![]() |
Tentara Nasional Indonesia |
Penempatan Perwira Tinggi (Pati) TNI untuk jabatan sipil dinilai tidak sesuai Undang-Undang (UU) TNI. Penempatan itu berpotensi untuk mengembalikan kembali dwifungsi TNI.
“Itu di luar mandat sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU TNI,” kata Sekjend Serikat Pengajar HAM Indonesia Dian Noeswantari dalam keterangan pers bersama di Surabaya, Senin (25/2/2019).
Selain Sepaham, ada sembilan kampus di tanah air yang ikut menandatangani pernyataan penolakan penempatan TNI ke jabatan sipil. Mereka terdiri atas pusat studi HAM dan Migrasi (CHRM2) Universitas Jember, pusat studi HAM (Pusham) Universitas Surabaya, pusat studi HAM (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan pusat studi HAM Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta.
Kemudian ada pusat studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) Universitas Muhammadiyah Surabaya, pusat studi HAM (Pusham) Universitas Negeri Medan, pusat studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, pusat pengkajian HAM dan Demokrasi (PPHD) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, dan pusat kajian Metajuridika (Taman Metajuridika) Fakultas Hukum Universitas Mataram Lombok.
Dian menjelaskan Pasal 47 Ayat 1 UU TNI menyebutkan prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Sementara Ayat 2 menyebutkan prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung.
“Rencana penempatan jabatan sipil, hingga saat ini tidak jelas, apa latar belakang dan tujuannya, dan posisi/jabatan sipil yang mana,” tuturnya.
Sementara itu Herlambang P Wiratraman dari Pusat Studi Hukum HAM Universitas Airlangga mengemukakan banyak kebijakan TNI yang harus ditinjau ulang peberlakuannya. Diantaranya penempatan prajurit TNI aktif pada jabatan sipil, anyaknya MoU TNI dengan berbagai Kementerian dan Lembaga Negara, penguatan Komando Teritorial, serta kecenderungan penguatan peran TNI di ranah sipil terkait keamanan dalam negeri.
Di sisi lain, penghapusan bisnis militer tidak berjalan mudah, dan bahkan tetap bertahan. Kasus tambang galian C di wilayah konflik agraria di Sumberanyar, Grati Pasuruan tahun 2018 adalah satu salah contohnya. Di Jawa Timur, kasus tanah Pandanwangi, Kabupaten Lumajang menghadapkan militer dengan petani. Kemudian program pendidikan “Satu Sekolah Satu TNI”, bersama Bupati Jember yang dilakukan serentak di 400 sekolah SMA, SMK, dan MA seluruh Kabupaten Jember. Belum lagi, banyak aparat TNI melampaui wewenang, dengan melakukan ‘sweeping buku kiri’ atau terlibat dalam pembubaran diskusi, di Yogyakarta, Malang, dan beberapa kota lainnya, baik di kampus maupun di luar kampus.
“Keinginan TNI melibatkan diri dalam jabatan sipil sangat meresahkan dan berpotensi akan menganggu sistem negara hukum yang demokratis dan perlindungan HAM,” ujar Herlambang. (Robertus Wardi)
Sumber : www.beritasatu.com