AC-47 Gunship TNI AU |
Walaupun kiprahnya hanya sebentar, rupa-rupanya Indonesia pernah mencicipi rasanya punya gunship berbasis C-47 seperti Kolombia dengan AC-47T. Bukan memang diniatkan, tetapi karena keterbatasan. TNI AU pasca tergulingnya Orde Lama memang berada pada titik nadir karena sejumlah besar aset udaranya jadi tidak bisa dioperasikan lagi.
Dari Angkatan Udara terkuat di belahan bumi Selatan, TNI AU dalam sekejap diprotoli kekuatannya. Aset-aset seperti pesawat tempur modern MiG-17 dan 21 serta pesawat pembom strategis Tu-6 Badger dan taktis Il-28 Beagle mangkrak menunggu ajal karena hilangnya teknisi ahli dari negeri beruang merat serta kelangkaan suku cadang.
Kelangkaan tersebut benar-benar menohok saat Indonesia harus melancarkan operasi militer merebut Timor-timur sebagai reaksi pasca vakumnya kekuasaan setelah Portugal angkat kaki secara kilat. TNI AU yang tengah membangun kekuatannya tak memiliki aset udara yang mampu melakukan pemboman taktis. T-33 Bird dan F-86 Sabre bekas pakai AS dan Australia belum dapat dipasangi alat bidik bom dan mekanisme pelepasnya.
Pesawat pemburu seperti P-51 Mustang sudah terlalu tua, dan bahkan sudah digrounded karena banyaknya insiden, yang menewaskan salah satunya Mayor Penerbang Sriyono. Pesawat pembom taktis B-26 Invader hanya bisa terbang dua, sama dengan jumlah pilot yang masih qualified untuk menerbangkannya.
Satu orang yaitu Letkol Danendra sudah menjadi komandan pangkalan Penfui, sementara Mayor Penerbang Soemarsono sudah keluar dan bekerja di Pelita Air Service, lalu dipanggil lagi. Tapi apa yang bisa dilakukan hanya dengan dua pesawat B-26?
Jumlahnya jelas tidak memadai untuk memberikan BTU (Bantuan Tembakan Udara). Oleh karena itu, muncul ide untuk memodifikasi DC-3 Dakota milik Skadron Udara 2/ Angkut Ringan menjadi gunship dengan mengacu pada pengalaman AS di Vietnam.
Proses modifikasi DC-3 menjadi AC-47 dilakukan oleh Depo Pemeliharaan (Depohar) 10 TNI AU di Lanud Husein Sastranegara, Bandung. Ada dua DC-3 yang dimodifikasi, yaitu T-485 dan T-486. Modal persenjataannya tentu tidak bisa mengandalkan pada SUU-IIA/A atau MXU-470 minigun, karena TNI AU tidak pernah menggunakannya.
Sebagai gantinya digunakan senapan mesin berat AN/M3 yang kelihatannya merupakan copotan dari si Cocor Merah P-51 atau pembom B-25, karena dari foto yang terlihat tidak menggunakan gagang sekop (spade grip) yang menandakan bahwa senjata tersebut adalah varian senjata pesawat udara.
Sebanyak tiga pucuk AN/M3 dipasang dengan konfigurasi yang mirip dengan pemasangan SUU-IIA/A yaitu dua pucuk dipasang dengan laras melewati jendela,dan satu unit terakhir dipasang di pintu kargo.
Setiap senapan mesin disiapkan dengan sabuk peluru yang memiliki konfigurasi empat peluru tajam dan satu peluru nyala/ tracer untuk membantu koreksi hasil penembakan. Untuk menembakkan senapan mesin disiapkan solenoid. Sebagai alat bidik dipasang pisir lensa prismatik, walaupun tidak diketahui alat bidik dari pesawat apa yang dipindahkan ke DC-3 tersebut.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir, AN/M3 yang merupakan turunan dari senapan mesin berat M2HB sesungguhnya bukanlah platform yang sesuai untuk menggantikan M134 atau MXU-470. Walaupun kaliber pelurunya lebih besar dan jarak jangkaunya lebih oke, kecepatan tembak M2HB tidak cukup tinggi untuk dapat memberikan efek saturasi atas area yang dihujani tembakan.
Di luar sistem senjata yang dipasang baru, tidak ada upaya untuk memperbaiki sistem alkom pada DC-3. Perangkat komunikasi pada DC-3 Gunship TNI AU Skadron Udara 2 terdiri dari radio VHF-AM type AM/APC3 untuk antar pesawat dengan delapan kanal frekuensi, walaupun yang dioperasikan hanya tiga.
Sayangnya karena tidak memikirkan interoperabilitas, Gunship TNI AU ini tidak memiliki radio VHF-FM yang merupakan frekuensi standar pasukan TNI AD dan Korps Marinir TNI AL yang diterjunkan dari udara dan didaratkan dari arah laut.
Sebagai akibatnya, untuk koordinasi dengan pasukan di darat dilakukan melalui relay station, dari pasukan di medan tempur ke markas batalyon baru kemudian ke pesawat, dan sebaliknya. Pasti membuat frustasi prajurit lapangan, mereka bisa melihat DC-3 terbang di atas, tapi tak bisa berbicara secara langsung. Saat perintah tembak sampai, pesawat sudah melewati musuh.
Faktor perbedaan antara pesawat Gunship dengan ground FAC merupakan kendala kunci yang besar, sangat berpengaruh negatif pada kelancaran operasi udara di Timor Timur. Padahal komunikasi merupakan kunci utama dalam keberhasilan operasi tempur.
Nukilan kiprah DC-3 gunship tersebut dibahas secara mendalam dalam buku “Operasi Udara di Timor-timur” karya Hendro Subroto dan “Kisah Sejati Prajurit Paskhas” karya Beny Adrian. Seperti dikisahkan, hasil modifikasi tersebut diujicoba di Pameungpeuk, Jawa Barat, dan kemudian di perbatasan Timor.
Demonstrasi penembakan dilakukan di Selat Sunda dengan disaksikan langsung oleh KSAU Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi. Sayangnya, karena kurang asistensi dari luar, proses zeroing laras senapan mesin berat yang kurang benar, dan minimnya pengetahuan mengenai cara pengoperasian gunship, penembakan baru berhasil pada attack run ketiga.
Dalam bukunya Hendro menyebutkan pula bahwa tembakan AC-47 Gunship bukan untuk menembak sasaran secara pint point, melainkan tembakan secara acak untuk misi anti gerilya, padahal kenyataannya para pilot Puff dan Spooky di Vietnam secara rutin dapat menghantam lawan-lawannya di darat secara presisi, dan bahkan seringkali danger close atau dekat sekali dengan posisi kawan.
Walaupun tingkat keberhasilannya masih dipertanyakan, kebutuhan operasi menuntut bahwa kedua pesawat ini harus dibawa ke Timor-timur. Kedua DC-3 gunship tersebut digeser ke perbatasan pada September 1975, dalam rangka persiapan operasi Linud di atas Dili pada bulan Desember.
Aksi Tempur di Atas Dili
Saat berlangsung serbuan gabungan pasukan lintas udara di kota Dili pada 7 Desember 1975 yang menandai fase utama operasi Seroja, dua Gunship TNI AU tersebut tidak diterbangkan untuk memberikan BTU, digantikan oleh B-26 yang on station siap dipanggil oleh tim Dalpur Paskhas. Foto B-26 dapat dilihat pada foto di bawah ini.
Pada waktu itu, AC-47 tidak mengudara dikarenakan kecepatan pesawat yang rendah terlalu rawan untuk memberikan BTU di atas kota Dili, plus ditambah dengan keinginan untuk mempertahankan unsur kejutan selama mungkin. Elevasi kota Dili yang semakin ke selatan semakin tinggi dan berpunggungan dengan bukit juga akan memaksa Gunship terbang terlalu tinggi, sehingga serangan yang dilakukan menjadi kurang efektif.
DC-3 gunship tersebut justru ditunjuk sebagai pesawat angkut untuk tim Dallan (Pengendali Pangkalan) dan Dalpur (Pengendali Tempur). T-486 diterbangkan oleh Kapten Pnb. Abdul Muluk dengan kopilot Lettu Pnb. Sjahrul Bimbi, sementara T-485 diterbangkan oleh Kapten Pnb. Djakarsih. Tim Dalpur dan Dallan ditugaskan untuk mengamankan dan mengoperasikan Lanud Dili yang sudah direbut oleh tim Sandha yang sudah masuk terlebih dahulu ke Timor-timur.
T-485 mendarat terlebih dahulu dan menurunkan pasukan Paskhas di bawah pimpinan Kolonel Psk. Sukarseno dengan teknik mobil udara. Pesawat belum lagi berhenti sempurna ketika anggota Paskhas berloncatan dari pintu belakang dan langsung menuju tower. Kapten Pnb. Djakarsih sengaja tidak mematikan mesin gunshipnya karena merasa tidak nyaman dengan bandara yang baru didaratinya itu, dan sudah memutar posisi pesawatnya siap lepas landas apabila ada kondisi yang tidak beres.
Benar saja, dari bukit di sekitar pangkalan udara Dili tersebut tiba-tiba meluncur mortir ke arah landas pacu, tepat menyasar Dakota. Tidak mau menunggu maut, Kapten Djarkasih segera power up dan menarik throttle, lepas landas kembali meninggalkan pasukan Dallan dan Dalpur kebingungan di tower, termasuk Kolonel Soekarseno yang rencananya hanya melakukan peninjauan.
DC-3 Gunship baru diterbangkan pada sore hari 7 Desember untuk menyekat Fretilin yang melakukan pengunduran ke pinggiran kota Dili dan pedalaman. Dalam satu misi DC-3 memberikan BTU ke arah perkebunan kopi Costa Alves di wilayah Balibar. Adalah T-486 yang terbang dari arah timur dan memberikan tembakan bertubi-tubi ke arah kiri, walaupun tidak dijelaskan berapa banyak korban yang berhasil disikat.
Saat memberikan BTU di Aileu, Gunship T-486 terkena tembakan pada tanki bahan bakar bagian depan kiri dan bagian sayap, yang mengakibatkan kerusakan sedang. Maklum saja, Fretilin dan Tropaz menggunakan senapan G3 yang menggunakan peluru 7,62x51mm dengan jangkauan mencapai 2.000-3.000 kaki sehingga pesawat yang terbang rendah pun rawan terhadap tembakan dari darat.
Untungnya peluru yang mengenai tanki bahan bakar avigas bukan dari jenis tracer atau peluru api, sehingga tidak menimbulkan kebakaran atau ledakan pada tangki bahan bakar di sayap.
Pada awal operasi udara, sebagian besar BTU dilakukan di sektor barat, seperti Aileu, Maliana, Bobonaro, Airnaro Maubisse sampai Suai. Tetapi daerah operasinya kemudian berkembang ke sektor tengah, walaupun tidak banyak. Di sektor timur, Gunship mendukung gerakan tempur pasukan Yonif 328/Raider dari Baucau untuk merebut Mantuto.
Kedudukan Fretilin di lereng-lereng bukit untuk melakukan penghadangan di tepi jalan pantai, sangat sulit dilawan dari darat karena punya keunggulan selisih ketinggian. Tanpa bantuan gunship, pasukan Raider yang bergerak dari bawah sukar sekali melihat musuhnya di ketinggian, sementara musuh di puncak bukit melihat pasukan Raider bak mangsa empuk yang siap masuk penjebakan.
Dalam operasi udara di Timor Timur, dua Gunship T-485 dan T-486 tidak hanya difungsikan sebagai gunship, namun harus tetap mempertahankan fungsinya yang asasi sebagai pesawat angkut. Maklumlah, TNI AU juga tidak memiliki sarana angkut taktis selain DC-3.
Sejumlah C-130 Hercules yang terkena tembakan saat melancarkan operasi penerjunan juga belum dapat dikembalikan ke garis depan karena butuh perbaikan. juga digunakan untuk melakukan perkuatan pasukan dengan cara air landed dan kadang-kadang melakukan evakuasi medik udara taktis.
Setelah satu flight tiga pesawat COIN OV-10F Bronco Skandron Udara 3 dioperasikan di Timor Timur dari lanud Penfui, Kupang (sekarang lanud El Tari) pada Oktober 1976, maka kegiatan operasi DC-3 Gunship berangsur-angsur semakin menurun dan akhirnya tidak dioperasikan lagi.
Kemudian, akhirnya dua DC-3 Gunship dikembalikan fungsinya menjadi pesawat angkut, sehingga menandai pula berakhirnya era singkat dimana TNI AU pernah memiliki pesawat dengan kemampuan dukungan tembakan yang memadai. (Aryo Nugroho)