Joint Direct Attack Munition (JDAM) |
Saudi Arabia membeli persenjataan presisi dari produsen Amerika Serikat (AS), Raytheon dan Boeing senilai USD7 miliar. Pembelian senjata ini merupakan bagian dari kesepakatan raksasa senilai USD100 miliar yang ditengahi Presiden Donald Trump.
"Raytheon dan Boeing adalah dua kontraktor pertahanan yang dipilih untuk memproduksi amunisi berpanduan presisi untuk militer Saudi Arabia," ucap sebuah sumber seperti dikutip dari Russia Today, Jumat (24/11/2017).
Baik perusahaan maupun Duta Besar Saudi Arabia untuk AS, Pangeran Khalid bin Salman, memilih untuk tidak mengomentari penjualan senjata presisi. Namun, diplomat Saudi mengatakan bahwa negaranya akan mengikuti kesepakatan yang ditandatangani oleh Trump dan King Salman.
Berdasarkan ketentuan kesepakatan tersebut, Saudi Arabia akan menerima pengiriman tank, artileri, helikopter, dan dukungan udara dekat AS serta juga pesawat pengumpul intelijen, dan sistem rudal anti-rudal seperti Patriot dan THAAD.
Pemerintah Trump secara agresif mendorong kesepakatan senjata tersebut, dengan alasan bahwa pendapatan tersebut akan dihasilkan untuk ekonomi AS serta banyaknya pekerjaan yang akan diciptakannya di industri pertahanan.
Penjualan senjata ke Saudi Arabia telah menyebabkan kontroversi yang meluas secara internasional. Sejak tahun 2015, monarki Sunni telah melakukan perang melawan pemberontak Syiah yang didukung Syiah di Yaman, yang mendorong salah satu negara termiskin di dunia Arab ke ambang kelaparan dan menyebabkan 4.800 orang Yaman terbunuh. Sebagian besar korban sipil disebabkan oleh serangan udara koalisi pimpinan Saudi, meskipun Riyadh secara konsisten membantah laporan tersebut.
Kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa serangan udara koalisi sengaja menargetkan masyarakat sipil dan infrastruktur sipil pada banyak kesempatan. Hal ini mengindikasikan bahwa masalahnya terletak pada peraturan keterlibatan koalisi pimpinan-Saudi dan bukan kepemilikan senjata yang lebih baik dan lebih tepat.
Secara khusus kesepakatan senjata presisi belum diungkapkan. Namun diketahui bahwa Raytheon telah lama memproduksi bom dipandu laser Paveway IV. Rudal ini dipasarkan sebagai amunisi yang dimaksudkan untuk merevolusi "perang taktis darat ke darat dengan mengubah bom 'bodoh' ke dalam amunisi yang dipandu dengan presisi.
Produk Raytheon lainnya, senjata artileri presisi Excalibur, digunakan dengan militer AS, Swedia, Kanada, Australia dan Belanda.
Boeing, salah satu pembuat pesawat terkemuka di dunia, juga dikenal sebagai produsen bom "cerdas" yang disebut Joint Direct Attack Munition (JDAM). Perusahaan ini juga menghasilkan apa yang disebut kit JDAM yang digunakan untuk mengubah bom tujuan umum menjadi senjata laser atau GPS.
Departemen Luar Negeri AS belum secara resmi memberi tahu Kongres tentang kesepakatan amunisi yang dipandu dengan presisi.
"Washington telah berjanji untuk mempertimbangkan keseimbangan regional dan hak asasi manusia serta dampaknya terhadap basis industri pertahanan AS," menurut seorang pejabat Departemen Luar Negeri yang tidak disebutkan namanya.
Ditentang Kongres AS, Saudi Arabia Tetap Ngotot Beli dari AS
Saudi Arabia sepakat membeli amunisi kendali presisi dari kontraktor pertahanan Amerika Serikat (AS), Raytheon Co dan Boeing Co senilai sekitar USD7 miliar atau Rp95 triliun.
Sumber yang mengetahui kesepakatan itu mengungkapkan hal itu kemarin. Beberapa anggota parlemen AS mungkin keberatan karena senjata AS berkontribusi pada kematian warga sipil dalam kampanye militer Saudi di Yaman.
“Kesepakatan ini bagian dari kesepakatan persenjataan senilai USD110 miliar yang dibuat saat Presiden AS Donald Trump mengunjungi Saudi Arabia pada Mei,” ungkap sumber itu pada kantor berita Reuters kemarin. Kedua perusahaan menolak berkomentar tentang penjualan senjata itu.
Penjualan senjata ke Saudi dan negara-negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) menjadi bahan perdebatan di Kongres AS. Departemen Luar Negeri (Deplu) AS belum secara resmi menginformasikan Kongres tentang kesepakatan senjata itu.
“Kami tidak berkomentar untuk mengonfirmasi atau menyangkal penjualan itu hingga mereka secara resmi menginformasikan pada Kongres,” kata pejabat Deplu AS tersebut. Dia menambahkan, pemerintah AS akan memperhitungkan berbagai faktor, termasuk keseimbangan regional dan hak asasi manusia (HAM) serta dampak pada basis industri pertahanan AS.
Perang sipil Yaman terjadi antara pemberontak Houthi yang didukung Iran melawan pemerintah Yaman yang didukung koalisi Arab pimpinan Saudi. Hampir 4.800 warga sipil tewas sejak Maret 2015, berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Maret.
Saudi menyangkal serangan yang menewaskan warga sipil atau beralasan ada para pemberontak di wilayah yang menjadi target serangan. Saudi juga menyatakan telah berupaya mengurangi korban warga sipil. Duta Besar Arab Saudi untuk AS Pangeran Khalid bin Salman menolak berkomentar tentang pembelian senjata itu.
Dia hanya mengatakan negaranya akan mengikuti berbagai kesepakatan yang ditandatangani selama kunjungan Trump. Pangeran Khalid menjelaskan, Saudi selalu memilih AS untuk pembelian senjata.
“Pilihan pasar Saudi Arabia tetap satu dan berkomitmen membela keamanannya,” ucapnya. Trump menilai penjualan senjata sebagai cara menciptakan lapangan kerja di AS. Dia telah mengumumkan miliaran dolar penjualan senjata sejak menjabat pada Januari.
Pejabat pemerintah AS menjelaskan, kesepakatan ini mencakup periode 10 tahun dan dapat memerlukan beberapa tahun sebelum pengiriman senjata itu dilakukan. Kesepakatan ini dapat ditolak di Kongres.
Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat dari Partai Republik Bob Corker mengumumkan, Juni lalu dia akan menghalangi penjualan senjata ke Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan anggota GCC lain terkait konflik dengan Qatar. (Berliano)
Sumber : https://www.sindonews.com/