Senapan Tabur AA-12 |
Kalau ada senjata dengan kisah yang absurd, shotgun atau senapan tabur AA-12 bisa menjadi kandidat pemenangnya. Maxwell Atchisson ingin mendesain sebuah shotgun yang bisa didekatkan untuk aplikasi kemiliteran. Solusinya? Ia membangun shotgun semi-otomatis dengan layout persis M16, lengkap dengan handguard segitiga khas M16A1. Purwarupanya yang lahir pada 1972 tidak mendapat respon yang baik dan lalu terlupakan.
Diam-diam, dengan dananya sendiri Atchisson terus menyempurnakan karyanya. Tidak lagi mengandalkan system blowback sederhana, ia mendesain mekanisme gas untuk Atchisson Automaticnya. Untuk meredam recoil yang menjadi masalah utama, Atchisson bertindak pintar. Ia mendesain agar bolt memiliki lintasan yang panjang, serta pegas peredam tolak balik recoil yang panjang pula, layaknya senapan serbu.
Hal ini diraih dengan membuat buffer tube atau tabung peredam tolak balik yang sangat panjang, memakan tempat di dalam popor sampai titik terbelakang. Dengan sendirinya, bolt akan memiliki banyak ruang untuk bergerak, melambat, sehingga ketika menghantam dinding buffer, daya recoil yang tersisa sangatlah kecil, setara dengan proyektil .22LR atau nyaris tidak dirasakan oleh penembaknya. Menembakkan AA-12 bisa dilakukan tanpa perlu membidik, dan hentakannya pun pelan.
Biarpun sudah dibilang sempurna, nasib AA-12 kembali dipenuhi ketidakjelasan. Tidak ada pihak yang berminat pada AA-12, dan Atchisson terpaksa menjual hak atas senapan barunya pada Military Police Systems. MPS pada gilirannya menyempurnakan AA-12, memberinya baju baru dalam bentuk receiver polimer berbentuk kompak dan utuh dari popor sampai foregrip yang menyatu, terlihat sangat futuristik.
MPS di bawah pimpinan Jerry Barber lalu bekerjasama lagi dengan Special Cartridge Company untuk menciptakan peluru khusus bagi AA-12, yang akhirnya melahirkan misil mini FRAG-12. Gabungan antara AA-12 dan FRAG-12 boleh dibilang letal. Belum pernah ada sebelumnya, sebuah senapan yang mampu melontarkan proyektil peledak HE (High Explosive) dalam kecepatan dan akurasi yang sangat tinggi, 360 peluru per menit.
Jika anda sempat menyambangi situs unggahan video Youtube, ketikkan kata kunci “AA-12”, dan anda akan terkagum-kagum melihat AA-12 bisa ditembakkan dengan akurat, bahkan saat penembak hanya menggenggamnya dengan satu tangan. Tidak mengherankan, histeria massa akhirnya membangkitkan minat militer pada AA-12. Pada 2004, Korp Marinir AS dikirimi 10 AA-12 untuk diujicoba, dengan kemungkinan menggantikan M1014.
Lebih jauh lagi, AA-12 sampai dibawa Korp Marinir ke Irak pada 2005, untuk dievaluasi dalam situasi pertempuran yang sebenarnya. Satu hal yang juga harus diingat, seberapa hebatpun AA-12, kegunaannya dalam situasi taktis perang patut dipertanyakan. Kesempatan untuk mengisi magasennya jelas akan makan waktu lama, belum lagi ukuran drum magasennya yang setara dengan boks peluru Minimi yang berkapasitas 200 peluru.
Ukurannya juga sangat besar, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai senapan sekunder. Buat Marinir yang punya ukuran personel per regu yang lebih kecil dari AD AS, mengorbankan satu penembak senapan untuk membawa AA-12 rasanya bukan perimbangan yang ideal. Kecepatan tembak, jumlah amunisi yang bisa dibawa, serta kesesuaian amunisi dengan jalur logistik membuat AA-12 terhambat sebagai senjata praktis di medan tempur.
Pada akhirnya, AA-12 yang bersosok bongsor malah lebih banyak populer di layar kaca maupun layar lebar. Bentuknya yang besar dan agresif membuatnya cocok jadi senjata jagoan, seperti yang dibawa oleh Hale Caesar (Terry Crews) dalam film The Expendables. Penampilan AA-12 lainnya ada dalam film Predators (2010) dan G.I. Joe: The Rise of Cobra (2009). (Aryo Nugroho)