M16, Nyaris Menjadi Senapan Serbu Produksi Massal Pertama Pindad - Radar Militer

25 September 2017

M16, Nyaris Menjadi Senapan Serbu Produksi Massal Pertama Pindad

Senapan Serbu M-16
Senapan Serbu M-16 

Dalam sejarahnya, TNI menggunakan senapan serbu SS1 buatan PT. Pindad yang merupakan lisensi dari FNC buatan FN Herstal Belgia sebagai senapan serbu pertama yang diproduksi di dalam negeri, menandai awal mula era kemandirian pembuatan senjata ringan.
Namun begitu, tidak banyak yang tahu bahwa sebelum PT. Pindad memproduksi SS1, sesungguhnya pada dekade 1970-an akhir Pemerintah Indonesia telah berusaha keras untuk memperoleh lisensi untuk mendirikan fasilitas pembuatan senapan serbu M16A1 buatan perusahaan Colt Amerika Serikat, yang merupakan senapan serbu standar militer Amerika Serikat pada waktu itu.
Kisah bagaimana ABRI sangat naksir senapan serbu M16 memang tidak banyak yang mengetahuinya. Penulis sendiri membaca bagaimana lobi-lobi yang dilancarkan berdasarkan penyisiran arsip kawat Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia yang meneruskan permintaan Indonesia tersebut kepada Amerika Serikat.
Indonesia sendiri merupakan negara pertama di luar Amerika Serikat yang menggunakan M16. Pada akhir 1950-an, ketika pasukan elit Ranger dari Kepolisian RI dilatih oleh 10th Special Forces Group (Green Beret), mereka pulang dengan membawa ratusan pucuk AR-15, versi awal dari M16.
Sebagian senapan-senapan ini dipinjamkan kepada RPKAD yang akan disusupkan ke perbatasan dalam kampanye Dwikora, dan AR-15 dengan segera disenangi karena ringan dan hentakannya empuk, walau butuh perawatan ekstra dibandingkan dengan AK-47 yang saat itu digunakan RPKAD.
Ketika Orde Lama berganti menjadi Orde Baru, Perusahaan Industri Angkatan Darat (Pindad) diperintahkan untuk memproduksi senjata baru untuk menggantikan senapan eks Blok Timur. Sebagai mitra digandenglah Beretta dari Italia yang memberikan lisensi senapan tempur BM59. Pindad pun memproduksi Senapan Panjang (SP) seri SP1/2/3 sesuai dengan peranannya yaitu senapan tempur, senapan mesin seksi, dan senapan pelontar granat.
Siapa nyana, ternyata kinerja SP1 begitu buruk saat digunakan dalam Operasi Seroja di Timor-timur. Masalah seperti tabung gas terpental ketika menembak, pelatuk lepas sendiri, dan popor pecah karena proses pemanggangan kurang sempurna membuat SP1 begitu dibenci. Dibandingkan HK G3 yang digunakan oleh eks Tropaz, SP1 kalah jauh. ABRI akhirnya mengembalikan 20.000 pucuk untuk diperbaiki oleh Pindad.
Pucuk pimpinan ABRI pun berupaya mencari jalan keluar untuk mengatasi krisis senjata ringan Indonesia. Amerika Serikat pun dilirik untuk memberikan bantuan, setelah sebelumnya ribuan kit modifikasi untuk memodernisasi AR-15 ke standar M16A1 dan 30.000 pucuk M16A1 baru dikirimkan oleh Amerika Serikat.
Pada dekade 1970an tersebut, Indonesia yang tidak punya uang memang sangat tergantung kepada Amerika Serikat melalui program MAP (Military Assistance Program) yang kemudian dihapus dan digantikan oleh FMS (Foreign Military Sales). Pada saat yang bersamaan, Indonesia mengajukan FMS untuk pengadaan pesawat tempur F-5 Tiger II, A-4 Skyhawk, dan pabrik M16.
Berbeda dengan negara lain yang sulit diberikan lisensi untuk membuat M16, Indonesia dipersilahkan untuk membuat M16 di dalam negeri. Pemerintah AS bahkan menghubungkan antara ABRI dengan pabrik Colt yang saat itu membuat M16A1. Perwakilan perusahaan Colt bahkan sudah datang ke Kiara Condong untuk melihat-lihat fasilitas produksi milik Pindad.
Dari hasil penilaian perwakilan Colt, Pindad dinyatakan layak untuk memproduksi M16. Permasalahannya, mesin-mesin produksi untuk membuat M16, yang menggunakan blok alumunium dan plastik saat itu sama sekali tidak dimiliki oleh Pindad. Colt memperkirakan bahwa dibutuhkan sekitar US$ 55 juta untuk dapat memproduksi M16 di Bandung.
Amerika Serikat juga memberikan syarat bahwa M16A1 yang nantinya diproduksi di Indonesia, tidak boleh diekspor kembali ke negara lain tanpa seijin Amerika Serikat. Colt sendiri mengestimasikan bahwa untuk membuat pabrik M16 Indonesia tersebut ekonomis, M16A1 yang diproduksi kurang lebih harus sebanyak 300 ribu pucuk. ABRI sendiri sebenarnya hanya butuh 150 ribu pucuk, sehingga angka yang disodorkan Colt tersebut dianggap kurang realistis.
Asintel Hankam Mayjend Benny Moerdani yang mewakili Pemerintah Indonesia berusaha keras untuk melakukan negosiasi dengan Pemerintah AS, namun Pemerintah AS bergeming. Kebijakan penarikan mundur dan de-eskalasi Perang Vietnam menyebabkan komitmen AS di Asia Tenggara menurun.
Selain itu, Pemerintah AS merasa sudah terlalu banyak bantuan yang diberikan kepada Indonesia, mengingat pada saat yang bersamaan, Pemerintah AS masih mensubsidi beras bantuan yang diberikan kepada Indonesia melalui program PL480. Indonesia harus menentukan pilihan di antara batasan anggaran FMS yang tersedia.
Pemerintah Indonesia menyatakan hanya sanggup untuk menyediakan dana sebesar US$ 30 juta, jauh di bawah kebutuhan yang dinyatakan oleh Colt. Pemerintah AS sanggup menyediakan dana US$ 25 juta pada 1978, dan US$ 5 juta pada 1979. Seharusnya dengan dana FMS, dan sisanya dengan dibiayai secara komersial oleh Pemerintah Indonesia, rencana pendirian pabrik M16 bisa terwujud.
Pada akhirnya, rencana pendirian pabrik M16 tersebut dibatalkan, bersama dengan pembelian A-4C Skyhawk karena Pemerintah Indonesia lebih memilih untuk melengkapi dan menambah jumlah total F-5E dan F-5F Tiger II yang dibeli untuk TNI AU yang dianggap lebih mendesak kebutuhannya.
Indonesia pun batal memiliki pabrik M16A1, sementara Pindad pun pengelolaannya dipindahkan di bawah Tim Pengelolaan Industri Hankam di bawah Menristek B.J. Habibie. Pada gilirannya, PT. Pindad bermitra dengan FN Herstal untuk memproduksi senapan serbu pertama, SS1. (Aryo Nugroho)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

- Berkomentarlah yang sopan dan bijak sesuai isi artikel/ berita;
- Dilarang berkomentar SPAM, SARA, Politik, Provokasi dsb