![]() |
Asia Tenggara |
Ketegangan India dan Pakistan meningkat tajam sejak serangan bunuh diri oleh kelompok separatis yang menewaskan setidaknya 40 anggota personel militer di kawasan kekuasaan India di Jammu, Kashmir pada pertengahan Februari lalu.
Riwayat panjang konflik India-Pakistan laksana api dalam sekam yang menyala selama berpuluh tahun, menjadikan upaya penanganan konflik senantiasa menemui jalan terjal dan berliku. Meski komunitas internasional terus melakukan upaya diplomatik untuk menengahi konflik, ancaman terjadinya perang terbuka dua kekuatan nuklir Asia Selatan ini masih jauh dari selesai.
Potensi ancaman keamanan dari wilayah Timur tersebut perlu diwaspadai oleh negara-negara di Asia Tenggara agar tidak semakin meluas. Insiden serangan bom bunuh diri yang terjadi pada akhir Januari lalu di gereja katedral pulau Jolo, Filipina yang menewaskan 23 orang dan mencederai 100 lainnya menjadi sinyal kuat bahwa ancaman keamanan di kawasan Asia Tenggara semakin mengkhawatirkan.
Apalagi aksi teror bom bunuh diri yang terjadi di Filipina tersebut menjadi yang terbesar sejak setahun terakhir, dengan modus operandi yang mirip dengan teror bom Surabaya yang pernah terjadi pada pertengahan tahun lalu.
Adanya pergeseran ancaman terorisme dari wilayah Timur ke kawasan Asia Tenggara ini terjadi sebagai akibat semakin terdesaknya gerakan ISIS di wilayah Suriah dan Irak. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, ISIS telah mendeklarasikan jaringan sayap lokal dari Asia Tenggara.
Fakta ini menunjukkan bahwa Asia Tenggara menjadi kawasan yang sangat rentan terhadap kelompok-kelompok radikal, apalagi Asia Tenggara juga telah lama dikenal sebagai basis gerakan teroris maupun kelompok militan Islam radikal seperti Jamaah Islamiyah (JI) dan Al-Qaeda.
Upaya Memerangi Terorisme di Kawasan
Meningkatnya potensi ancaman ISIS di kawasan Asia Tenggara sebagai bagian dari fenomena terorisme global harus direspons dengan penguatan kerja sama keamanan antarnegara di kawasan Asia Tenggara dalam meredam penetrasi ancaman tersebut.
Indonesia belum lama ini telah menggagas konsep ‘Our Eyes’ yang menekankan kerja sama dalam pertukaran informasi strategis terkait jaringan kelompok teroris antarnegara ASEAN.
Konsep ini merupakan bentuk ekstensi dari kegiatan ‘Trilateral Maritime Patrol Indomalphi’ yang dilakukan Indonesia, Malaysia, dan Filipina dalam menjaga stabilitas kawasan dari ancaman perampokan, penculikan, terorisme, dan kejahatan lintas negara lain di kawasan maritim.
Pada level domestik, pengesahan RUU Terorisme menjadi produk hukum terbaru yang memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam menghadapi isu ancaman keamanan nasional. RUU Terorisme yang disahkan oleh DPR pada Mei 2018 lalu menjadi payung hukum yang menguatkan penanggulangan terorisme, tidak hanya dalam tataran penindakan saja, namun juga pencegahan serta pemulihan. Penguatan aspek pencegahan terlihat dari adanya pasal yang mengizinkan penegak hukum menindak persiapan aksi terorisme.
Penanganan terorisme dan radikalisme oleh pemerintah Indonesia saat ini pun telah membuahkan hasil. Di sela-sela Sidang Umum Interpol di Uni Emirat Arab akhir tahun 2018 lalu, Polri di bawah kepemimpinan Tito Karnavian dinilai telah sukses menangani isu terorisme, tidak hanya dalam negeri namun juga pada skala global terkait kejahatan transnasional.
Antisipasi Konflik Antar-Aliansi Kekuatan Global
Dinamika geopolitik global turut memantik terwujudnya aliansi-aliansi baru di kawasan Asia Tenggara, di luar dominasi Amerika Serikat (AS) dan China. Indonesia misalnya, nyaris dalam dua dekade terakhir ini menjalin relasi kuat dengan Australia dalam kerja sama penanggulangan terorisme.
Sementara Vietnam merajut kerja sama militer yang erat dengan Rusia, dan menjadi salah satu negara importir persenjataan paling aktif di dunia dalam beberapa tahun terakhir.
Ketika Presiden Rusia Vladimir Putin melakukan kunjungan kenegaraan ke Singapura untuk KTT Asia Timur pada pertengahan November lalu, para pengamat melihat langkah itu sebagai sinyal dari Moskow untuk memainkan peran yang lebih besar di kawasan Asia. Disepakatinya kerja sama strategis bidang keamanan antara Rusia dan ASEAN pada KTT ASEAN di tempat yang sama turut memperkuat sinyal ini.
Prospek keterlibatan Rusia yang lebih besar di kawasan Asia Tenggara datang di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan dan geopolitik antara China dan AS. Dengan latar belakang perebutan pengaruh kawasan ini membuka peluang Moskow untuk mengambil peran yang lebih signifikan.
Sementara itu, China berusaha meredam ketegangan konflik Laut China Selatan dengan melakukan berbagai upaya pendekatan dengan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara, antara lain dengan melakukan latihan militer bersama negara ASEAN di lepas pantai selatan Zhanjiang pada Oktober 2018 lalu. Rencananya, tahun 2019 ini ASEAN akan menggandeng AS untuk melakukan latihan serupa.
Sebagai negara terbesar dengan kekuatan militer terkuat se-ASEAN, Indonesia harus menjadi garda terdepan dalam menjaga stabilitas geopolitik Asia Tenggara yang menghadapi berbagai tantangan, termasuk pengaruh dan intervensi kekuatan superpower dunia seperti AS, China, dan Rusia.
Di dalam Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) 2018, Kementerian Pertahanan mendapat alokasi anggaran yang cukup besar, Rp107,7 triliun (US$6,9 miliar), meski rasio belanja militernya masih di bawah 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB), atau termasuk yang terendah di kawasan Asia Tenggara. Belanja militer sebuah negara idealnya berkisar antara 2-3% dari PDB negara tersebut. Rencananya pemerintah akan meningkatkan belanja pertahanan menjadi 1,5% dari PDB untuk biaya riset dan pengembangan alat-alat militer.
Dengan ditopang nilai anggaran militer dan keunggulan personel militer dan alutsista yang dimiliki, Indonesia diharapkan dapat lebih memaksimalkan perannya dalam usaha menjaga stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara.(Dave Fikarno - Anggota DPR RI)
Sumber : https://news.okezone.com