Helikopter MV-22 Osprey |
Amerika Serikat akan mengirim lebih banyak pesawat militer ke bagian utara Australia pada tahun ini, sebagaimana dinyatakan juru bicara Korps Marinir Amerika Serikat, Mayor Chris Logan, Rabu.
Kehadiran pesawat-pesawat terbang militer Amerika Serikat itu akan meningkatkan keberadaan militernya di dekat Laut China Selatan yang disengketakan.
Pengerahan marinir di kota Darwin itu disepakati pada 2011 lalu, sebagai bagian penting pergerakan militer Amerika Serikat di bawah pemerintahan mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, di Asia, di tengah meningkatnya klaim China di wilayah itu.
Pergerakan itu juga memperkuat ikatan dengan Australia dan memberikan basis operasi AS di wilayah itu.
Pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang baru mengutarakan komentar keras terhadap klaim teritorial China di Laut China Selatan, namun telah meninggalkan pakta perdagangan Kerjasama Trans-Pasifik yang dinegosiasikan oleh Obama.
Logan mengatakan akan ada peningkatan jumlah pesawat tahun ini, termasuk pengiriman empat unit helikopter MV-22 Osprey, yang akan meningkatkan jangkauan pasukan marinir dan lima unit helikopter AH-1W Super Cobra.
Logan menambahkan, jumlah personel yang ada akan tetap berjumlah 1.250 orang. "Ukuran dan susunan tiap rotasi Marinir ke Australia ditentukan oleh kedua pihak, dan diseimbangkan dengan melihat komitmen sumber daya lainnya dan prioritas negara yang bersangkutan," Logan mengatakan.
Jumlah tentara yang dikirimkan ke bagian utara Australia terhambat dari rencana awal sebanyak 2.500 orang pada 2020, sebuah rencana yang diundur dari target 2017 lalu.
Australia dan Amerika Serikat sepakat pada Oktober lalu untuk membagi investasi infrastruktur dan biaya lain yang berhubungan dengan pengembangan 25 tahun senilai 1,5 miliar dolar AS.
Mereka juga membicarakan penempatan pesawat pengebom jarak jauh AS, B-1 Lancer, di Darwin, sebuah langkah yang menuai kritik dari Kementerian Luar Negeri China.
Departemen Pertahanan Australia tidak menanggapi permintaan komentar, namun mengatakan pada Oktober bahwa kedua negara berniat untuk memenuhi target 2.500 pasukan marinit "dalam tahun-tahun ke depan".
Euan Graham, kepala Program Keamanan Internasional dari kelompok penasihat Institut Lowy di Sydney mengatakan penundaan dalam peningkatan jumlah pasukan itu bukan hal yang mengejutkan, dikarenakan megosiasi terkait biayanya sendiri berjalan lambat.
"Infrastruktur yang akan mengakomodasi peningkatan jumlah marinir tidak dapat dilakukan sebelum pembagian biayanya disepakati, dan tidak akan meningkat dalam semalam, itu akan memerlukan proses yang bertahap," kata dia.
Sejumlah latihan pada 2016 lalu salah satunya adalah latihan manuver gabungan dengan para tentara dari Jepang dan China serta sebuah program yang melibatkan para personel dari Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina, pihak departemen mengatakan.
Sumber : http://www.antaranews.com/