MiG-19 TNI AU (AURI) |
Semua orang tahu bahwa Republik Indonesia di masa Orde Lama adalah negara dengan kekuatan militer terbesar di belahan Bumi Selatan. Tidak ada yang menyangsikan kekuatan darat, laut, dan udara, semuanya diperlengkapi dengan alutsista terbaik yang bisa diperoleh saat itu baik dari Blok Barat maupun Blok Timur, dan postur pertahanan Indonesia di masa itu boleh dikatakan terbaik sepanjang masa.
Namun ketika Orde Lama rontok, berakhir pula dukungan dari Uni Soviet, yang mengakibatkan kelangkaan suku cadang. Puluhan jet tempur dan kapal perang yang tadinya perkasa pelan-pelan dipensiunkan. Apa yang bagi pemerintah Orde Baru terlihat seperti rongsokan canggih yang tidak bisa dipakai, bagi Amerika Serikat adalah suatu kesempatan untuk mempelajari teknologi Uni Soviet saat itu.
Maklum saja, Indonesia memang kasus khusus. Walaupun Republik Indonesia bukan negara komunis, tetapi dipasok Uni Soviet dengan alutsista kelas satu sebagai gula-gula manis agar mau condong ke arah kiri. MiG-21, Tu-16, sistem rudal SA-2 Guideline, dan rudal P-15 Termit adalah contohnya. Tidak semua negara yang ada di orbit Blok Timur bisa mendapatkannya.
Amerika Serikat yang saat itu sedang kewalahan menghadapi alutsista Blok Timur yang digelar oleh Vietnam Utara berusaha keras untuk mendapatkan sampel yang bisa dipergunakan dan dipelajari kelemahannya. Artinya untuk pesawat tempur harus bisa diterbangkan, dan untuk rudal harus bisa diluncurkan, atau dicuri saja komponennya. Proyek rahasia AU AS seperti Have Donut yang memperoleh MiG-21 dari Indonesia dan Israel adalah buktinya.
Nah, menelusuri kemana jejak alutsista Blok Timur eks Indonesia memang sangat sulit. Sebagian bisa jadi monumen, tetapi sejumlah kecil sebenarnya diambil oleh Pemerintah Amerika Serikat melalui tangan agennya seperti HABRINK yang disusupkan di dalam Pemerintah Indonesia.
Salah satu jejak bagaimana AS berupaya dan sudah memperoleh materi senjata Blok Timur bisa dilihat dari memorandum rahasia yang dikirimkan Deputi Direktur Koordinasi di Biro Intelijen dan Riset di Departemen Luar Negeri AS kepada Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Nichol Irwin II tertanggal 1 Februari 1972. Biro Intelijen dan Riset (INR) adalah badan intelijen milik Deplu AS.
Dalam nota tersebut, terungkap bahwa Pemerintah AS dan Pemerintah Indonesia sedang berunding untuk membeli MiG-17, MiG-19, dan MiG-21, masing-masing satu unit dalam keadaan laik terbang dari TNI AU. Harga yang ditawarkan oleh Pemerintah Amerika Serikat adalah US$250.000. Kalau ternyata ada pesawat tambahan yang mau dijual, Amerika Serikat mau membelinya untuk pengujian.
Memo tersebut juga menyebutkan, Indonesia menjadi sumber utama untuk memperoleh senjata eks Blok Timur. Pemerintah Orde Baru disebut sudah tidak menginginkan lagi senjata eks Soviet, sementara Uni Soviet yang biasanya mengawasi ketat pemakaian senjatanya juga tak diijinkan memasuki Indonesia yang sudah anti komunis.
Situasi menguntungkan ini ditambah lagi dengan sistem manajemen logistik yang buruk dan tersebar di banyak lokasi, sehingga barang bisa hilang atau dihilangkan dengan mudahnya, sehingga situasi ini dapat dimanfaatkan Pemerintah Amerika Serikat dengan optimal.
Selama kurun waktu 1970-1972, berbagai badan intelijen AS sudah membelanjakan dana sebesar US$ 2 juta untuk membeli alutsista dan komponen eks AS dari Indonesia. Rudal anti kapal P-15 Termit, beragam sistem kendali penembakan, perangkat anti kapal selam, dan bahkan sistem radar Fan Song milik SA-2 Guideline. Seluruh komponen tersebut tidak akan pernah mungkin diperoleh AS kecuali dari Indonesia.
Amerika Serikat memperoleh seluruh komponen tersebut dalam kondisi relatif baru, sebagian bahkan belum pernah dikeluarkan dari kotak penyimpanannya sejak tiba di Indonesia. Kedatangan alutsista dalam jumlah masif saat Orde Lama dalam rangka Trikora memang tidak disertai dengan kesiapan prajurit untuk mengoperasikannya, sehingga banyak di antara komponen tersebut tersimpan dalam gudang begitu saja.
Dalam kasus sistem radar Fan Song, saking besarnya radar itu, sampai harus diurai dan dimasukkan dalam tiga truk besar. Semua komponen tersebut dibawa keluar dari Indonesia secara bertahap, melalui operasi intelijen. Seperti diketahui, Amerika Serikat mengirimkan bantuan makanan Bulgur dan obat-obatan ke Indonesia untuk membantu mengatasi kasus malnutrisi parah rakyat Indonesia yang jatuh miskin akibat kesalahan menangani perekonomian.
Bantuan Bulgur dan obat-obatan tersebut dikirimkan beberapa kali dengan pesawat terbang militer AS, yang rupanya dijadikan kedok untuk operasi intelijen penting lainnya. Saat pesawat pembawa bantuan terbang kembali ke negaranya, di perut pesawat berganti isinya menjadi berbagai komponen alutsista eks Uni Soviet. Jadi, Bulgur yang konon katanya makanan kuda di negeri Amerika, ditukar dengan senjata.
Seluruh kegiatan tersebut terjadi dalam pengawasan Pemerintah Indonesia sendiri, yang bahkan menugaskan tim intelijen militer khusus untuk mengawasi pemuatan kargo militer tersebut yang dilakukan dari dalam hangar pada malam hari.
AS sendiri menggunakan C-141 Starlifter dan C-130 Hercules untuk membawa keluar seluruh harta karun militer yang tak ternilai harganya, setelah usulan membawa C-5A Galaxy ditolak oleh Pemerintah Indonesia. Berbekal seluruh komponen yang diambil dari Indonesia, AS berhasil mengembangkan sistem penangkal yang efektif untuk sistem senjata canggih buatan Blok Timur. (Aryo Nugroho)