Isu Politik dan Ujian Profesionalisme TNI - Radar Militer

08 Oktober 2017

Isu Politik dan Ujian Profesionalisme TNI

Panglima TNI
Panglima TNI 

Langit Cilegon mendadak bak medan tempur. Desingan peluru dan deru mesin jet pesawat tempur membuat dada bergetar. Siang itu, dua jet tempur TNI Angkatan Udara yang diperankan Su-30 yang tengah patroli diadang dua jet tempur musuh. Mereka saling kejar, bermanuver di udara mencari posisi ideal menembak.
Dua jet musuh diperankan oleh F-16 terus mengintai dan mengejar target. Celaka, mereka mampu mengunci pergerakan pesawat tempur TNI, dan siap menembak.
Tiba-tiba 'flare' keluar dari lambung jet TNI AU. Rupanya itu untuk mengecoh rudal lawan. Jet TNI bermanuver ke arah kanan atas, berputar dan kini berpindah posisi di belakang jet musuh. Jet tempur TNI kini mengambil alih kendali pertempuran.
Aksi saling kejar dan manuver tak terelakkan. Dua jet tempur TNI mulai mengaktifkan senjata. Target terkunci, dan duumm... pesawat musuh tertembak jatuh.
Di tengah laut, api mulai menyala dari bibir meriam multilaras sejumlah kapal perang TNI AL, menembakkan ratusan butir peluru memberondong sasaran. Tak berapa lama, sonar canggih KRI RE Martadinata-331 mendeteksi kontak kapal selam musuh di dalam laut. KRI ini memiliki spesialisasi anti-kapal permukaan, antikapal selam, dan antiserangan udara.
Helikopter AS565 MBe Panther yang stand by di atas geladak KRI RE Martadinata-331 langsung take off dari KRI, untuk melaksanakan misi peluncuran torpedo kepada kapal selam musuh. Heli bermanuver di atas laut mencari sasaran kapal selam musuh. Terdeteksi.
Atas perintah KRI, Helikopter Panther merilis torpedo, dan torpedo secara mandiri dengan sensor yang dimilikinya mencari target kapal selam musuh (search pattern). Tak lama, kapal selam musuh ditemukan. Duaaarrr...ledakan torpedo menghentak air laut membumbung ke udara.
Dari arah kiri, datang misi bantuan tembakan udara ke arah musuh di laut. Kali ini, 'Si Elang Biru' F-16 terbang menukik melontarkan fire ke arah laut. Disusul tiga Super Tucano yang terbang dari ketinggian 300 ribu kaki dengan kecepatan 450 km per jam, melemparkan 9 bom MK81 dalam misi bantuan tembakan udara.
Dari darat, dua pucuk meriam 155mm Nexter Caesar TNI AD dari Yonarmed 9 Kostrad, membidik sasaran musuh sejauh 39 km dengan radius ledakan 100 meter. Enam butir amunisi meriam 155mm mampu melesat sekaligus dalam waktu satu menit.
Serangan via darat itu belum selesai. Tiga unit ranpur Arisgator dan sembilan tank Leopard 2Ri mengarahkan meriamnya ke arah laut membidik sasaran. Dumm... Terakhir, enam unit MLRS Astros membuat Selat Sunda bergemuruh. Betapa tidak, enam unit MLRS Astros memiliki 32 laras yang mampu menjangkau sasaran sejauh 80 km dengan daya ledak seluas 52 hektare.
Itulah sekelumit simulasi perang di Selat Sunda, yang disuguhkan para prajurit TNI di Hari Ulang Tahun TNI ke-72, yang dipusatkan di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten, Kamis, 5 Oktober 2017. Presiden Joko Widodo didapuk sebagai inspektur upacara dan Pangkostrad Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi sebagai komandan upacara.
Acara yang mengusung tagline "Bersama Rakyat TNI Kuat" berlangsung sangat meriah. Deretan pejabat negara, tamu undangan, tak ketinggalan ribuan masyarakat tumpah ruah di Dermaga Indah Kiat. Hampir seluruh unsur kekuatan TNI ditunjukkan dalam acara tahunan ini. Acara dimeriahkan oleh demo tempur 5.932 pasukan dan alat utama sistem persenjataan (alutsista) baru dan canggih.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, mengatakan peringatan ini merupakan bentuk pertanggungjawaban TNI kepada rakyat dan Presiden sebagai panglima tertinggi militer. TNI menampilkan berbagai bentuk demonstrasi latihan gabungan dan kemampuan serta keterampilan prajurit TNI.
"Pertanggungjawaban dengan memperlihatkan perkembangan alutsista, pasukannya, agar (rakyat) benar-benar mengetahui dan mencintai TNI," kata Jenderal Gatot di Dermaga Indah Kiat, Kamis, 5 Oktober 2017.
HUT TNI ke-72 juga dimeriahkan dengan atraksi terjun payung 72 prajurit TNI gabungan, dan ada juga yang membawa satwa sebagai salah satu bagian dari aksi melumpuhkan sasaran musuh antiteror. Setibanya di darat, mereka langsung melakukan operasi pembebasan sandera oleh kelompok teroris. Para penerjun ditantang dengan mendarat di titik akurasi.
Pasukan dengan kemampuan aksi khusus dari tiga matra pun turut menunjukkan kebolehannya dalam aksi infiltrasi dari laut dan darat. Mereka naik ke atas tower crane setinggi 100 meter melakukan free climbing, menembak, merayap dan rafling. Di laut, pasukan khusus ini melahap semua rintangan sebagai kualifikasi prajurit dengan kemampuan khusus.
HUT TNI kali ini dimeriahkan dengan defile pasukan, sosio drama Jenderal Besar Soedirman yang diperankan langsung oleh sang cucu. Serta parade alutsista TNI dari tiga matra, AD, AL, dan AU.
Politik Negara
Dengan kemampuan yang dimiliki prajurit TNI saat ini, wajar jika Presiden Joko Widodo yakin akan kekuatan TNI di masa mendatang. Presiden optimis TNI akan menjadi kekuatan militer yang disegani, tak hanya di regional Asia, tapi juga disegani dunia.
"Penuh keyakinan, saya percaya TNI akan selalu yang pertama terdepan menjaga keutuhan NKRI," kata Presiden Jokowi dalam pidato HUT ke-72 TNI, di Pelabuhan Indah Kiat Cilegon, Banten, Kamis 5 Oktober 2017.
Dengan kehebatan itu, Presiden Jokowi secara khusus menyampaikan ucapan terima kasih dengan profesionalisme TNI, yang menurut Presiden Jokowi, terus meningkat. Jokowi memberikan apresiasinya atas komitmen TNI dalam menjaga sumpah dan janji prajurit. Menjaga NKRI, menjaga Pancasila dan kewibawaan negara.
Pada kesempatan itu, mantan Gubernur DKI Jakarta itu pun mengingatkan kembali pesan Jenderal Besar Soedirman bahwa TNI harus patuh kepada pemerintah yang sah di Indonesia dengan satu komando sesuai pimpinan.
"Pesan Jenderal Soedirman yang masih relevan saat ini, politik tentara adalah politik negara, loyalitasnya adalah loyalitas kepada bangsa dan negara. Kesetiaan memperjuangkan kepentingan rakyat. Kesetiaan kepada pemerintah yang sah," terangnya.
Kepala Negara yang juga panglima tertinggi menegaskan, TNI tidak boleh berurusan dalam hal politik praktis. "TNI adalah milik nasional yang berada di atas semua golongan, yang tidak terkotak-kotak kepentingan politik sempit dan tidak masuk kancah politik praktis," tegas Presiden.
Penekanan Presiden agar TNI tidak berpolitik memang sangat beralasan. Apalagi, isu yang muncul beberapa hari ini seolah ingin menyeret TNI dalam politik praktis. Ya, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo banyak disebut tengah berpolitik dalam pernyataannya soal isu 5.000 pucuk senjata yang sengaja didatangkan oleh institusi nonmiliter.
Hal itu disampaikan Panglima saat bersilaturahmi dengan para purnawirawan TNI di Mabes TNI, Jumat 22 September 2017 lalu. Meski Jenderal Gatot tak menampik soal pernyataan itu, namun isu tersebut terlanjur menggelinding bak bola panas di ruang publik. Statement itu menjadi 'santapan' anggota dewan, pengamat hingga masyarakat umum.
Tak pelak, Jenderal Gatot Nurmantyo jadi bulan-bulanan. Dituduh tengah berpolitik dan menyiapkan diri untuk Pemilu 2019. Kendati ada juga institusi yang 'gerah' dengan pernyataan Panglima TNI soal senjata.
Badan Intelijen Negara (BIN) dan Polri, yang kebetulan tengah mengadakan senjata, adalah institusi yang buru-buru mengklarifikasi bahwa 5.000 senjata yang disebut Panglima bukan milik mereka.
Jelang HUT TNI-72 di Dermaga Indah Kiat, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo tak menampik dirinya berpolitik. Ia menegaskan bahwa sikapnya ikut berkontestasi dalam politik Negara Indonesia. Langkah tersebut diklaim sesuai dengan kapasitasnya sebagai abdi negara.
"Panglima TNI pasti berpolitik, tapi politiknya negara, bukan politik praktis. Saya akan menjalankan tugas saya secara konstitusi," kata Gatot, yang ditemui di Pelabuhan Indah Kiat, Kota Cilegon, Banten, usai memimpin gladi resik puncak peringatan HUT TNI ke 72, Selasa 3 Oktober 2017.
Kini, Gatot sedang mempersiapkan juniornya untuk menjadi Panglima TNI menggantikan posisinya."Tugas saya menyiapkan adik-adik saya jadi pemimpin yang solid antar-TNI, antarmatra, dalam satu kesatuan komando, agar netral," terangnya.
Gatot yang menjadi panglima tiga Matra TNI, AL, AD dan AU itu jabatannya kini hanya tersisa enam bulan lagi. Jika tidak diperpanjang oleh Presiden, maka akan ada pergantian pimpinan di tubuh TNI pada April 2018."Tugas saya secara administrasi tinggal enam bulan lagi," jelasnya.
Tradisi Orde Baru
Pengamat Hukum Tata Negara, Refly Harun, menilai kontroversi yang mengikuti Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo bisa dibaca sebagai gelagat memiliki ambisi politik tertentu. Dengan modal sebagai TNI AD yang berasal dari suku Jawa dan merangkul kelompok Islam, Gatot patut diperhitungkan sebagai calon alternatif di Pemilu 2019.
Hanya saja dia mengingatkan, dengan modal tersebut, Gatot tidak boleh memanfaatkan jabatannya di luar tugas dan fungsinya sebagai Panglima TNI.
"Maka itu menurut saya, penting bagi TNI ke depan agar betul-betul menjaga etika bernegara," kata Refly saat menghadiri diskusi di Gedung LIPI, Jakarta, Kamis 5 Oktober 2017.
Gatot sebagai bawahan Jokowi, kata Refly, harus tunduk arahan dan keputusan Presiden. Sebab, dalam negara demokrasi, Jokowi dipilih atas mandat rakyat dalam hal ini kepala negara sekaligus menjadi panglima tertinggi angkatan bersenjata.
"Jadi mereka tidak boleh punya haluan sendiri. Tidak boleh punya agenda sendiri. Dia harus mensukseskan agenda Presiden," kata Refly.
Refly tak menampik banyak prajurit TNI yang memilih berpolitik setelah purna tugas. Hal tersebut wajar lantaran selama rezim orde baru tentara digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Apalagi doktrin dwifungsi ABRI yang berjalan di era pemerintahan mantan Presiden Soeharto melekatkan stigma itu bahwa tentara erat kaitannya dengan politik.
"Jadi begini, ada formal ada sosiologis. Memang dna TNI ini adalah berpolitik. Kenapa? Karena mereka dididik dalam rezim orde baru. Paling tidak selama 32 tahun dia berpolitik," ujarnya.
Menurutnya, menghilangkan label bahwa tentara akan terus dikaitkan dengan jabatan-jabatan sipil sulit dilakukan. Karena dulu, Angkatan Darat selalu dijadikan 'anak emas' oleh Soeharto untuk mengisi pos-pos jabatan penting.
Di era otoriter tersebut, angkatan darat tidak hanya mencengkeram dari sisi kekuasaan saja tapi ada motif ekonomi yang turut mengikuti.
"Kita tahu Angkatan Darat itu selalu leading di era orde baru dan selalu menjadi anak emas Pak Harto. Sehingga dia punya tradisi yang lebih panjang, lebih kuat dan juga lebih besar," ujarnya.
Senada, Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti, juga menilai kontroversi yang mengikuti Gatot Nurmantyo selama ini bukan dalam konteks politik negara. Ia menyayangkan di akhir masa jabatannya, Gatot tidak memanfaatkan kesempatannya dengan baik.
"Itu politik personal. Demi apa? Ya demi kepentingan meningkatkan popularitasnya," kata Ray Rangkuti di Jakarta Selatan, Kamis, 5 Oktober 2107.
Ia meminta Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo fokus melakukan perbaikan dan kinerja dengan baik untuk kemajuan TNI. Karena reformasi TNI belum tuntas dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan mantan Pangdam Brawijaya itu. "Oleh karena itu, kiranya Pak Gatot itu terakhir kali ini untuk menjadikan TNI sebagai alat pertahanan yang profesional," ujarnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara yang juga mantan Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra, berpendapat sebaliknya. Menurut Yusril, pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo terkait senjata bukan sebagai manuver politik.
"Politik itu kan menyangkut juga kebijakan-kebijakan negara. Kalau orang bicara keselamatan negara, itu juga politik. Tapi dia (Gatot) tidak dalam konteks pertarungan kekuasaan," kata Yusril di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu, 4 Oktober 2017.
Mantan Menteri Hukum dan HAM ini menambahkan pernyataan, Gatot berbeda dengan pernyataan para politikus DPR, dan pernyataan keduanya tak bisa disamakan. "Karena kepentingan politik, dia (anggota DPR) bisa bicara begitu. Tapi kalau seorang Panglima TNI kan dia bicara politiknya itu politik tentara, dan politik tentara itu konstitusi," tegasnya.
Yusril percaya dalam pernyataannya selama ini, Gatot menyampaikan kepentingan negara. Bukan dalam konteks memperjuangkan kelompok kepentingan atau golongan tertentu. Sehingga, dalam kapasitas Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI, wajar bicara hal tersebut untuk kepentingan negara.
"Yang dimaksud Jenderal Soedirman dengan politik negara itu sebetulnya. Dia berbicara dalam konteks sebagai seorang negarawan. Bukan berbicara sebagai praktisi politik," ujarnya.

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

- Berkomentarlah yang sopan dan bijak sesuai isi artikel/ berita;
- Dilarang berkomentar SPAM, SARA, Politik, Provokasi dsb