NASAMS II |
Puasa panjang TNI akan sistem pertahanan udara jarak menengah nampaknya akan segera berakhir. Setelah spekulasi yang bersliweran mengenai rencana pembelian rudal NASAMS (Norwegian Advanced Surface to Air Missile) oleh TNI AU, penulis sudah memperoleh kepastian bahwa Kementerian Pertahanan sudah menandatangani kontrak pembelian rudal NASAMS pada bulan Juni 2017.
Kehadiran NASAMS yang membangkitkan kenangan lama akan kegarangan AURI dengan rudal SA-2 Guideline pada masa Orde Lama melengkapi sistem senjata hanud yang dimiliki TNI AU mulai dari sistem pertahanan udara titik Oerlikon Skyshield 35mm buatan Rheinmetall Jerman, rudal panggul jarak dekat QW-1 dan QW-2 dari China serta Chiron dari Korea Selatan, dan tentu saja kemudian NASAMS.
Dari peruntukannya, NASAMS akan digelar untuk pertahanan ibukota negara, yang selama ini memang hanya dijaga dengan meriam-meriam arhanud yang tentu saja sudah tidak lagi memadai untuk menghadapi ancaman lawan seperti jet tempur atau pesawat pembom yang memiliki kemampuan untuk melancarkan serangan dari jarak jauh (standoff). Untuk membiayai pembelian NASAMS ini, Indonesia mendapatkan fasilitas kredit dari Bank Exim Norwegia senilai lebih dari USD 100 juta.
NASAMS sendiri diprakarsai oleh Norwegia untuk mendobrak stigma bahwa menggelar sistem rudal anti pesawat alias SAM harus menyiapkan dana yang mahal. Maklum saja, rudal anti pesawat generasi 1980an memang besar, terdiri dari kendaraan peluncur, kendaraan radar, kendaraan pengendali, kendaraan catu daya, dan seterusnya.
Menyadari hal ini, Norwegia mendesain NASAMS dengan jejak (footprint) seminimal mungkin. Awalnya adalah kontraktor Norsk Forsvarsteknologi dan Hughes Aircraft yang membentuk satu joint venture untuk AU Norwegia, yang diberi nama NASAMS. Target operasionalnya adalah tahun 1992, walau kemudian molor sampai operasional pada 1994.
Sistemnya memang tetap didesain terpisah antara kendaraan peluncur, kendaraan posko / FDC (Fire Distribution Center) dan sistem radar AN/TPQ-36. Yang berbeda, konsep NASAMS dibuat modular dan seefisien mungkin. Sebagai contoh, untuk kendaraan peluncur, kotak peluncur LCHR didesain untuk dapat diangkut oleh truk standar kelas lima ton yang dilengkapi dengan dongkrak khusus untuk menurunkan dan menaikkan LCHR ke dan dari flatbed truk.
LCHR sendiri terdiri dari enam kotak dengan tiap kotak terdiri dari rel peluncur yang terlindung dari elemen cuaca. Satu kotak LCHR sendiri dapat dinaikkan ke atas palet standar dan dimasukkan ke dalam C-130H Hercules untuk digelar ke titik-titik jauh sesuai dengan keinginan pengguna. Artinya, TNI AU sendiri sanggup menggelar NASAMS kemanapun dibutuhkan.
Untuk urusan rudalnya sendiri, Norwegia awalnya menggunakan solusi COTS (Commercial Off The Shelf) alias menggunakan rudal yang sudah ada di pasaran. Pendekatan ini dirasa akan lebih mudah, murah, dan waktu pengembangannya tentu saja menjadi sangat singkat. Bahkan pada saat dibuat pertama, NASAMS memanfaatkan pylon rudal standar pesawat tempur yang dibalik.
Kongsberg sebagai pengembang rudal memilih AIM-120C AMRAAM (Advanced Medium Range Air to Air Missile). AMRAAM yang sejatinya merupakan rudal udara-udara ternyata sudah ditanamkan chip dual mode oleh Raytheon selaku pembuat: mode udara-udara atau darat-udara. Sebagai rudal dengan kemampuan ganda, AMRAAM yang sudah memperoleh cap battle proven dapat berfungsi dengan baik ketika ditunjuk sebagai rudal SAM. Jarak efektif untuk AMRAAM dalam NASAMS adalah 15-20 kilometer, tergantung kondisi di mana rudal itu beroperasi.
Keistimewaan NASAMS selanjutnya adalah fleksibilitasnya; tidak ada sistem SAM yang dapat menggunakan rudal yang berbeda-beda tanpa perlu banyak penyesuaian kecuali NASAMS. Apabila pada awalnya hanya AIM-120C-3/5/7 yang disertifikasi untuk dapat diluncurkan dari NASAMS, rudal pencari panas jarak pendek generasi baru AIM-9X Sidewinder dijadikan salah satu pemukul, yang tentu saja mengandalkan IR seeker tanpa radar sama sekali sebagai penjaga garis akhir.
Dengan dimensi yang lebih besar dibandingkan FIM-92 Stinger, tentu saja AIM-9X lebih punya kans untuk merontokkan sasaran yang lebih besar. Yang terpenting, AIM-9X yang menggunakan seeker IR aktif aman dioperasikan di lingkungan dimana pesawat SEAD (Supression of Enemy Air Defence) beroperasi, yang mengancam situs radar kawan, dan tak mempan gangguan jamming radar oleh lawan. Dengan TNI AU sudah memiliki dua jenis rudal tersebut dari Amerika Serikat, artinya tidak akan ada masalah untuk penggelarannya sebagai perisai ibukota. (Aryo Nugroho)