TNI AU pernah mengoperasikan pesawat tempur terbaik di masanya yaitu P-51 Mustang. Diperkirakan belasan pesawat ini diterima AURI dari Belanda, yang kemudian menjadi andalan utama dalam menghadapi sejumlah konflik bersenjata di tanah air.
Kisah pengabdian pesawat ini di TNI AU sudah cukup banyak diungkap Majalah Angkasa. Namun tetap saja masih banyak kisah yang belum diceritakan. Seperti dikutip dari buku "Derap Langkah 50 Tahun AAU 69 Bogowonto".
Penerbang P-51 Mustang TNI AU |
Dari 18 perwira lulusan AAU 69, hanya 18 orang yang akhirnya menjadi penerbang. Kehadiran mereka boleh dikata tidaklah tepat, karena pada saat itu kondisi pesawat TNI AU sangatlah memprihatinkan.
Kesiapan rendah dan jumlah pesawat terbatas. Sementara jumlah penerbang terbilang banyak. Namun layar sudah terkembang bagi alumni 69, sehingga pantang digulung kembali.
Tak lama setelah alumni 69 memulai pengabdian di TNI AU, Indonesia tengah bersiap menghadapi pemilihan umum (Pemilu) yang ditetapkan pada 5 Juli 1971. Unsur pengamanan mendapat porsi besar saat itu mengingat kondisi politik yang belum sepenuhnya stabil.
TNI AU sebagai unsur pengamanan aspek udara, terlihat sekali kedodoran saat diminta laporan kesiapan pesawat tempur untuk mengamankan jalannya Pemilu. Karena itulah, Pemerintah memutuskan untuk memperkuat TNI AU dengan mendatangkan pesawat tempur P-51D Cavalier Mustang II langsung dari Amerika Serikat.
Kenapa Mustang? Karena inilah satu-satunya pesawat tempur di lingkungan TNI AU yang masih mungkin diterbangkan secara politik. Karena umumnya Mustang yang ada di Skadron 3 kondisinya sudah tidak aman untuk diterbangkan, maka didatangkanlah Cavalier Mustang II dari Amerika.
Sementara semua pesawat eks Uni Soviet, sama sekali sudah tidak boleh terbang meski jam terbangnya masih terbilang kecil.
Cavalier Mustang adalah pesawat yang awalnya dikembangkan oleh pabrik Cavalier Aircraft di Amerika pasca Perang Dunia II untuk kebutuhan sipil, meski masih mempunyai kemampuan tempur.
Pada tahun 1967, Cavalier mengembangkan model dengan kemampuan CAS (close air support) dan counter insurgency yang lalu dinamakan Cavalier Mustang II. Mesin Rolls-Royce Merlin V-1650-72A yang dipakai, ditingkatkan kemampuannya.
Dua batch model ini dibuat oleh Cavalier untuk El Savador tahun 1968, dan untuk Indonesia pada 1972 dalam Program Peace Pony. Sebanyak lima Cavalier Mustang II dan satu TF-51D dikirim ke Indonesia tanpa dilengkapi tip tanks atas tekanan Amerika untuk membatasi combat radius pesawat.
“Pesawatnya dikirim menggunakan pesawat Galaxy,” ujar Marsda (Pur) Kusbeni (almarhum) saat menceritakan kepada angkasa.news beberapa tahun lalu.
“Karena itu kami bertiga kelompok penerbang fighter diperintah melaksanakan transisi ke Mustang tahun 1971 sebagai persiapan kedatangan Cavalier,” aku Kusbeni menyebutkan nama dua rekannya sesama Bogowonto yaitu Effendi dan Abdul Mukti.
Latihan transisi terpaksa dilaksanakan di Lanud Halim karena landasan Lanud Abdulrahman Saleh di Malang tengah diperbaiki sebagai bagian dari Program Peace Pony.
Saat transisi itu, tinggal segelintir penerbang senior yang masih qualified menerbangkan pesawat Mustang. Mereka adalah Rukandi dan Rusmali. Komandan Skadron dijabat oleh Letkol (Pnb) Rukandi yang kemudian digantikan oleh Letkol (Pnb) Rusmali. Hanya saja setelah selesai transisi ke Cavalier, mereka dikaryakan terbang di maskapai Merpati.
“Otomatis di skadron hanya kami bertiga,” kata Kusbeni.
Menurut Kusbeni, hanya merekalah yang benar-benar mengoperasikan Cavalier Mustang II yang kemudian dilibatkan dalam sejumlah misi dan latihan gabungan.
Transisi ke Cavalier Mustang II dipandu oleh instruktur penerbang senior yaitu Rusmali, Sofyan Nur, dan Musidjan serta instruktur dari pabrik Cavalier, Whitmore.
Latihan juga meliputi materi weapon delivery yang dilaksanakan di Lanud Gorda, Banten. Setelah selesai melaksanakan tugas pengamanan Pemilu, kesemua pesawat Cavalier diterbangkan secara feri ke Malang
Kedatangan Cavalier Mustang II di Lanud Abdulrahman Saleh melengkapi pesawat Mustang sebelumnya yang sudah dimiliki Skadron 3. Dampak yang langsung terasa adalah kurangnya jumlah penerbang.
Untuk itu tiga penerbang yang masih alumni AAU 69 ditarik ke Skadron 3. Yaitu Aryasa dari Skadron 5 serta Sunarko dan Sismono dari Skadron 1.
Sejumlah penerbang masih direkrut dari alumni AAU 68, yaitu Djoko Sulistiyardjo, Bowo, Hardiyanto, dan Ratih Aden. Kecuali Djoko, semuanya dinyatakan gagal. Belakangan Djoko mengalami collision selesai transisi bersama M. Rusli. Rusli adalah dari AAU 66 bersama Sugita dan Kusnadi Umar Said.
Selesai transisi, ketiganya malah dipindah ke Merpati. Akhirnya penerbang paling yunior yang sempat direkrut ke Skadron 3 Cavalier Mustang II adalah dari alumni Akabri 70. Terdiri dari Suparno, Sonny Rizani, Ronggo Suarso, Sihotang, Dondit Suroso, M. Halik, dan Agus Suwarno.
Total jenderal jumlah penerbang Mustang saat itu adalah enam orang dari angkatan 69, tujuh orang dari angkatan 70, dan satu komandan. Sehingga total kekuatan skadron 14 penerbang.
Sebagai satu-satunya skadron pesawat tempur yang masih dipunyai TNI AU hingga akhir 1976, otomatis operasi penerbangan Skadron 3 cukup tinggi.
Usai pengamanan Pemilu, mereka mulai dilibatkan dalam operasi keamanan dalam negeri. Seperti penumpasan gerombolan bersenjata di Blitar selatan dan penembakan di Rambang Lombok. Selain itu dilibatkan dalam sejumlah latihan gabungan ABRI.
Dalam latihan gabungan ABRI dengan sandi Wibawa di Branti, Lampung Selatan pada 17 Februari 1975, sebuah Mustang yang diterbangkan Lettu (Pnb) Effendi, jatuh di ujung runway Lanud Branti.
Pesawat jatuh sekitar pukul 15.30 WIB sesaat setelah lepas landas menuju Lanud Halim Perdanakusuma.
Nanok Soeratno yang waktu itu juga terlibat latihan dari unsur pasukan, masih ingat obrolan santainya dengan Effendi di seputaran base ops bersama anggota Kopasgat.
“Dia bilang habis ini mau mengikuti MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran). Almarhum dimakamkan esok harinya, 18 Februari, di taman makam pahlawan Madiun,” ujar Nanok yang menjadi Komandan Korpaskhas tahun 1998-2001.
“Saya waktu itu di Australia sekolah airspray, kaget mendapat kabar Effendi jatuh,” ucap Kusbeni.
Setelah itu Mustang masih terlibat dalam latihan Wibawa V di lereng Gunung Lawu, Magetan. Dalam latihan ini Mustang melaksanakan SUL (serangan udara langsung) dan BTU (bantuan tembakan udara) dengan sasaran Gunung Srandil di lereng Gunung Lawu.
Mungkin menjadi misi resmi terakhir P-51 Mustang TNI AU, yaitu dilibatkan dalam pembuatan film “Janur Kuning”. Dalam film ini Mustang bertindak sebagai elemen tempur Belanda.
Sampai sekitar tahun 1974, sudah santer di lingkungan TNI AU berita rencana pembelian pesawat baru OV-10F Bronco sebagai pengganti Mustang. Karena satu-satunya skadron tempur yang aktif adalah Skadron 3, maka tak heran seluruh penerbang di Skadron diprioritaskan sebagai calon penerbang Bronco.
Dari 13 penerbang aktif di Skadron, diputuskan hanya 10 orang saja yang dikirim ke Amerika untuk mengikuti transisi ke Bronco. Hebatnya, empat orang di antaranya dari alumni 69 yaitu Aryasa, Abdul Mukti, Sismono, dan Sunarko.
Satu penerbang atas nama Dondiet gagal berangkat karena mengalami kecelakaan hingga gugur. Bagaimana dengan dua penerbang lainnya, Kusbeni dan Ronggo?
Khusus kepada keduanya tidak diberangkatkan ke Amerika, tapi mendapat perintah belajar terbang ke Australia guna mendalami teknik airspray untuk membantu Satutani (Satuan Udara Pertanian).
Saat itu memang sedang terjadi serangan hawa wereng yang menggagalkan panen padi mulai dari Aceh, Jawa Tengah hingga Jember.
“Terbangnya pakai Cessna, hampir setahun saya terbang di Satutani,” kata Kusbeni yang total jam terbangnya di Mustang sekitar 1.000 jam.
“Jadi saya termasuk generasi terakhir yang masih terbang Mustang. Sebuah kebanggaan bisa menerbangkan salah satu pesawat legendaris di dunia,” aku Kusbeni yang menjadi murid Rudi "Tarantula" Taran semasa di Sekbang.
Sebagai penerbang tempur TNI AU, Marsda (Pur) Kusbeni menduduki jabatan Panglima Kohanudnas pada tahun 1995-97. (Beny Adrian)
Sumber : angkasa.news