminta desain yang dibuat oleh perusahaan swasta Amerika Serikat bernama GPV (General Purpose Vehicles) yang bermarkas di New Haven, Michigan. GPV memang mendesain sejumlah kendaraan khusus dengan bermacam platform.
Nah, FNSS rupanya sangat kesengsem dengan produk GPV model 6×6 dan 8×8. Buat mereka, akuisisi model yang sudah ada di pasaran atau yang dikenal dengan COTS (Commercial Off The Shelf) adalah sah-sah saja. Selebihnya tinggal dikembangkan untuk kebutuhan militer, menjadi MCOTS (Militerized Commercial Off The Shelf) Waktu pengembangan bisa dipotong, fulus bisa lebih banyak di kantong, begitulah kira-kira alasannya. GPV menamai model 6×6 dengan model Captain, sementara 8×8 dinamai Colonel.
Kenapa FNSS kepincut dengan model GPV Colonel 8×8 sebenarnya amat mudah diterka. Maklum, bentuknya sangat futuristik. Colonel menawarkan desain yang lapang, nyaman, dan mobilitas tinggi. Sebagai contoh, jika desain klasik ranpur beroda Barat menggunakan model pengemudi yang tertutup (dapat dilihat pada LAV, Pandur, Boxer, VBCI) , sementara model blok Timur menggunakan ranpur beroda dengan kompartemen pengemudi yang terlalu terbuka (desain keluarga BTR), Colonel berhasil menemukan jalan tengah yang merupakan kompromi desain terbaik.
Kompartemen depan untuk pengemudi dibuat bak kokpit, dengan periskop berjajar di sekeliling mata pengemudi dan mencakup area 180 derajat. Mudah bagi pengemudi untuk melihat ke arah luar, tanpa perlu takut terkena tembakan. Periskopnya anti peluru, tentu lebih baik dibanding kaca besar anti peluru pada BTR karena bidang luasannya lebih kecil sehingga resiko ditembak juga lebih rendah. Kalau periskop dirasa kurang luas, pengemudi diberikan fasilitas kamera sebanyak empat buah kamera termal dan empat buah kamera normal, yang ditampilkan pada dua display besar di konsol kemudi. Sistem navigasi GPS sudah menjadi standar pula pada Colonel, sehingga mudah menentukan rute. Untuk mendiagnosa kondisi kendaraan, disediakan ODP (Overhead Display Panel) yang dilengkapi dengan lampu-lampu indikator, sehingga mudah menemukan komponen mana yang perlu diganti dan diperbaiki.
Di belakang pengemudi terletak kompartemen mesin, dimana GPV memasang mesin Caterpillar C7 berdaya 350hp yang sudah menerapkan sistem powerpack yang mudah diangkat dan dikeluarkan. Mesin ini dikawinkan dengan transmisi otomatik lima kecepatan, sehingga memudahkan pengemudian. Tersedia tiga tangki bahan bakar berkapasitas total 450 galon, sehingga kendaraan mampu menempuh jarak sampai 1.449km. Colonel juga memiliki kemampuan amfibi, dengan kecepatan 5,8km/ jam di permukaan air, atau lebih apabila dipasangi waterjet.
Dengan fitur-fitur tersebut, FNSS segera meminang GPV Colonel dan membeli seluruh hak produksinya. FNSS kemudian menjahit sejumlah penyempurnaan pada Colonel, dengan mengintegrasikan sejumlah sistem pertahanan dan persenjataan. Hasilnya, pada tahun 2000 FNSS merilis PARS (Leopard Anatolia) dengan opsi berbagai macam sistem senjata dari RCWS dan kubah. Secara hull tidak banyak yang diubah, karena Colonel sendiri dianggap sudah cukup sempurna. FNSS hanya menyiapkan opsi armor bolt on untuk membuatnya lebih tahan impak tembakan munisi kaliber besar.
Malaysia sendiri pada 2005 mencari kandidat baru kendaraan angkut pasukan beroda mereka untuk menggantikan APC SIBMAS dan Radpanzer Condor. Malaysia sudah meninggalkan pola pikir lama mengenai kendaraan angkut pasukan di Negara dunia ketiga harus berukuran kecil karena minimnya infrastruktur. Malaysia dengan visi 2020nya sudah sukses membangun puluhan bahkan ratusan kilometer jalan dan jembatan selama dua dasawarsa terakhir sampai ke pedalaman; hal ini memungkinkan penggunaan ranpur multiroda tanpa perlu kekuatiran amblas.
Pabrikan Barat banyak sekali yang tertarik atas niatan Malaysia. Maklum, kebijakan pengadaan di sana cukup agresif dengan anggaran yang amat melimpah. Siapapun yang menang kontrak pengadaan bisa bergelimang uang. Pada 2006, ada tiga kandidat yang masuk ujian final: MOWAG Piranha IIIc dari Swiss, AMV Patria dari Finlandia, dan PARS dari Turki. Malaysia menyatakan FNSS sebagai pemenang, dan memulai pembicaraan untuk memproduksi PARS di dalam negeri. DRB-Hicom Sdn. Bhd. Sebagai BUMN alat berat industri ditunjuk sebagai principal dalam negeri melalui anak perusahaannya Deftech. DRB-Hicom sendiri sudah berpengalaman bekerjasama dengan FNSS sebelumnya saat merakit ACV-300 Adnan di dalam negeri. Letter of Intent (LoI) ditandatangani pada April 2010 yang menggariskan nilai proyek sekitar US$500 Juta dolar untuk 250 PARS dalam berbagai varian yang akan dirakit Malaysia.
LoI ini dilanjutkan menjadi kontrak pada 2011 yang penandatanganannya disaksikan oleh PM Malaysia Najib Razak, namun nilainya menggelembung 400% menjadi US$2 Miliar. Konon, pembengkakan ini disebabkan karena Malaysia membutuhkan peningkatan kemampuan di pabriknya, plus mengimpor seluruh tooling yang dibutuhkan untuk merakit PARS. FNSS tidak sendirian dalam proyek ini. Perusahaan pertahanan Denel dari Afrika Selatan digandeng untuk menyediakan sistem rudal antitank Ingwe dan kubah LCT-30 untuk varian AFV (Armoured Fighting Vehicle) dan ATGM. Kontrak yang diterima Denel adalah sekitar US$320 juta untuk menyediakan 177 kubah dari berbagai varian. Thales dari Perancis ditunjuk untuk mengintegrasikan sistem komunikasi dan kendali, termasuk BMS (Battlefield Management System).
Yang kemudian menjadi pertanyaan, setelah nilai kontrak digabung-gabungkan dari berbagai sub-komponen, diperkirakan bahwa nilai proyek PARS rasa Malaysia ini membengkak menjadi US$ 7,6 Miliar, dengan detail yang samar. Apabila dibagi ke unit kendaraan yang dirakit, maka satu unit PARS dapat mencatatkan nilai US$ 9 Juta, atau setara dengan pengadaan 1 unit MBT baru seperti M1A2 Abrams atau Leopard 2A7. Nilai yang sangat fantastis bukan? Mengingat histori pengadaan alutsista Malaysia cukup kental dengan aroma proyek berbujet luar biasa, tidak heran apabila golongan oposisi Malaysia mengkritik proyek ini.
Betapapun, kontroversi tersebut tidak menghalangi pemerintah Malaysia untuk maju terus dengan proyek PARS. Pada 2012, desain final dikunci dan diteruskan dengan LRIP (Low Rate Initial Production) sebanyak 12 kendaraan awal. 12 unit PARS inilah yang dikirimkan ke Kuala Lumpur dalam konfigurasi kanon 25mm yang disebut IFV25. Dalam upacara di fasilitas Deftech, serah terima 12 unit IFV25 yang dinamai Gempita dilakukan oleh direktur DRB-Hicom Tan Sri Mohd Khamil Jamil ke Kepala Staf AD Malaysia Jenderal Tan Sri Raja Mohamed Affandi Raja Mohammed Noor dengan disaksikan oleh PM Najib Razak. 19th Inf. Bn. (Mech) RMR ditugaskan untuk mengevaluasi produk awal ini selama dua tahun, sebelum kemudian produksi skala penuh akan dilakukan untuk keseluruh pesanan AV8 Gempita. (Aryo Nugroho)
Sumber : http://indomil.com/kemandirian-industri-pertahanan-cara-malaysia/

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

- Berkomentarlah yang sopan dan bijak sesuai isi artikel/ berita;
- Dilarang berkomentar SPAM, SARA, Politik, Provokasi dsb