AH-64E Apache Guardian |
Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani baru-baru ini yang menjanjikan anggaran pertahanan RI tahun 2018 bisa naik dua kali lipat dari yang sekarang sesungguhnya adalah pernyataan yang membungakan, membanggakan dan sekaligus mengharukan. Betapa tidak, meski dibelakangnya ada embel-embel jika penerimaan pajak tahun 2017 sukses, sejatinya pernyataan Srikandi itu ingin menjelaskan kepada kita bahwa pemerintah komit untuk memprioritaskan soal pertahanan bangsa besar ini.
Tahun ini anggaran pertahanan kita mencapai 108 trilyun, angka itu saja sudah yang terbesar jika dibanding dengan sektor lain. Dengan itu kita bisa melanjutkan program modernisasi alutsista, sebuah cita-cita yang wajib dicapai jika bangsa ini paham dengan kebesaran harga dirinya, harga sumber daya alamnya, harga kebhinnekaannya dan harga nasionalisnya. Kita bersyukur karena selama setahun tahun terakhir ini pemerintah kita sudah sadar diri bahwa membesarkan harga diri pertahanan tidak lagi terkait dengan korelasi peningkatan kesejahteraan atau pertumbuhan ekonomi. Pertahanan adalah pertaruhan eksistensi berbangsa dan bernegara termasuk menjaga kedaulatan sumber daya alam yang bergizi tinggi itu.
Besarnya anggaran pertahanan yang dikucurkan hendaknya diimbangi dengan pengelolaan anggaran yang profesional. Karena manisnya madu anggaran alutsista mudah membuat kita tergoda gairahnya, lalu mencoba mencuri cicip, sedikit-sedikit, gak ada yang lihat dan KPK pun gak punya radar, lalu akhirnya terkena diabetes korupsi. Contohnya sudah ada, seorang jendral bintang satu TNI AD di Kemhan akhirnya dijatuhi hukuman seumur hidup dan dipecat dari TNI karena kebanyakan curi cicip madu alutsista sampai 12 juta dollar AS.
Angka juta dollar itu kalau dirupiahkan itu mencapai 156 milyar dikantongi sendiri oleh sang perwira dalam proses pembelian 24 jet tempur F-16E/F Block 52ID dan 8 helikopter AH-64E Apache Guradian dari AS sebagaimana terbukti di sidang pengadilan militer akhir tahun lalu. Kita ketahui bahwa untuk mendatangkan 24 jet tempur F-16E/F Block 52ID Indonesia merogoh kocek US$700 juta dan 8 helikopter AH-64E Apache Guardian senilai US$ 295 juta dalam skema anggaran multy years.
Setelah kasus itu ternyata masih ada lagi seorang perwira berpangkat kolonel TNI AU yang juga tergiur manisnya madu anggaran alutsista, lalu tergelincir dalam kubangan korupsi. KSAU yang baru dilantik Marsekal Hadi Tjahjanto barusan mengungkapkan ke publik bahwa ada perwiranya tersandung kasus korupsi di Kemhan. Kasusnya sedang dalam proses hukum, belum ada vonis. Dua kasus diatas sesungguhnya hanya “contoh soal” yang ketahuan oleh “pengawas ujian” berlaku curang.
Kemhan sebagai pintu gerbang pengadaan alutsista dengan anggaran yang cukup besar diyakini banyak dirayu berbagai produsen alutsista luar negeri. Yang namanya rayuan tentu segala cara dilakukan termasuk iming-iming dan saudaranya iming-iming. Dalam dunia bisnis manapun, marketernya pastilah cerdas, lihai sekaligus licik. Dalam pola tawar produk, berbagai “fasilitas mewah” ditawarkan. Masih segar dalam ingatan ketika proses rayuan untuk deal proyek jet T-50i Golden Eagle dengan Korsel, tim kita sampai difasilitasi pesawat kepresidenan Korsel dan fasilitas mewah lainnya. Akhirnya kita deal 16 jet latih tempur T-50i Golden Eagle senilai US$ 400 juta tanpa radar.
Tugas besar dan basah itu mengharuskan Kemhan bergerak lincah mengelola anggaran dan kebutuhan alutsista user.Petingginya harus mampu membawa bahasa koordinasi internal dan eksternal dengan bahasa jelas dan tegas. Termasuk dengan para usernya yang bernama TNI AD, TNI AL, daan TNI AU. Misalnya soal pengadaan Helikopter AgustaWestland AW 101 sudah ditolak RI-1 kok masih berani dibeli. Maka wajar jika publik membacanya dengan bahasa: ada udang dibalik batu.
Juga soal pemberitaan terkini yang mengatakan bahwa Kemhan akan membeli 5 unit pesawat militer baru angkut berat jenis Airbus A400M senilai US$ 2 milyar, kemudian dipertanyakan oleh user TNI AU dan Panglima TNI. Ini adalah contoh soal yang lain bagaimana potret merawat dan mengembangkan bahasa koordinasi yang belum cum laude di institusi terkait. Bagaimana pun publik bisa membacanya dengan komentar sederhana : kok bisa ya.
Bahasa dan keinginan khalayak pecinta NKRI sesungguhnya mengharapkan program modernisasi militer negerinya punya grand strategy yang jelas dan matang. Misalnya soal jet tempur Sukhoi Su-35, anggarannya sudah jauh hari disediakan tetapi mengapa begitu berlarutnya keputusan yang diambil. Termasuk jumlahnya mengapa hanya 8 unit. Mengapa tidak dijelaskan kalau itu tahap pertama lalu tahun depan ditambah lagi orderannya 8 unit lagi. Sehingga dalam dua tiga tahun mendatang kita punya 16 Sukhoi Su-35. Jaminannya adalah anggaran tahun depan membesar signifikan.
Masih banyak yang lain, misalnya pengadaan peluru kendali darat ke udara jarak sedang untuk melindungi Ibukota Jakarta dan Natuna, lanjutan kapal selam Changbogo class jilid empat, lanjutan PKR 10514 jilid tiga dan lain-lain. Kita jelas butuh batalyon arhanud berupa satuan peluru kendali jarak sedang untuk melindungi Jakarta dan kota besar lainnya. Jika anggaran pertahanan tahun depan meningkat tajam, maka alutsista yang kita butuhkan akan lebih banyak kita dapatkan. Tetapi tentu bukan untuk membeli banyak merek sehingga menciptakan model show room alutsista, padahal yang dibeli sedikit.
Kapal selam Changbogo yang dibuat dengan model transfer teknologi sangat pantas dilanjutkan. Sama halnya dengan proyek PKR 10514 untuk menerapkan ilmu transfer teknologi yang baru didapat. Jangan karena ada tawaran dari produsen lain dengan iming-iming mengiurkan lalu berubah pikiran. Publik sedang membicarakan alutsista harapannya seperti kelanjutan produksi Panser Anoa buatan dalam negeri, ternyata yang datang yang tak terduga, misalnya si APC M113 itu yang jumlahnya ratusan.
Manisnya madu anggaran alutsista akan terasa lebih manis jika pemanfaatannya tepat guna, tepat waktu dan tepat biaya. Bisa dibayangkan jika anggaran pertahanan tahun depan mencapai 200 trilyun, kita bisa dapatkan beberapa kapal perang gres kelas fregat, beberapa skadron jet tempur dan lain-lain untuk disebar di pangkalan militer luar Jawa. Bukankah Presiden sudah memerintahkan agar sebaran tentara dan alutsista tidak menumpuk di Jawa alias Jawa Sentris.
Maka sebaran alutsista itu harus diperbanyak lebih dulu. Memperbanyak kualitas dan kuantitas alutsista tentu perlu anggaran besar. Itu sudah sedang dan akan dilakukan pemerintah. Tugas besar Kemhan adalah memastikan penggunaan anggaran sesuai peruntukannya, sesuai usulan pengguna. Ini adalah pekerjaan yang banyak godaan dan rayuannya. Ritme itu yang saat ini sedang dipantau ketat oleh publik kita.
Sumber : Jagarin Pane - TSM