Jet Tempur Sukhoi, Antara Kontroversi dan Kebutuhan akan Efek Deteren di Kawasan - Radar Militer

20 Februari 2018

Jet Tempur Sukhoi, Antara Kontroversi dan Kebutuhan akan Efek Deteren di Kawasan

Jet Tempur Sukhoi
Jet Tempur Sukhoi 

Bagi Sukhoi rupanya tak sia-sia ikut tampil dalam Indonesian AirShow (IAS) 1996 di Bandara Soekarno-Hatta, selain sukses membetot perhatian publik, para petinggi TNI (d/h- ABRI) rupanya ikut dibuat kagum dengan akrobatik udara dari pesawat twinjet Su-27 dan Su-30 dengan kemampuan air superiority tersebut. Meski saat itu baru sebatas melirik tanpa proyeksi membeli, bisa dibilang IAS 1996 sebagai ‘pembuka jalan’ debut jet tempur Sukhoi di Indonesia.
Saat penyelenggaraan IAS 1996, kondisi ekonomi dan politik Indonesia relatif masih stabil di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Meski saat itu belum diberlakukan embargo secara penuh, pasokan logistik dan suku cadang alutsista dari Amerika Serikat sudah mulai dibatasi pasca insiden Santa Cruz di Timor -Timur tahun 1991. Namun mazhab alutsista TNI AU saat itu masih terpusat ke AS dan NATO.
Namun di lubuk hati pada gelaran Indonesia Airshow (IAS) tahun 1996, Malaysia rupanya sedikit mampu membuat cemburu Indonesia, lantaran AU Malaysia (TUDM) pada IAS 1996 kala itu sukses mendatangkan dua unit MiG-29N Fulcrum miliknya, yang saat itu terbilang penempur modern dan disegani di kawasan. Ketambahan lagi sejak 1997, AU Malaysia mulai mengoperasikan F/A-18D Hornet. Satu negara dengan perkuatan dua fighter unggulan dari dua kubu (AS dan Rusia) hal yang terbilang sangat langka, terlebih di Asia Tenggara dan Malaysia adalah pelopornya. Dan di tahun-tahun berikutnya jejak ini kemudian diikuti oleh Indonesia.
Pasca lepasnya Timor Timur di 1999, hubungan politik Indonesia dengan AS dan Eropa Barat rupanya kian memburuk, sanksi embargo bukan saja pada jet tempur F-16 dan pesawat angkut C-130 Hercules, melainkan merembet ke Hawk 109/209 buatan Inggris.
Tingkat kesiapan tempur yang terus melorot akibat embargo, plus gempuran krisis moneter yang belum tuntas, menjadikan kekuatan TNI, khususnya TNI AU melorot drastis. Singkat cerita di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, dipinanglah paket empat Sukhoi Su-27SK dan Su-30MK (bacth pertama) dari Rusia. Presiden Vladimir Putin kala itu rupanya paham betul kondisi ekonomi Indonesia yang tengah morat marit, maka tatkala Indonesia menawarkan paket imbal dagang (barter) pun mendapat persetujuan dari Kremlin.
Bisa disebut Sukhoi Su-27/Su-30 terlahir di Indonesia akibat tekanan embargo dari AS/Eropa Barat. Yang memaksa Indonesia mencari opsi lain untuk menjaga tingkat kesiapan tempur. Program kilat harus dijalankan, mengingat saat kekuatan udara Indonesa menurun, sebaliknya kekuatan udara negara-negara tetangga justru meningkat. Lebih parah lagi, dengan tingkat kesiapan menurun, berdampak pada loyonya efek deteren, alhasil ancaman terjadinya black flight yang masuk teritori RI meningkat.
Kontroversi dan Efek Deteren
Ada beberapa catatan seputar kontroversi hadirnya Sukhoi Su-27/Su-30, dimulai dari cara pengadaannya yang ‘mencicil’ lalu berimbas pada nilai jual yang fantastis, biaya operasional per jam yang tinggi, umur mesin yang singkat, sampai urusan persenjataan adalah rentetan kontroversi Sukhoi Su-27/Su-30. Maklum sejak didatangkan pada 2003, baru sepuluh tahun kemudian armada Sukhoi di Skadron Udara 11 dilengkapi persenjataan berupa rudal udara ke udara dan udara ke permukaan.
Tapi Sukhoi ya Sukhoi, meski jauh dari sempurna dan minim pengalaman tempur di tingkat global, jet tempur ini terbukti mampu memberi efek deteren bagi Indonesia, terlebih saat paket rudal sudah didatangkan. KSAU Marsekal TNI Yuyu Sutisna saat menjabat sebagai Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) pernah mengatakan, bahwa persentase munculnya black flight menurun drastis sejak Sukhoi Su-27/Su-30 hadir di Kosek Hanudnas II/Makasar. Sukhoi Su-27/Su-30 terbukti masih disegani, terutama oleh jet tempur atau pesawat terbang asing yang berasal dari produk AS/Eropa Barat.
Kontroversi Jilid II
Saat Singapura memiliki F-16C/D Block52+ dan F-15SG Strike Eagle, Malaysia dengan Su-30MKM dan Australia yang lebih superior dengan F/A-18 Super Hornet plus stealth fighter F-35A Lihtning II, maka posisi Indonesia kian terjepit bila tak cermat mengakuisisi jet tempur utama. Atas alasan untuk mampu memberi efek deteren maka opsi pengadaan Sukhoi Su-35 Flanker E (Super Flanker) yang akhirnya dipilih oleh Indonesia adalah tepat.
Seperti halnya di era Megawati, Untuk mendapatkan Su-35 juga mengedepankan proses barter alias imbal dagang, tapi kali ini harus dilalui Indonesia dengan jalan berliku dan melelahkan, setelah melewati proses negosiasi panjang nan alot, akhirnya pada 14 Februari 2018 dinyatakan kontrak pembelian 11 unit Su-35 telah dilakukan di Jakarta.
Seolah membuat eforia di kalangan netizen pecinta alutsista, 11 unit Sukhoi Su-35 diwartakan hadir dalam paket full combat armament, dan hebatnya 2 unit Su-35 kabarnya akan memeriahkan flypass di HUT TNI 5 Oktober 2018. Benar atau tidaknya masih harus dikonfirmasi, mengingat setidaknya butuh 12-18 bulan untuk memproduksi jet tempur. Lebih masuk akal jika yang tampil Oktober 2018 mendatang adalah "Su-35 pinjaman", seperti halnya AH-64D Apache US Army saat memeriahkan HUT TNI 5 Oktober 2017 lalu di Cilegon, Banten.
Sebuah catatan dari CNN Indonesia (17/2/2018), berdasarkan penuturan Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Brigjen Totok Sugiarto, kontrak pengadaan 11 unit Su-35 ditandatangani oleh Kepala Badan Sarana Pertahanan (Kabaranahan) Kemhan Laksamana Muda TNI Agus Setiadji dengan Yuri, delegasi dari Rostec pada 14 Februari lalu. Nantinya pengiriman Sukhoi ke Indonesia akan dilakukan dalam tiga tahap.
Tahap pertama, akan dikirim dua unit pada Agustus 2019, dengan catatan kontrak efektif per Agustus 2018. Tahap kedua, enam unit akan dikirim 18 bulan setelah kontrak efektif. Dan, tiga unit sisanya akan dikirim setelah 23 bulan dari kontrak. Total pengadaan 11 unit Sukhoi Su-35 lengkap dengan senjata dan persenjataannya mencapai US$1,14 miliar dengan sistem imbal beli.
Keputusan pengadaan Su-35 sudah barang tentu membuktikan bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat atas kebutuhan pasokan alutsistanya. Seperti diketahui, keberatan atas pembelian Su-35 telah dilayangkan langsung oleh Menteri Pertahanan AS James Mattis dalam kunjungannya ke Indonesia beberapa waktu lalu, bahkan Presiden Donald Trump telah pasang kuda-kuda untuk memberikan sanksi bagi negara-negara yang bermitra dagang persenjataan dengan Rusia.
Efektifkah ancaman AS? dan apakah akan berpengaruh pada proyek jet tempur IFX yang tengah digarap Korea Selatan bersama Indonesia? Well.. kita tunggu saja perkembangan berikutnya. (Gilang Perdana)

Bagikan artikel ini

1 komentar

  1. Kalau gagal pengadaan Su-35... sudah pasti bakalan menjadi bahan olok2an oleh tetangga, dan mereka bakalan bertepuk tangan sedangkan bagi kita jelas suatu kesalahan besar

    BalasHapus

- Berkomentarlah yang sopan dan bijak sesuai isi artikel/ berita;
- Dilarang berkomentar SPAM, SARA, Politik, Provokasi dsb