Militer China |
Lonceng darurat berbunyi di Australia. Bukan menandai bencana alam, namun pemicunya adalah sebuah laporan yang menyebutkan, China berencana membangun pangkalan militer yang jaraknya kurang dari 2000 kilometer dari perbatasan Australia.
Beberapa waktu lalu, laporan yang dimuat Fairfax tersebut telah dibantah oleh Beijing dan Vanuatu, negara yang disebut-sebut akan menjadi tuan rumah pangkalan militer China.
"Tidak seorang pun di pemerintahan Vanuatu pernah membicarakan tentang pangkalan militer China di Vanuatu," ujar Menteri Luar Negeri Vanuari Ralph Regenvanu kepada ABC.
"Kami adalah negara nonblok. Kami tidak tertarik dengan militerisasi".
Sementara itu, Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, menegaskan bahwa isu pembangunan pangkalan militer di Vanuatu adalah hoaks.
"Anda seharusnya memperhatikan, Menteri Luar Negeri Vanuatu telah memperjelas soal itu," katanya.
Meski bantahan muncul, pengaruh ekonomi Beijing di Vanuatu tidak dapat disangkal. Seperti dilansir News.com.au, Senin (16/4/2018), laporan setempat menyebutkan bahwa China menyumbang hampir separuh dari US$ 400 juta total utang Vanuatu. Laporan The Sydney Morning Herald bertajuk "China eyes Vanuatu military base in plan with global ramifications" mencantumkan jumlahnya sekitar US$ 220 juta.
Fakta terkait ekonomi itulah yang dinilai menimbulkan kekhawatiran di Australia bahwa China sedang bertujuan membangun pengaruh militer yang lebih besar di kawasan Pasifik Selatan.
Tidak hanya Vanuatu, pada awal tahun ini, negara-negara Pasifik Selatan dilaporkan terjebak dengan persoalan pembayaran utang bernilai ratusan juta dolar terhadap China. Menurut Lowy Institute, China mentransfer setidaknya US$ 2,2 miliar ke negara-negara Pasifik antara tahun 2006 dan 2016.
Mulai dari kantor baru Perdana Menteri sebuah pemberian senilai US$ 11,8 juta dari Beijing hingga sejumlah proyek infrastruktur baru yang menyebabkan penderitaan besar di sektor keuangan, China telah memberikan ratusan juta dolar dalam bentuk hibah dan pinjaman kepada pemerintah Vanuatu.
Cara tersebut dinilai bukanlah hal baru bagi China. Sejumlah ahli keamanan sebelumnya mengatakan, China menargetkan negara-negara miskin dan menggunakan "strategi jebakan utang". Beijing disebut-sebut membuat negara-negara miskin ketagihan berutang hingga mereka tidak dapat membayar, dan situasi tersebut memungkinkan China merampas wilayah atau membuat pangkalan sebagai gantinya.
Kasus serupa terjadi di sejumlah negara seperti Sri Lanka, Tajikistan, Kyrgyzstan, Laos dan Djibuoti. Di Djibouti, China sudah mengonfirmasi kehadiran pangkalan militernya.
Selain itu, diplomasi ekonomi China dinilai memanfaatkan lokasi atau sumber daya strategis negara-negara yang lebih kecil, atau untuk mengamankan dukungan mereka dalam hubungan diplomatik jika sewaktu-waktu diperlukan.
Dua tahun lalu, Vanuatu menjadi negara pertama di Pasifik yang secara terbuka menjanjikan "pemahaman dan dukungan penuh" atas posisi Beijing di Laut China Selatan yang disengketakan.
Dengan 60 persen dari total utang luar negerinya pada China, Tonga, sebuah negara kecil di Pasifik Selatan dikabarkan juga sangat berutang budi pada China. (Khairisa Ferida)
Sumber : https://www.liputan6.com/